Hari ini adalah jadwal bimbingan dengan Pak Arman. Aku harus bertemu beliau pukul sepuluh. Kami sudah membuat janji sejak minggu lalu.
Ingin menunda kelulusan bukan berarti aku tidak bimbingan sama sekali. Aku sudah mengajukan judul, dan judulku pun sudah disetujui. Hanya saja, pembahasan belum kukerjakan sedikit pun karena beberapa alasan.
Bicara Pak Arman, beliau adalah tipe dosen yang sangat sibuk. Beliau sering sekali ke luar kota. Untuk mahasiswa kebanyakan, memiliki dosen yang sibuk adalah nasib buruk. Namun, bagiku justru sebaliknya. Aku yang ingin menunda lulus, sangat berbanding lurus dengan kesibukan Pak Arman.
“Cantik banget, aku!” sekali lagi aku mematut diriku di depan cermin dan tersenyum puas. Aku mengambil tas, lalu bergegas keluar kamar.
Penampilanku saat ini niat sekali mau ngampus. Aku mengenakan celana jeans yang tak ketat juga tak terlalu longgar, blouse warna mocca, dan sepatu warna putih. Aku juga membawa ransel hitam berisi laptop dan ‘cikal bakal’ tesisku.
“Hallo, Monica. Kita ke kampus hari ini.” Aku bicara pada motorku yang tampak bersih karena baru dicuci kemarin sore. “Semoga hari ini enggak hujan, ya? Ngirit, sepuluh ribu bisa buat beli nasinya Bu Amanah.”
Setelah kupikir-pikir, hidup sederhana seru juga. Aku bisa belajar menahan hawa nafsu, juga bagaimana mengatur keuangan yang terbatas. Selain itu, aku juga bisa merasakan banyak hal yang sebelumnya belum pernah kurasakan. Salah satunya, mencoba makanan-makanan pinggir jalan yang murahnya tidak masuk akal.
Kurasa, ada baiknya dulu Papa dan Mama menyekolahkan semua anaknya, yakni Mas Davka, Mas Dipta, dan aku, ke SMP dan SMA Negeri. Kami jadi tidak kagetan begitu kuliah karena di sana kami harus berbaur dengan orang yang cukup heterogen. Tidak seperti saat SD. Rasa-rasanya, kami hanya berteman dengan orang yang satu jenis. Yang sedikit-sedikit pamer bekal makanan dan liburan ke luar negeri.
“Oke, siap berangkat.” Aku mengaitkan helm, lalu menyalakan motor. Aku memanasinya sebentar, baru kemudian keluar gerbang kos. Begitu keluar, aku berhenti sejenak karena ada perintah untuk selalu menutup gerbang.
“Mau ke kampus, Mbak Desya?” aku langsung menoleh ketika mendengar pertanyaan itu. Kini, kulihat Bu Lina sedang menyirami tanaman. Pintu gerbang rumah beliau kebetulan sedang dibuka.
“Iya, Bu. Mau bimbingan. Mari ...”
“Iya, Mbak, silakan.”
Selama di perjalanan, aku mulai kepikiran kenapa orang seramah Bu Lina bisa memiliki anak seperti Mas Dhika. Eh, tapi Mama juga ramah dan apesnya punya anak macam Mas Davka.
Hm ... dunia ini memang agak aneh dan tak terprediksi.
Begitu tiba di kampus, aku langsung menuju ruangan Pak Arman di lantai tiga karena jam sudah mepet. Aku tidak mungkin membiarkan beliau menunggu.
Namun, sebelum masuk ke ruangan beliau, aku menyempatkan untuk chat lebih dulu. Kalau beliau tidak ada di ruangan, rasanya tak sopan kalau aku asal masuk. Aku memutuskan untuk duduk di bangku besi dekat lorong.
“Lah?” Aku kaget begitu Pak Arman langsung membalas pesanku. Beliau ini termasuk dosen yang slow response. Ini sekalinya fast response malah sukses membuatku terdiam lama.
Pak Arman
Maaf, Mbak Desya. Saya lupa kasih tahu.
Saya masih di Malang. Bimbingannya lusa saja, ya.
Nanti saya kabari lagi.
Agak nyesek, tetapi aku sudah terlatih. Dosen yang begini banyak ditemui di hampir semua universitas. Tidak apa-apa, toh bimbingan hari ini pun sebenarnya aku kurang persiapan.
