“Rey, aku mau jujur sama kamu.”
Perkataan pelan mengandung banyak emosi itu nyatanya membuat jantung Reyhan berdebar cukup kuat. Lelaki tampan yang baru saja menyatakan perasaan itu menjalin hubungan dengan seorang gadis cantik dari kelas sebelah. Memang tidak ada yang menyangka bahwa Reyhan diam-diam mencintai Yeoso sejak mereka masih berada di kelas 10.
Semua memang tertutup dengan sangat rapat. Bermula dari popularitas Reyhan yang semakin meningkat akibat diketahui ternyata bersahabat dengan Zafran. Sampai Jordan selama ini bungkam tak bersuara pun diketahui menjalin persahabatan sejak lama.
Hanya saja terkadang ketiga lelaki itu tidak terlalu memperlihatkannya. Sampai satu per satu murid SMA Catur Wulan mengetahui dengan sendirinya, sehingga langsung menjadikan beberapa orang tersebut menanggap ketiga lelaki tampan itu sebagai The Handsome Guy.
“Jujur tentang apa? Kamu enggak biasanya begini,” tanya Reyhan jujur. Ia merasa banyak perbedaan tentang kekasihnya sejak pertemuan malam di mana dirinya dan Evelina ke pusat perbelanjaan.
Yeoso terlihat menghentikan langkah kakinya, lalu melirik ke arah bangku yang berada di pinggir jalan untuk sekedar duduk mengistirahatkan kaki atau menunggu kedatangan angkutan umum.
Bisa dikatakan SMP Catur Wulan berada di jalan raya yang cukup besar. Sehingga mudah diakses oleh siapa pun. Tidak seperti sekolah induknya yang sedikit lebih sempit dan hanya muat satu akses mobil besar.
“Aku mau duduk di sini,” ucap Yeoso tanpa pikir panjang langsung mendudukkan diri.
Sedangkan Reyhan hanya menurut saja. Lelaki itu memang tidak mengatakan apa pun, selain membiarkan kekasihnya berbuat sesuka hati. Terlebih keluarnya dari kafe tanpa berpamitan dengan Evelina dan Jordan sudah membuat Reyhan merasa sesuatu telah terjadi pada kekasihnya.
“Jadi, apa yang mau kamu bilang?” tanya Reyhan sedikit tidak sabar menantikan perkataan Yeoso yang merasa sesuatu telah terjadi.
Sejenak Yeoso menoleh ke arah Reyhan. Ia tersenyum tipis, lalu menggeser sedikit tubuhnya tepat menatap ke arah sang kekasih yang mengernyit kebingungan. Terkadang memang sikap gadis itu tidak bisa ditebak, tergantung sesuai dengan suasana hatinya.
“Kamu ingat malam di mana aku datang ke pusat perbelanjaan untuk membeli ponsel baru?” celetuk Yeoso memulai perbincangan.
“Ingat. Apa ada sebelumnya?” Reyhan mengangguk singkat, lalu memiringkan kepalanya melihat ekspresi Yeoso yang terlihat terbebani.
Yeoso memberikan sebuah gambar dari dalam ponselnya. Di sana memperlihatkan seorang gadis tertidur di bangsal dengan punggung lelaki yang membelakangi kamera sedang membungkuk menyiapkan sesuatu di atas meja.
“Kamu tahu, siapa yang ada di foto ini?” tanya Yeoso kembali memasukkan benda pipih tersebut ke dalam saku celana.
“Zafran?” jawab Reyhan menukik alis tidak percaya. “Kenapa kamu bisa ada di situ?”
“Aku datang ke rumah sakit ini akibat salah satu keponakanku dirawat. Bahkan ketika kejadian ponsel harus, ya karena dia ngamuk dan ngambil barang apa pun yang ada di sekitarnya.
“Oke, tahu. Tapi, kenapa kamu ambil foto Azalia sama Zafran?”
“Apa yang sedang kamu sama Jo sembunyikan?” tanya Yeoso terdengar sarkas membuat Reyhan yang berada di sampingnya langsung melebarkan mata terkejut.
“Yeoso, kamu tahu semua masalah ini?”
Namun, bukannya menjawab Reyhan malah berbalik tanya dengan ekspresi seakan Yeoso menemukan sesuatu. Membuat perasaan gadis itu jauh lebih penasaran, terlebih yang akan tersakiti adalah Evelina.
