6. Pindah Kos

2563 Kata
Aku menatap satu per satu makanan yang tersaji di atas meja. Tanpa sadar, aku menelan ludah. Saat ini aku memang sedang lapar karena sejak pagi belum sarapan. Kini, di depanku tersaji bebek bakar bagian paha atas, sambal dua jenis—yakni sambal bawang, dan terasi, juga cah jamur dan plecing kangkung. Tak lupa, ada lemon tea untuk minumannya. “Ini serius buat saya semua?” aku menatap Mas Dhika yang sedari tadi duduk diam di depanku sembari sesekali menyeruput jus alpukat. “Iya.” “Saya jarang makan di sini karena dari luar selalu kelihatan antri. Kenapa Masnya bisa pesan secepat ini?” “Cepat habiskan makanannya, lalu jelaskan kenapa kamu mengaku kakaknya Al.” Ah, itu lagi. Ternyata Mas Dhika masih ingin aku menjelaskan tentang kalimatku tadi. Aku tidak tahu apa hubungan dia dengan Al, tetapi sepertinya cukup dekat karena tadi mereka terlihat akrab satu sama lain. “Sebelum saya jawab, memangnya apa hubungan Mas Dhika sama Al?” “Saya bertanya lebih dulu, jadi saya tidak akan menjawab selagi kamu belum menjawab.” Aku baru ingin membalas kalimatnya, ketika tiba-tiba perutku berbunyi agak keras. Aku meringis, dan Mas Dhika pun langsung menunjuk meja dengan dagunya. “Ya sudah, saya makan dulu.” Tidak tahu kenapa, ketika bertemu Mas Dhika aku selalu dalam keadaan lapar. Dia sudah mendengar bunyi perutku berkali-kali. Tadi alasan dia mengajakku masuk ya karena perutku bunyi di depannya. “Makan, Mas ...” ujarku pelan setelah kembali dari wastafel untuk cuci tangan. “Silakan. Saya ke sana dulu. Saya kembali kalau makanmu sudah selesai.” “Oke.” Mataku mengekor ke arah mana Mas Dhika pergi. Ternyata dia masuk ke sebuah ruangan yang terletak tepat di sebelah kanan dapur. Aku tidak tahu itu ruangan apa, tetapi yang jelas bukan ruangan yang bisa dimasuki sembarang pelanggan. “Wah ... emang enak banget makanan di sini.” Aku makan dengan lahap. Sudah lapar, enak pula. Sempurna! Membayangkan nasibku setelah ini memang sangat menguras tenaga. Aku tidak tahu uang dua puluh tujuh juta akan bertahan berapa lama. Memikirkannya saja sudah membuatku pusing. Baiklah, aku jujur saja. Uang bulananku dari Papa adalah dua puluh juta. Itu jelas sangat besar untuk ukuran tinggal di Yogjakarta yang bahkan UMR-nya sangat jauh di bawah. Pengeluaranku dalam sebulan tidak tentu. Yang jelas, lebih banyak sisanya daripada kurangnya. Itulah kenapa meski saat ini akhir bulan, uangku justru melebihi jatah bulanan. Sudah pasti, uang itu terkumpul dari sisa-sisa uang bulanan yang belum terpakai. Sepertinya Papa sadar kalau pengeluaranku selama kuliah di Jogja jauh lebih rendah daripada ketika kuliah di Jakarta. Kalau misal tidak ada insiden kabur, uangku harusnya masih tiga puluh dua juta. Sayang sekali, lima juta kukeluarkan dalam sehari untuk menebus kekacauan yang kubuat sendiri. Ya sudahlah, memang sudah jalannya begini. Berselang satu menitan setelah makanan di depanku habis, Mas Dhika kembali datang. Sebelum datang, kulihat