“Enaknya ke mana, ya?” aku menggumam pelan. Mau pulang ke kos, rasanya sayang karena sudah dandan. Mau ngelayap, ingat saldo ATM yang setiap hari terus berkurang dan belum ada tanda-tanda akan bertambah. Uang dari rental mobil belum ada kabar sampai sekarang.
Akhirnya, aku memutuskan untuk sarapan di kantin fakultas lebih dulu. Aku butuh mengganjal perut sebelum cacing di dalamnya protes. Setelah kenyang, biasanya pikiranku jadi lebih jernih.
Namun, baru saja aku hendak turun karena kantin fakultas ada di lantai dua, aku sudah berpapasan dengan Mas Dhika. Aku refleks berhenti, dan dia pun sama.
Apa-apaan, ini! Bahkan di kampus sekalipun, kami bertemu?
“Ehm!” Aku berdehem pelan, lalu lanjut jalan dan pura-pura tak melihatnya.
“Desya.”
Aku berhenti. “Manggil saya? Saya enggak salah dengar?”
“Kamu anak Pak Arman?”
“Hah?” Aku mendelik. “Kok tahu?”
“Coba buka chat dari beliau.”
“Bentar, bentar.” Aku segera merogoh ponsel di ransel bagian depan. Aku agak kaget ketika Mas Dhika tiba-tiba menarik badanku ke samping.
“Kamu menghalangi jalan.”
“A-ah, iya. Kalau gitu saya turun aja. Enggak enak berdiri di tangga.”
Aku buru-buru turun dan membuka pesan dari Pak Arman. Aku tak memedulikan apakah Mas Dhika masih di tangga atau langsung menyusulku.
Pak Arman
Mbak Desya, kalau belum pulang, silahkan kalau ada yang mau ditanyakan hubungi nomor yang setelah ini saya kirim. Dia kebetulan sedang di kampus mau ketemu saya, tapi saya juga lupa tidak mengabarinya.
Dia dulu anak bimbingan saya sekaligus asdos. Anaknya pinter.
Tema tesis kalian kebetulan mirip.
[Mas Radhika]
Itu kontaknya.
Aku terdiam cukup lama begitu membaca pesan dari Pak Arman. Aku bahkan membaca pesan itu tak cukup hanya sekali untuk memastikan.
Apalagi, ini!!!
“Apa kata Pak Arman?” Mas Dhika tiba-tiba sudah berdiri di depanku.
“Saya nunggu beliau berangkat lusa aja.”
“Ya apa kata beliau?”
“Enggak penting.”
“Kamu berani ngatain kalimat dosenmu tidak penting?”
Aku terdiam, menghela napas sesaat. Akhirnya kuserahkan ponselku pada Mas Dhika.
“Sepertinya saya harus ngajuin judul baru.” Aku duduk, lalu menyandar di tembok. “Mumpung belum saya kerjakan banyak, diganti pun enggak masalah.”
“Kamu mau ganti judul hanya karena tema tesismu mirip dengan punya saya dulu? Kenapa tidak minta ganti pembimbing sekalian?” Mas Dhika mengembalikan ponselku dan aku menerimanya.
“Kalau bisa dan gampang, ya enggak papa. Masalahnya, prosedur ganti pembimbing enggak semudah membalikkan telapak tangan.”
Tuhan ada rencana apa, sih? Kenapa Mas Dhika lagi, Mas Dhika lagi!
“Saya bisa membantumu cepat lulus asal kamu keluar dari kosan Ibu saya.”
“Wah!” aku mendongak. “Belum menyerah rupanya. Kenapa seingin itu saya pergi dari kos? Jangan-jangan kita ketemu terus justru karena Mas Dhika seingin itu menghindari saya? Biasanya, yang ingin dihindari malah sering ketemu. Yang biasa aja, gitu, lho!”
“Kamu terima atau tidak tawaran saya?”
Aku berdiri, lalu tersenyum. “Terima kasih sebelumnya, tapi saya sama sekali enggak tertarik dengan tawaran itu. Cepat lulus? Makanan apa itu?”
“Jangan bilang, kamu sengaja menunda untuk lulus?”
“Iya atau enggak, bukan urusan Anda, Mas Dhika. Saya pamit dulu!” Aku menunduk, lalu ngacir pergi.
“Desya!”