“Rey, aku enggak tahu apa yang sekarang lagi direncanain. Tapi, kalau semua ini cuma buat bahan candaan, lebih baik kamu konsumsi sendiri.”
“Astaga, bukan begitu, sayang. Aku benar-benar kaget tadi. Saat melibat ponsel kamu mirip sama foto yang ada di story medsos milik Zafran. Apa ini ... benar-benar dia?”
Yeoso mendesis pelan, lalu berkata, “Aku tunjukin foto ini ingin memperlihatkan bahwa aku bisa aja bawa semua ini kepada Eve agar Zafran enggak bisa semena-mena lagi.”
“Apa maksud kamu, sayang?” tanya Reyhan mendadak panik dan mulai memegang tangan kekasihnya dengan mengusap lembut, seakan lelaki itu sedang memperlihatkan sikap manisnya dan berharap bahwa Yeoso bisa kembali dengan tenang tanpa mempermasalahkan hubungannya bersama Azalia.
Namun, sayang sekali keputusan Yeoso telah bulat membuat gadis itu melepaskan tangan sang kekasih. Kemudian, menatap lurus ke arah jalanan yang terlihat sedikit lenggang dengan suasana cukup cerah akibat matahari menyinari keadaan bumi bersama panasnya membakar kulit.
“Aku cukup diam kamu dan Jo menyembunyikan masalah ini di hadapan Eve. Tapi, enggak buat aku, Rey. Kamu seharusnya tahu kalau semakin lama kalian menyembunyikannya, kekecewaan Eve akan semakin besar. Mungkin bukan hanya Zafran aja yang kena, melainkan kalian berdua dan aku sendiri pun bisa kena imbasnya,” jawab Yeoso mengembuskan napasnya frustasi menyadari apa yang ia katakan memang benar.
Kekecewaan yang mendalam adalah mengetahui masalah ini dari mulut orang lain. Memang Yeoso tidak akan mendapat kemarahan Evelina, tetapi kalau masalah sudah menjadi seperti ini. Berusaha menjelaskan pun sudah tidak ada gunanya lagi.
“Jadi, apa yang mau kamu lakuin sekarang?” tanya Reyhan memilih untuk mengalah.
“Aku mau kasih tahu semua foto ini sama Eve. Apa pun yang terjadi nanti, biarkan mereka berdua menyelesaikannya. Kita udah enggak ada urusan lagi, apalagi sampai harus menyembunyikannya seperti ini,” jawab Evelina terdengar mantap tanpa diganggu gugat.
Setelah itu, Reyhan hanya bisa mengangguk menuruti permintaan sang kekasih. Ketika seorang gadis telah berbicara kemauannya, memang tidak ada yang bisa menggagalkan hal tersebut, kecuali memang sudah tidak lagi menarik perhatian.
Terkadang sebagai seorang lelaki seharusnya mengalah. Karena hal tersebut jauh lebih baik dibandingkan harus berdebat panjang yang tidak akan mau mengalah satu sama lain. Maka selamat, hubungan tidak akan berjalan dengan lancar.
Melihat sang kekasih menerima keputusan dengan baik, Yeoso pun kembali menoleh ke arah Reyhan yang kelihatan sedang bergelut dengan pikirannya sendiri. Lelaki tampan yang menjadi kekasih Yeoso itu pun tampak menunduk lemah, seakan ada sesuatu yang ia pikirkan.
“Kamu marah?” tanya Yeoso pelan.
Reyhan mengangkat kepalanya, lalu menggeleng pelan sembari tersenyum cerah. “Aku enggak akan marah melihat kamu lebih tegas dari apa yang aku pikirkan selama ini.”
Yeoso termangu sesaat. “Maksud kamu ... kamu enggak suka lagi sama aku yang sekarang?”
“Bukan begitu, aku cuma kaget aja kalau kamu lebih daripada apa yang aku pikirkan selama ini. Karena pada kenyataannya, kamu tetap menjadi Yeoso yang aku kenal. Tanpa berubah sama sekali,” puji Reyhan tersenyum lembut sembari menggenggam jemari sang kekasih yang terasa dingin. Padahal hari ini terasa sangat panas membuat lelaki itu mengernyit bingung.
0o0
Selesai dari kegiatan pentas, Reyhan dan Yeoso memutuskan pergi lebih dulu. Ternyata gadis itu mendadak sakit akibat kejadian semalam yang bepergian menggunakan gaun dengan potongan cukup terbuka. Membuat Yeoso tidak tahan angin malam pun mendadak demam.