ada karyawan yang hendak menghampirinya, tetapi dia mengisyaratkan untuk ‘nanti saja’. “Jangan-jangan, warung makan ini milik Mas Dhika?” tanyaku setelah dia kembali duduk di depanku. “Jadi apa hubunganmu dengan Al?” di sudah bertanya sebelum menjawab pertanyaanku. “Sudah saya bilang, saya kakaknya Al.” “Kakak apa? Setahu saya, kakaknya Al hanya satu.” Aku nyengir. “Kakak-kakakan, Mas. Mama saya, kakak ketemu gedenya Om Dimas.” “Maksudnya?” kening Mas Dhika mengkerut bingung. “Intinya gitu aja. Saya juga enggak tahu kenapa bisa gitu.” “Jadi kamu lebih tua dari Al?” “Enggak, saya justru lebih muda beberapa bulan. Kata Mama saya, saat Al lahir, Mama masih hamil.” “Jadi kamu kenal dengan kakak kandung Al?” “Kak Dila? Kenal, dong, tapi enggak begitu dekat. Saya lebih dekat sama Al karena kami seumuran. Mas Dhika kenal Kak Dila?” “Dia teman dekat saya.” “Ah ... gitu. Jadi tahu, dong, kalau Kak Dila sebentar lagi mau nikah?” Mas Dhika tidak langsung menjawab. Dia hanya mengangguk, lalu menyeruput jus alpukat yang masih sisa setengahnya. “Jangan-jangan, Mas Dhika kenal calonnya juga? Saya dengar, dia duda—“ “Apa yang salah dengan duda?” “Siapa yang bilang nikah dengan duda itu salah?” Mas Dhika diam, aku pun diam. “Stigma tentang duda dan janda di masyarakat Indonesia selalu dipandang sebelah mata tanpa alasan yang jelas. Justru saya salut, Kak Dila memilih untuk menikah dengan duda di saat saya yakin yang suka dengannya pasti sangat banyak. Itu membuktikan kalau duda juga pantas dipilih. Kak Dila cantik, cerdas, anaknya orang terpandang pula. Saya yakin dia enggak asal pilih pasangan. Dan yang paling penting, kedua orang tua juga merestui. It’s mean, duda yang Kak Dila pilih pasti high quality.” “Kamu kira barang, ada high quality?” “Lalu apa istilahnya? Intinya, berarti Mas Duda ini ada value lebih kenapa dia sampai dipilih.” Tiba-tiba, aku menangkap perubahan ekspresi di wajah Mas Dhika. Dia menyeruput minumannya lagi, lalu menghela napas panjang. “Saya terlalu oversharing, ya, Mas?” aku menepuk mulutku pelan. “Soalnya Mas Dhika bilang teman dekatnya Kak Dila. Jadi saya rasa sedikit banyak Kak Dila pasti sudah cerita tentang calon suaminya.” Mas Dhika tak menyahut. Dia justru tiba-tiba berdiri. “Makanan kamu, saya yang traktir. Silakan pulang.” “Saya diusir?” “Kamu mau tetap di sini? Mau pesan makanan lagi?” Aku buru-buru menggeleng. “E-enggak, enggak. Saya sudah kenyang. Mas Dhika enggak perlu traktir. Saya bisa bayar sendiri.” Mas Dhika tak menanggapi lagi. Dia malah pergi tampa mengatakan sepatah kata pun. Aku sendiri lansung ke kasir. Tadi aku belum lihat Mas Dhika membayar, jadi harusnya makananku belum dibayar. “Meja nomor dua puluh satu, Mbak.” Petugas kasir langsung mengecek. “Oh, yang tadi dipesan Pak Dhika, ya?” “Iya.” “Tidak perlu bayar, Mbak. Pak Dhika sudah bayar.” “S-serius?” “Iya, dia bahkan kasih tips karena tidak minta kembalian.” “A-ah, oke-oke. Terima kasih.” Petugas itu mengangguk. “Sama-sama, Mbak.” Sebelum