“Apa? Kenapa manggil-manggil? Katanya jangan menampakkan diri lagi?”
“Bagaimana kalau objek penelitianmu ganti di rumah makan saya saja?”
Seketika, aku berhenti. Aku juga balik badan dan menunggu Mas Dhika mendekat. “Kenapa tiba-tiba sekali? Kenapa pula menawari hal ini ke saya?”
“Pak Arman bilang, kamu masih ragu dengan lokasi penelitianmu karena pabrik yang di Jogja terancam gulung tikar?”
“Saya bisa ke Semarang atau Surabaya—“
“Itu akan memakan biaya.”
Itu benar. Sangat benar. Sebenarnya tidak masalah andai Papa tidak berhenti mengirim uang saku. Saat ini jadi masalah besar karena uang sakuku sangat terbatas.
“Bentar, bentar. Terlepas dari bagaimana kondisi lokasi penelitian saya saat ini, kenapa tiba-tiba menawari? Kenapa pula peduli?”
“Kamu ingin jawaban jujur atau tidak?”
“Jelas jujur.”
“Saya ingin mengembangkan rumah makan saya, dan saya butuh meneliti banyak hal agar tidak gegabah. Ini proyek jangka panjang, jadi saya harus hati-hati. Saya rasa, hasil dari penelitianmu akan membantu. Anggap saja simbiosis mutualisme. Saya butuh penelitianmu, dan kamu bisa menghemat penelitian. Pak Arman bilang, meneliti usaha yang sedang berkembang lebih diminati karena hasilnya akan lebih kongkrit. Syukur-syukur tesismu memberi manfaat.”
Itu seribu persen benar. Sejak aku masih skripsi, dosenku sudah menekankan bahwasannya penelitian yang baik adalah yang memberi manfaat, terlebih yang temanya lapangan.
“Ini artinya, saya tidak akan diusir lagi dari kos?”
“Itu beda cerita—“
“Mas Dhika!!!” tanpa sadar, suaraku meninggi. Itu membuat beberapa orang menoleh ke arah kami. Aku langsung meringis, lalu menunduk beberapa kali untuk minta maaf. “Kalau tetap mau ngusir, saya enggak mau! Lupakan obrolan yang barusan. Saya bisa cari tempat lain.”
Ketika aku hendak pergi, tas ranselku sudah ditarik sampai aku terpaksa mundur.
“Mas—“
“Sudah Sarapan?”
“Apa pedulinya?”
“Saya traktir—“
“Engga mau! Saya enggak lapar—“ kalimatku terhenti ketika tiba-tiba perutku berbunyi.
Aduh! LAGI-LAGI?
“Kita ngobrol lagi setelah perutmu kenyang. Orang lapar cenderung mudah marah-marah.” Mas Dhika mengatakan itu sembari menarik gendongan tas ranselku.
Aku yang kepalang malu dan lemas, akhirnya hanya bisa pasrah.
***
“Kalau masih lapar, habiskan saja semuanya,” ujar Mas Dhika begitu melihat makanan di piringku hampir habis. Dia sendiri mengaku sudah makan, jadi hanya pesan minum dan cemilan.
“Memang masih lapar. Tenang, nanti enggak akan ada yang tersisa.” Aku mengambil bakwan udang di piring, lalu mengunyahnya sampai habis. Setelah itu, aku juga mengambil tempe goreng dan sambal. Terakhir, sate telur puyuh isi lima juga tak luput dari penglihatanku.
Akhirnya, makanan di depanku tandas tak tersisa. Katakan sembilan puluh persen kuhabiskan sendiri karena tadi Mas Dhika hanya makan satu sate telur puyuh dan satu bakwan udang.
“Makanmu banyak juga.”
“Ya memangnya kenapa?”
“Saya cuma ngomong”
“Saya juga cuma nanya.”
Aku menyandarkan punggung, lalu mengembuskan napas panjang. Akhinya, kenyang juga.
“Atau mau pesan lagi?”
“Enggak, udah cukup.” Aku menyeruput air putih dingin di depanku, membuat perutku semakin terasa penuh.
“Jadi gimana penawaran saya tadi?” tanya Mas Dhika beberapa saat kemudian.
“Jujur, ini terlalu mendadak. Saya perlu mikir buat iyain atau nolak. Lagi pula ....” aku sengaja menghentikan kalimatku. Mataku menyipit. “Ini agak mencurigakan.”