Kini tersisa Evelina dan Jordan yang terlihat sedang menghadap seorang lelaki tampan dengan wajah kelelahan. Zafran baru saja menyelesaikan kegiatannya mengangkat beberapa properti itu pun tanpa sengaja berpapasan dengan Evelina.
Akan tetapi, ada yang aneh dari ekspresi sahabatnya membuat Zafran menoleh ke arah Jordan. Seakan meminta penjelasan melalui pergerakan mata.
Namun, sayang sekali Jordan hanya diam dan meninggalkan keduanya. Sampai Evelina hendak mengikuti lelaki itu, tetapi tertahankan akibat pergelangan tangannya dicekal oleh Zafran.
“Ve, lo kenapa? Perasaan tadi baik-baik aja,” tanya Zafran penasaran sekaligus bingung melihat perubahan Evelina akhir-akhir ini sedikit aneh.
Evelina menoleh dengan tersenyum lebar yang kelihatan terpaksa, lalu melepaskan tangan Zafran dari lengannya. “Gue baik-baik aja, Zaf. Lo jangan khawatir. Sekarang ada orang yang perlu lo khawatirin dibandingkan gue.”
“Apa maksud lo, Evelina?” Lelaki yang biasanya terlihat tenang itu tampak sedikit tidak suka. Terlebih melihat cara bicara sahabatnya terkesan sedikit berlebihan.
“Zaf, jangan pura-pura lagi. Gue tahu penyebab lo berubah selama ini. Jangan cemas, sama siapa pun nanti nya gue akan tetap mendukung. Tapi, jangan paksakan gue untuk membuka diri sama pilihan lo. Karena enggak akan ada namanya persahabatan yang benar-benar tulus,” ungkap Evelina tersenyum miris, lalu melenggang pergi begitu saja.
Untung saja Jordan telah selesai mengambil kendaraan membuat Evelina tanpa pikir panjang langsung menaiki motor lelaki itu dan melaju begitu saja. Meninggalkan pekarangan hampa menyambut perasaan Zafran yang terasa kehilangan sesuatu beberapa saat lalu.
Sementara itu, pilihan Evelina ketika mengutarakan seluruh kekecewaannya benar-benar membuat hatinya terasa sangat perih. Seakan ada pisau tajam yang mengiris-iris hatinya dengan sangat kejam.
Tanpa sadar Evelina kembali menangis dengan sangat pelan, tetapi air mata gadis itu membasahi punggung Jordan. Membuat lelaki tampan berwajah dingin itu melebarkan mata di balik helm full face.
Sejenak Jordan mengembuskan napasnya panjang, lalu berbelok menuju ke arah sebuah taman yang terlihat banyak sekali pengunjung. Masih ada beberapa jam lagi sebelum waktunya kembali pulang membuat Jordan memutuskan untuk membawa Evelina menenangkan pikirannya sejenak.
Evelina yang merasa motornya berhenti di taman pun mengernyit bingung, kemudian berdeham pelan menetralkan suara agar tidak terdengar sumbang.
“Jo, kenapa kita ke sini?”
“Ayo, gue tunjukin sesuatu!” ajak Jordan melenggang pergi begitu saja sembari memasukkan kunci motor ke dalam saku celana sekolah.
Dengan patuh Evelina mengikuti langkah kaki seorang lelaki berwajah dingin yang cukup memikat di hadapannya. Beberapa pengunjung taman yang kebanyakan orang tua sedang mengajak anak mereka bermain pun menatap penuh ke arah Jordan dengan wajah terkagum-kagum.
Ada pula yang terang-terangan memuji wajah manis Evelina. Sehingga membuat gadis itu merasa malu pada dirinya sendiri dan berakhir menunduk menyembunyikan sebagian wajah menggunakan rambut panjang miliknya yang menjuntai hingga ke pinggang.
Sesampainya di sebuah pedagang kaki lima yang terlihat sedikit ramai, Jordan pun membalikkan tubuh menatap Evelina. Gadis cantik dengan sesekali menyembunyikan wajahnya itu tampak memperhatikan sekitar.
“Lo mau beli crepes?” tanya Evelina mengernyit penasaran melihat pedagang di hadapannya dengan sedikit aneh ketika mendapati Jordan ternyata menyukai hal-hal besar yang terasa manis.
