Listrik sudah menyala, bianglala pun sudah turun. Aku gemetaran begitu sampai bawah. Setidaknya hampir setengah jam listrik mati, selama itu pula aku dan Mas Dhika terjebak di atas. Itu benar-benar terasa lama. Sebetulnya aku maklum kenapa lama karena pasar malamnya bersifat lokal. Jadi kalau ada terkendala teknis, penanganannya tidak secepat taman hiburan yang sudah besar. “Bentar-bentar ...” Mas Dhika tiba-tiba menahan tanganku. Aku mendelik kaget ketika kurasakan tangannya sangat dingin. “Mas, kok tangannya dingin banget?” Aku segera menuntunnya ke tempat duduk terdekat. Mas Dhika memejamkan mata, napasnya mulai terlihat tidak teratur. Kuberanikan diri menyentuh wajahnya, ternyata sama dinginnya. Aku segera melepas jaket milik Mas Dhika dan mengembalikannya. “Mas, kayaknya Mas Dhik