“Kalau kamu curiga, itu bukan urusan saya. Saya tidak bisa mengendalikan perasaan orang lain. Di sini saya hanya menawarkan dengan pertimbangan seperti tadi. Kalau mau menerima, ya bagus. Kalau mau menolak, saya tidak akan memaksa.”
“Tapi saya tetap butuh mikir, Mas.”
Sejujurnya, tawaran dari Mas Dhika ini sangat menarik. Warung Makan Raja Bagus sudah cukup terkenal di Jogja. Bahkan Mas Davka dan Mbak Ara saja sering langganan di sana. Katakan, rumah makan itu sudah punya nama.
“Butuh berapa hari untuk kamu berpikir?”
“Satu tahun—“
“Saya serius.”
“Satu bulan bagaimana? Kelamaan?”
“Satu minggu.”
“Bagaimana kalau dua minggu?”
Mas Dhika mengangguk. “Oke, dua minggu. Tapi bagaimana untuk saat ini? Kira-kira kamu cenderung ke arah mana? Positif atau negatif?”
“Hm ... positif, sih. Cuma kalau saya masih juga diusir, seketika langsung negatif. Bahkan minus tak terhingga.”
“Sepertinya kamu sesuka itu tinggal di kos ibu saya?”
“Bukan gitu. Oke, saya memang suka kosnya, tapi alasan kenapa saya enggak bisa pindah lagi itu banyak.”
“Baiklah.” Mas Dhika mengangguk. “Kalau kamu setuju, saya tidak akan memintamu pindah lagi.”
“Tapi dua minggu tetap berlaku. Sekalian saya mau mempelajari dulu SOP dan lain-lain. Oh iya, saya dengar, di Jogja sudah ada lima cabang? Atau lebih?”
“Lebih, tapi beberapa di antaranya masih kecil. Tidak sebesar yang pusat dan dua lainnya. Tergantung lokasi.”
“Oke. Nanti tolong kasih gambaran tentang semuanya. Termasuk dulu bagaimana awal mula merintis, modal, dan lain-lain.”
“Ya. Itu bisa dibicarakan.”
“Ngomong-ngomong, Mas Dhika S1-nya manajemen juga-kah?”
“Tidak. Saya S2 banting stir karena memang mau belajar bisnis.”
Entah kenapa, aku tersenyum. “Saya juga banting stir. S1 saya bukan manajemen.”
“Kenapa banting stir? Ada alasan kamu mau belajar manajemen?”
“Eee ... iseng.” Aku nyengir.
Aku tidak mungkin jujur tentang alasan utamaku. Aku belajar manajemen karena aku berusaha realistis. Bagaimanapun, gambaran masa depanku sudah tergambar sejak dulu, yakni meneruskan usaha Mama. Jadi aku sengaja ambil jurusan manajemen untuk menambah wawasan dan keilmuanku.
“Kapan kamu berencana menyelesaikan tesismu?”
“Sampai semester delapan, mungkin? Selagi belum DO.”
Mas Dhika mendelik. “Kamu serius? Itu terlalu lama!”
“Ya memang. Saya masih mau hidup di Jogja. Kalau Mas Dhika enggak setuju, saya juga enggak maksa. Kalaupun pada akhirnya saya harus ganti objek penelitian, saya bisa cari yang lain.”
“Kenapa harus lulus semester delapan? Kamu bisa lanjut kerja di sini kalau memang mau tinggal lebih lama—“
“Oh, itu sangat tidak mungkin. Saya tidak mungkin bisa kerja di sini setelah lulus kuliah. Saya langsung diminta pulang sama orang tua saya.”
“Tidak bisa dinego?”
“Akan sangat sulit, bahkan hampir mustahil.”
Mas Dhika diam, aku pun diam.
“Tapi, sepertinya masih ada satu cara kalau saya kekeuh mau tinggal di Jogja lebih lama setelah lulus. Atau minimal, sering datang berkunjung.”
Kening Mas Dhika mengekerut. “Apa, itu?”
Aku menoleh ke luar jendela— tepatnya ke arah gerimis yang mulai turun. Aku tersenyum tipis, lalu kembali menatap Mas Dhika. “Saya harus jatuh cinta dan menikah dengan orang asli Jogja. Dengan begitu, saya akan selalu memiliki alasan untuk datang ke sini. Bukan begitu, Mas?”
***