Jordan mengangguk singkat, lalu menjawab, “Kata Tante Wendy, lo suka makanan ini.”
Sejenak Evelina memincingkan matanya penuh selidik. Ia memang mengetahui bahwa Jordan dan Reyhan pernah berada di rumahnya ketika kedua orang tua masih berada di sana. Memang beberapa kali Wendy berbincang dengan Jordan yang ternyata begitu hangat. Sampai membalas semua perkataan wanita cantik itu dengan sangat sopan.
Tentu saja awalnya semua itu sempat tidak dipercayai Evelina mendengar sang ibu mengatakan bahwa Jordan benar-benar sopan dan bersikap sangat baik. Bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa Jordan sempat hendak dijodohkan dengan Evelina.
Namun, sayang sekali gadis itu menolaknya. Karena mereka berdua merupakan teman sebangku yang rasanya akan sangat canggung memulai hubungan. Tentu saja titik paling berat ketika mereka berdua memutuskan hubungan.
“Lo bicara banyak ya sama mamah gue,” gumam Evelina terdengar pasrah sembari menandangi gerobak berbahan kaca yang transparan agar mudah dilihat oleh banyak orang.
Jordan mengangguk mengiakan perkataan gadis di belakangnya. Memang ada beberapa percakapan yang dimulai oleh Wendy. Biasanya wanita itu jarang sekali terbuka dengan orang baru, tetapi ketika melihat Jordan datang. Wendy benar-benar berubah antusias sampai Evelina tidak mempercayai sang ibu berubah menjadi pendukung Jordan.
Sedangkan Peter yang merasa bahwa Jordan sedikit dingin itu pun tidak setuju. Lelaki kuno yang akan hubungan itu benar-benar menolak tegas ketika Wendy hendak mengenalkan Evelina sebagai calon pacarnya. Sebab, Peter telah memiliki kandidat tersendiri, yaitu Zafran.
Selama ini kedekatan Peter memang disebabkan bukan tanpa alasan, melainkan lelaki berusaha membuat Zafran merasa sedikit lebih dekat. Meskipun seluruh keputusan akan tetap jatuh pada Evelina sendiri. Karena masa depan tergantung pilih gadis itu. Percuma menjodohkannya sedemikian rupa, tetapi pada kenyataannya malah hanya membuat Evelina merasa terluka.
“Tante Wendy sangat baik sama gue,” puji Jordan tersenyum tipis, lalu menoleh ke arah pedagan untuk menyebutkan pesanannya.
Tak lama kemudian, pesanan yang diminta oleh Jordan pun selesai. Membuat lelaki itu menyerahkan salah satu crepes ke arah Evelina. Sontak senyum cerah Evelina tercetak begitu jelas sampai Jordan mendadak kaku.
“Dari tadi lo beliin gue makanan manis, Jo. Nanti kalau gue gendut gimana?” keluh Evelina sembari mulai mengigit ujung crepes yang terasa sangat manis.
Tanpa sadar Jordan menyingkirkan sejumput rambut Evelina yang menghalangi pemandangan gadis itu ketika hendak memakan crepes pemberiannya. Membuat Evelina menatap tangan besar nan hangat itu dalam diam, seakan menyiratkan sesuatu.
“Syukurlah kalau lo senang,” balas Jordan tersenyum melalui mata. Entah kenapa tatapan lelaki itu terasa lebih hangat dibandingkan biasanya, walaupun bibir tipis berwarna merah muda tidak menyunggingkan senyuman sekecil apa pun.
“Kok lo bisa tahu ada crepes enak di sini? Gue pikir cuma ada di taman komplek aja,” tanya Evelina penasaran sembari melangkah dengan santai menjauhi pedagang tersebut.
Jordan mengangguk pelan sembari memasukkan tangan kirinya ke dalam saku mengikuti langkah Evelina menuju ayunan taman yang masih tersisa. Membuat keduanya memutuskan ke sana untuk menghabiskan crepes.
“Gue tahu tempat ini dari salah satu anak SMP,” jawab Jordan jujur.
Jawaban tersebut pun sukses membuat Evelina melebarkan matanya tidak percaya mengetahui bahwa Jordan telah banyak berinteraksi. Terlebih pada siswi SMP Catur Wulan, walaupun sikap dinginnya masih mendominasi. Akan tetapi, cukup berkembang pesat dengan perubahan yang dilaluinya sejak menjadi anggota OSIS.