“Kita sudah sampai.” Suara Mas Dhika membuatku menurunkan selimut. Aku meliriknya, ternyata dia sedang menoleh. Aku refleks menutup kepala lagi. “Mau tidur di mobil?” “Selimutnya saya bawa dulu.” “Ambil saja kalau kamu suka—“ “Bukan suka, tapi buat ... buat ... ya pokoknya saya pinjam dulu. Saya kembaliin besok.” Aku segera keluar dengan posisi selimut melingkar di pundak dan menjuntai ke bawah. Mas Dhika juga keluar, dan demi apa pun aku semakin malu ketika melihat dia mengulum senyum. “Saya tidak lihat, jangan berlebihan!” “Mana ada enggak lihat tapi tahu?” aku terus menunduk karena malu. “Gerak refleks saya memang sangat cepat. Makanya, lain kali kalau jalan itu lihat-lihat. Sudah tahu hujan, malah lari-lari.” “Hm!” aku hanya menggumam tak jelas. “Lho, lho, lho! Mbak Desya ha