benar-benar keluar dari warung makan itu, aku menatap lagi ruangan yang tadi dimasuki Mas Dhika. Entah kenapa, aku menangkap sesuatu yang janggal, tetapi sulit dijelaskan. *** Satu bulan kemudian ... “Kamu yakin, Des, mau pindah kos?” Jenna masih saja menatapku tak percaya. Dia bahkan sempat syok ketika melihat kamarku sudah hampir kosong. Barang-barangku sudah kukemasi sedikit demi sedikit. “Iya, yakin. Aku udah dapat kos yang pas dan lebih worth it. Sebulan cuma tujuh ratus lima puluh udah dapat ranjang yang lumayan, lemari, kaca, meja, dan kursi. Oh iya, ada dapur umum dan free wifi juga. Listrik juga udah free, kecuali nambah barang-barang yang watt-nya tinggi.” “Kamar mandinya dalam? AC?” “Yeee! Ya jangan disamakan dengan sini. Di sana kamar mandi luar, tapi hanya digunakan untuk dua kamar, jadi enggak antri-antri amat. AC jelas enggak ada. Aku bisa beli kipas angin.” “Bersih?” “Bersih banget. Aku udah survey kemarin. Katanya, tiap hari ada Ibu-ibu yang piket buat bersihin.” “Wah ...” Jenna melongo. “Aku enggak nyangka putri bungsu Pak Dilano Praja bakal tinggal di kos merakyat.” “Anjir, merakyat! Kalau merakyat yang harga empat ratus atau lima ratus juga ada. Aku cari yang sebelas dua belas sama kos ini, minus AC sama kamar mandi dalam aja. Eh, sama kamarnya enggak seluas sini, tapi di sana masih sangat cukup kalau buat hidup sendiri.” “Tapi murah, sih. Harganya udah separo sendiri.” “Makanya, kan! Di sini buat sebulan, di sana bisa buat dua bulan. Aku udah pastiin semuanya, pokoknya sangat worth it dengan harga segitu.” Bicara kos baru, aku dapat info dari salah satu teman. Dari fotonya saja aku langsung suka, jadi aku segera hubungi kontak yang tertera. “Des ... tapi kok aku jadi sedih, ya?” “Kenapa sedih? Kan habis wisuda juga kamu ninggalin aku. Jadi aku aja yang ninggalin kamu duluan.” Aku terkekeh. “Kata siapa ninggalin? Aku paling pulang ke rumah cuma satu bulanan, lalu balik ke Jogja lagi. Aku mau cari kerja di sini.” “Udah dapat bayangan, emang?” “Udah. Ada kenalan Papi di sini. Aku ditawarin kerja di kantor dia.” “Baguslah kalau kamu tetap di sini. Kapan-kapan kita masih bisa main.” Jenna tiba-tiba memelukku. “Tapi, Des, beda, tahu. Kita enggak bisa lagi saling bayarin makan. Atau aku bilang Papi aja buat bantu kamu—” “Sssst! Berisik! Enggak usah ngerepotin Papimu. Kamu bisa tetap ketemu aku. Cuma enggak seintens biasanya.” “Ya udah.” Ngomong-ngomong, Jenna ini juga anak orang yang sangat berkecukupan secara finansial. Orang tuanya komisaris bank swasta ternama. Namun, dia memilih untuk tidak banyak show off sepertiku. Kami sama-sama tidak suka memperlihatkan kekayaan orang tua. Lagi pula, yang kaya kan mereka, bukan kami. Jadi apa yang perlu dibanggakan? “Oh iya, terus mobil kamu gimana?” Aku meringis lebar. “Aku sewakan ke temenku yang punya usaha rental. Kan lumayan kalau lagi disewa, aku dapat honor. Perawatan udah dari dia, kok.” “Serius?” “Iya. Aku bawa motor aja. Secara pengeluaran lebih hemat.” Di jogja memang aku bawa dua kendaraan, yakni satu mobil dan satu motor. “Astaga! Kamu segitunya nahan buat lulus? Anehnya kebangetan kamu, Des!” Aku menghentikan aktivitas berkemasku, lalu menatap Jenna lurus-lurus. “Aku udah berkali-kali bilang. Kalau aku lekas lulus, aku langsung disuruh pulang ke Jakarta dan ngurus butik Mama. Aku tahu aku egois dan kekanakan, tapi justru karena itu. Aku akan memaksimalkan sampai hari di mana aku udah enggak bisa berbuat kaya gini. Terus satu lagi ...” “Apa?” “Aku belum pengen nikah, Jen.” “Hah? Apa hubungannya?” “Sebenarnya ada hal yang belum pernah aku singgung ke kamu sedikit pun.” “Tentang?” “Ada kemungkinan aku bakal dijodohin.” “He? Yang bener?” Aku mengangguk. “Baru kemungkinan, sih, tapi aku udah ketar-ketir. Jadi, beberapa teman Papa punya anak laki-laki. Kalau enggak salah empat orang. Mereka lagi ‘ngerayu’ beliau buat jadiin aku menantu.” “Tahunya?” “Aku dengar sendiri pembicaraan Papa sama Mama.” “Kapan?” “Saat masih awal-awal kuliah pasca. Yang dua dokter, yang satu dosen, satunya lagi direktur perusahaan bapaknya. Aku inget banget saat itu Papa sama Mama bilang kalau mereka setuju dengan keempat-empatnya, tinggal nunggu keputusanku. Mereka masih rahasiain itu sampai sekarang. Mungkin karena aku masih kuliah. Aku juga jadi mikir, jangan-jangan alasan lain aku disuruh lekas lulus biar bisa dipaksa nikah sama salah satu dari empat orang itu.” “Ah ... pantesan kapan itu Mamamu nge-chat aku, tanya kamu punya pacar atau enggak.” “Terus kamu jawab apa?” “Ya jawab enggak. Kamu kan emang jomblo karatan.” Aku tertawa. “Oke, oke. Kalau suatu saat kamu tahu aku lagi dekat sama cowok, ini baru misalnya, tolong tetap diam, ya, Jen. Biar Papa sama Mama nanya aku langsung. Pura-pura enggak tahu aja.” “Ya.” “Janji dulu.” “Iya, janji. Setelah tahu alasanmu yang lainnya, sekarang aku paham. Sorry banget kalau kemarin-kemarin aku tim keluargamu.” “Enggak papa, aku bisa maklum. Serius, Jen, aku enggak mau dijodohin. Apalagi yang udah dirancang jauh-jauh hari begitu. Hidupku, milikku. Papa sama Mama boleh mengarahkan, tapi keputusan final tetap ada di aku.” “Aku doain empat orang tadi udah nikah semua. Kan udah lewat dua tahun, tuh.” “Oh, iya. Bener juga. Amin, deh.” “Ya udah, kamu lanjutin packing-nya. Besok aku antar kamu ke kos yang baru. Enggak usah sewa mobil pick-up segala. Sekalian biar aku tahu alamatnya.” Aku langsung pasang pose hormat. “Okey, siap.” *** “Ya emang worth it, sih, Des. Sebagus ini cuma tujuh ratus lima puluh.” Jenna menatap ke penjuru kamar kosku yang baru. “Kamar mandi samping ini yang kamu maksud buat berdua?” “Iya. Yang kamar mandi F, itu untuk kamar F1, F2. Begitu pun yang kamar mandi G, itu untuk G1, G2. Dan berlaku hal yang sama buat kamar lain.” “Misal, nih, kalau lagi isi?” “Ya mau enggak mau harus antri. Cuma satu orang ini.” “Kos ini ada berapa kamar?” “Kalau enggak salah ada dua puluh kamar. Sepuluh di atas, sepuluh lagi di bawah.” “Yang kamar A sampai E di bawah, F sampai J di atas?” “Yes.” “Ini penuh, Des? Kok aku jadi pengen.” Jenna meringis. “Lumayan, lebih irit. Bagus pula. Dan ada kamu juga.” “Nanti aku tanya. Tapi kemarin sih kosong tiga kayaknya. Satu di atas, dua di bawah. Aku pilih yang atas karena waktu survey, pencahayaan di sini lebih enak. Yang bawah juga bagus, kok. Cuma aku prefer atas aja.” “Nanti aku minta nomor Ibu kosnya, ya, Des. Kalau cocok, aku pindah.” Melihat ekspresi Jenna saat ini, sepertinya anak itu serius. “Iya, tapi kamu pikirin dulu matang-matang. Jangan asal ikut-ikutan. Kita beda kondisi. Kalau keuanganku enggak kaya gini, aku enggak pindah.” “Iya, iya. Oke.” Setelah menata barang seperlunya, aku mengantar Jenna keluar. Aku datang ke kos ini naik motor, sementara Jenna naik mobil bersama barang-barangku. “Ya udah, ya, aku pulang dulu. Jangan lupa kasih nomor Ibu kos.” “Iya!” “Oh iya, Ibu kosnya tinggal di mana, Des?” “Itu rumahnya.” Aku menunjuk rumah tingkat dua yang ada di seberang jalan. Warnanya putih dan dari luar tampak angat asri karena banyak ditanami bunga. “Oh, deket. Tapi untungnya enggak nyatu, jadi amanlah.” “Iya. Makanya aku langsung oke waktu survey. Untung ada yang kosong karena kebetulan penghuninya ada yang pulang kampung. Kata Ibu kosnya, kos ini jarang kosong. Biasanya maksimal sebulan udah isi lagi.” “Aku kudu gercep, ini.” “Habis ini kukirim nomor ibu kosnya. Namanya Bu Lina. Kayaknya beliau seumuran sama mamaku.” “Siap!” Jenna masuk mobil, lalu melambaikan tangan. “Jaga diri baik-baik, sayangku.” “Ya. Hati-hati! Makasih, ya, udah nganterin.” “Sama-sama.” Aku terus melambaikan tangan sampai mobil Jenna mengecil tertelan jarak. Ngomong-ngomong, kos baruku ini sebenarnya agak jauh dari kampus. Akan tetapi, aku suka dengan suasananya, jadi tak masalah. Lokasinya tidak terlalu kota, tetapi tidak pula terlalu pelosok. Di sebelahnya ada sawah dan warung kopi. “Pokoknya hari ini harus selesai beberes!” Ketika aku balik badan hendak masuk kos, tiba-tiba aku melihat seorang Ibu-ibu keluar dari mobil yang baru saja datang. Begitu dia menoleh, senyumku seketika terbit. Ternyata beliau Bu Lina. “Eh, Mbak Desya jadi pindahan hari ini?” Bu Lina mendekat padaku. “Iya, Bu. Barusan saya diantar teman.” “Temannya mana?” “Sudah pulang. Barusan ini.” “Oh, iya, iya. Semoga betah ya, Mbak.” “Pasti betah, Bu.” Tiba-tiba, pintu mobil bagian kanan dibuka. Kini, muncullah seorang laki-laki yang sukses membuatku melebarkan mata selebar-lebarnya. Bagaimana tidak, laki-laki itu adalah Mas Dhika. Dia juga sempat melebarkan mata meski hanya sesaat. “Ibuk kenal dia?” tanya Mas Dhika sembari menunjukku dengan dagu. “Kenal, to. Namanya Mbak Desya, warga barunya kos Ibu sejak hari ini. Iya, kan, Mbak?” “I-iya, Bu.” “Kenalin, Mbak Desya. Ini anak kedua Ibu. Namanya Dhika.” Sebentar .... jadi, Bu Lina ini ibunya Mas Dhika? Situasi macam apa, ini? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN