Berjalan-jalan bersama Jordan membuat Evelina benar-benar merasa terhibur. Lelaki itu tidak hanya bersikap dingin dengan orang lain, tetapi mampu menjadi prbadi yang hangat dan berusaha mengerti apa pun dirasakan oleh orang-orang di sekitarnya.
Di balik sikap acuh tak acuh, sebenarnya Jordan sangatlah perhatian. Nyatanya lelaki itu selalu menghibur Evelina yang selalu memasang topeng bahagia di hadapan Zafran. Meskipun tidak dapat dipungkiri gadis itu ingin sekali mendapatkan kembali perhatiannya dengan Zafran, agar kesalahpahaman segera terselesaikan dan mereka bisa berkumpul tanpa harus ada yang ditutup-tutupi.
“Makasih, ya, Jo. Lo benar-benar terbaik hari ini!” ungkap Evelina mengacungkan jemari jempolnya dengan bersemangat dan tertawa pelan.
“Iya,” balas Jordan mengangguk singkat.
“Mampir dulu enggak? Di dalam ada mamah gue. Siapa tahu lo mau ketemu dulu,” tawar Evelina tersenyum menggoda.
Jordan tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. “Enggak, Ve. Salamin aja sama Tante Wendy. Gue harus balik sekarang.”
Sejenak Evelina menipiskan bibirnya kecewa. “Ya udah, kalau lo enggak mau mampir.”
“Gue pergi dulu,” pamit Jordan menepuk pelan puncak kepala Evelina membuat gadis itu mendadak mematung.
Spontan Evelina mencekal pergelangan tangan lelaki tampan di hadapannya, lalu berkata, “Jo, kenapa lo bersikap baik sama gue? Terus ... nepuk-nepuk kepala gue segala.”
“Memangnya kenapa?” Jordan bertanya balik dengan mensejajarkan wajahnya dengan Evelina.
Hal tersebut membuat Evelina mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu menggeleng pelan sembari tersenyum malu-malu. Entah kenapa ia seperti mengharapkan sesuatu pada Jordan. Walaupun pada kenyataannya memang secercah dari hatinya merasa kehangatan yang diberikan oleh Jordan mampu mengalahkan seluruh kesedihan akibat Zafran.
Evelina memang tidak pernah menampik bahwa dirinya terkadang membawa perasaan ketika mendapatkan perhatian lebih dari Jordan. Apalagi lelaki itu selama ini terkenal dingin dan tak tersentuh. Belum ada satu gadis pun yang mampu membuat Jordan lebih ekspresif, kecuali Evelina.
“Gue boleh ngejar lo, Ve?” tanya Jordan secara mendadak membuat Evelina tidak tahu harus berkata seperti apa, terlebih pertanyaan itu menggetarkan hatinya.
“Jangan dijawab sekarang enggak apa-apa, gue tahu ini berat. Tapi, gue cuma ungkapin apa yang gue rasa selama ini. Biar gue tahu caranya bersikap di masa depan,” lanjut Jordan tersenyum tipis, lalu memutar pelan tubuh Evelina hendak menghadap ke arah pagar. “Sekarang lebih baik lo masuk dan segera selesaikan tugas dari Pak Han sebelum tenggat waktu.”
Mendengar hal tersebut, Evelina langsung mengembuskan napasnya panjang. Dengan melangkah gontai gadis itu membuka pintu gerbang, kemudian membalikkan tubuhnya menatap Jordan yang masih setia di tempat sembari menatap dirinya dengan ekspresi datar.
“Hati-hati di jalan, Jo!” ucap Evelina sebelum akhirnya gadis itu benar-benar masuk ke dalam gerbang.
Meninggalkan Jordan yang memegangi dadanya sembari mengembuskan napas beberapa kali. Lelaki itu merasa jantungnya hampir saja melompat keluar akibat perkataan impulsif yang tidak terduga sama sekali.
Sesaat kemudian, Jordan pun meninggalkan pekarangan rumah yang ditinggali Evelina bersama kedua orang tuanya. Kini keluarga yang biasanya terpisah itu mulai berkumpul akibat Peter memiliki banyak pekerjaan di Indonesia, termasuk memindahkan seluruh perusahaannya atau meminta Evelina agar mau tinggal di luar negeri.
Beberapa menit kepergian Jordan, datanglah seorang lelaki dengan motor besar yang berhenti tepat di depan gerbang. Seorang lelaki tampan dengan helm full face yang menutupi seluruh wajahnya. Zafran terlihat mengacak rambutnya sesaat, sebelum akhirnya melenggang masuk menuju pintu gerbang yang belum terkunci memperlihatkan Pak Jafran sedang menyapu halaman menggantikan Bi Darwi pulang kampung.
“Nak Zafran kenapa baru masuk? Bapak kira langsung pulang,” tanya Pak Jafra mengernyitkan keningnya bingung.
“Hah? Maksud Pak Jafra apa?” Zafran bertanya balik.
“Tadi Bapak lihat Nona Eve diantarkan oleh seorang laki-laki. Bapak kira itu Nak Zafran, karena tadi sempat ngobrol lama sekali di depan gerbang. Sampai Bapak yang awalnya mau keluar enggak jadi,” jawab Pak Jafran meringis pelan.
“Enggak, Pak. Zafran baru datang, ini mau nyamperin Eve. Tapi, terima kasih atas informasinya. Nanti biar Zafran yang tanya sendiri.”
Setelah berbincang hal tersebut, Zafran pun melenggang santai memasuki rumah yang ternyata kedatangannya disambut oleh seorang lelaki tampan dengan membawa sekotak perkakas mobil.
Peter melebarkan matanya terkejut ketika membuka pintu rumah memperlihatkan seorang lelaki yang terlihat berkeringat akibat kelelahan.
“Zafran, habis dari mana kamu? Kok berkeringat banyak?” tanya Peter memberikan sekotak tisu yang hendak dimasukkan ke dalam mobil.
Sejenak Zafran meringis pelan, lalu menjawab, “Iya, Om. Tadi banyak kerjaan di sekolah.”
“Ya ampun, masuk sana! Minum di dalam biar enggak kena dehidrasi,” titah Peter tegas.
Mendengar hal tersebut, Zafran pun mengangguk pelan. Kemudian, ia mulai mendorong pintu rumah yang awalnya tertutup rapat. Sedangkan Peter hanya menggeleng tidak percaya memperhatikan Zafran yang benar-benar ceroboh.
“Pak Jafra, tolong masukin perkakas ini ke dalam mobil!” pinta Peter memperlihatkan sebuah kotak hitam pada lelaki paruh baya yang baru saja selesai menyapu halaman.
“Baik, Pak!” balas Pak Jafra patuh.
Sementara itu, di sisi lain Zafran tengah melenggang santai ke arah dapur untuk menyegarkan kerongkongannya sesaat. Ia bertemu dengan Wendy yang terlihat sedang membuat sesuatu di dapur. Wanita cantik itu melemparkan senyum ramah ke arah Zafran.
“Baru pulang, Zaf?” tanya Wendy melangkah mendekat sembari menaruh sepiring potongan bolu di hadapan Zafran.
“Iya, Tan. Ada banyak acara di sekolah, jadi baru pulang,” jawab Zafran mengangguk pelan, lalu menoleh ke arah lain. “Eve ada di mana?”
“Eve lagi mandi. Dia juga sama baru pulang. Tante pikir ada pelajaran tambahan, ternyata memang sekolah ada acara.”
“Acaranya bukan di SMA Catur Wulan, Tan. Tapi, SMP Catur Wulan. Sekolah cabang baru yang ada di dekat jalan besar Kebon Jeruk,” ralat Zafran sembari mengunyah bolu pemberian Wendy yang terasa sangat lembut. Membuat lelaki itu mengangguk-angguk pelan.
“Wah, Yayasan Catur Windu sekarang memperbanyak cabang, ya? Pantas aja Om Peter mulai ikut sibuk juga. Ternyata memang sekolahnya dibagi menjadi dua jenis,” balas Wendy setengah terkejut, lalu mengangguk-angguk pelan menyadari bahwa sekolah yang kini menjadi tempat Evelina menimba ilmu sudah berkembang menjadi lebih baik.
“Udah lumayan lama, Tan. Sekitar dua tahun yang lalu mulai beroperasi. Tapi, pembuatannya sejak Eve sama Zafran masih SMP.” Zafran tersenyum geli melihat Wendy benar-benar terkejut menyadari bahwa perkembangan lingkungan di sekitarnya sangat pesat. Terlebih ekonomi Indonesia yang mampu bersaing dengan negara asing.
Wendy menarik kursi di hadapan Zafran, lalu berkata, “Tante enggak nyangka kalau semakin tua. Dulu ketika Tante pertama kali datang ke sini bersama Om, seluruh jalan belum seramai dan secanggih sekarang.”
0o0
Selesai diantarkan oleh Jordan yang mengatakan hal sedikit aneh, Evelina benar-benar menjadi tidak fokus. Gadis itu tengah mendudukkan diri di kursi balkon sembari menikmati semilir angin yang menyapu kulitnya. Untung saja kamar mandi di lantai atas telah diperbaiki oleh sang ayah, sehingga bisa digunakan kembali.
Tepat mengenakan pakaian ganti, Evelina memang langsung mendudukkan diri di balkon menikmati angin lembut yang menyapu kulit. Gadis yang mengenakan piyama merah dengan celana panjang itu tampak meluruskan kedua kakinya di kursi malas sembari mendengarkan musik.
Tanpa sadar ketukan dari pintu kamar membuat gadis itu membuka matanya, lalu menoleh dengan kening berkerut. Akan tetapi, tak urung membuat Evelina bangkit menghampiri pintu kamar yang terdenga diketuk pelan oleh seseorang dari luar.
Sejenak Evelina membuka kunci kamar, sebelum akhirnya menarik handle tersebut memperlihatkan seorang wanita cantik yang tersenyum gemas melihat anak semata wayangnya ternyata telah menyelesaikan kegiatan membersihkan tubuh sebelum makan malam.
“Turun ke bawah yuk! Ada Zafran di dapur nungguin kamu dari tadi,” ajak Wendy tersenyum tipis, lalu menunjuk ke arah lantai yang berada di bawah.
“Ngapain Zafran ke sini, Mah?” tanya Evelina mengernyit bingung sembari menutup pintu kamar, lalu memeluk tangan sang ibu dengan manja.
“Mamah juga enggak tahu, tapi dia udah dari tadi ada di sini. Bahkan sempat bantu Mamah masak makan malam juga,” jawab Wendy menggeleng pelan.
“Kok aneh? Bukannya dia pulang ke rumah sendiri, malah datang ke sini,” gumam Evelina mengernyit penasaran sekaligus tidak menyangka bahwa sahabatnya akan datang sebelum makan makan malam.
“Tapi, dia udah mandi kok. Mamah sempat nyuruh buat mandi dulu sebelum pulang. Biar nanti bisa langsung istirahat,” timpal Wendy tersenyum hangat melihat anak semata wayangnya juga tidak mengira bahwa Zafran akan datang. “Jadi, kamu jangan marahan lagi sama Zafran. Cepat baikan biar dia enggak repot ke sini. Kasihan orang tuanya. Pasti lagi cemas.”
“Tenang aja, Mah. Tante Rina enggak akan cemas kalau Zafran hilang. Karena pasti tahu di mana rimbanya Zafran sampai lupa pulang. Lagian Eve sama Zafran enggak marahan. Mungkin dia aja yang pengen datang ke sini,” balas Evelina dengan sedikit mengelak agar tidak terlalu disalahkan oleh orang tuanya sendiri.
Mendengar penjelasan tersebut, Wendy hanya menggeleng gemas melihat sang anak begitu santai menanggapi Zafran. Memang tidak dapat dipungkiri keduanya seperti saudara yang selalu bersama.
Namun, diam-diam di balik sikap acuh tak acuhnya Wendy merasa sesuatu telah terjadi pada Evelina. Entah kenapa feeling dirinya sebagai seorang ibu sangat kuat. Atau memang selama ini menjadi ketakutan terbesarnya dalam menitipkan Evelina bersama seseorang yang selama ini sudah dianggap sebagai saudara.
Sesampainya di dapur, kedatangan Wendy dan Evelina pun disambut oleh dua orang lelaki tampan yang duduk saling berbincang satu sama lain. Wajah Peter tampak sumringah dengan kedatangan Zafran yang sudah lama sekali tidak makan bersama.
“Kenapa baru turun, sayang?” tanya Peter menatap ke arah Evelina yang tersenyum geli.
“Papah tahu sendiri kalau Eve istirahat, jadi enggak tahu kalau mau makan malam. Habisnya Mamah enggak bilang apa-apa,” jawab Evelina berusaha mencari alasan.
“Ya sudah, sekarang makan malam. Kasihan Zafran kelihatannya sudah lapar.” Peter pun mengawali makan malam dengan berdoa. Lelaki yang menjadi kepala rumah tangga itu pun memimpin dengan Evelina dan Wendy sudah terbiasa.
Sedangkan Zafran sama sekali tidak menyangka bahwa keluarga di hadapannya masih menjunjung tinggi nilai agama. Sampai berdoa disetiap tindakan. Tak ayal Evelina pun menjadi pribadi yang lebih baik.
Setelah beberapa saat menghabiskan makan malam, Evelina dan Zafran pun memutuskan untuk memisahkan diri. Tanpa sadar langit malam telah menyambut pemandangan keduanya yang baru saja kembali keluar untuk duduk di sepasang ayunan dengan penutup yang berada di taman kecil berada tepat depan rumah.
Tentu saja Zafran telah mengatakan pada kedua orang tuanya berada di rumah agar tidak merasa cemas, terlebih lelaki itu tidak mengatakan apa pun masalah kepergiannya sejak pagi tadi. Kemungkinan Yusrina akan merasa cemas kepada sang anak.
Sebenarnya semua ini telah direncanakan oleh Wendy. Sebab, wanita itu merasa bahwa telah terjadi perenggangan antara Evelina dan Zafran. Entah siapa yang menjadi penyebab pertama kali, tetapi wanita itu harus tetap menyatukan keduanya kembali. Sebelum seseorang muncul di antara keduanya.
Sejenak Evelina mendudukkan di kursi yang tepat menghadap pagar, sedangkan Zafran mendudukkan diri tepat di hadapan sahabatnya dengan menghadap ke arah pintu utama rumah yang tertutup rapat.
Ketika saling berhadapan Evelina bisa melihat ekspresi Zafran yang masih sama seperti dulu. Hanya saja pikirannya sedikit terganggu akibat ungkapan tidak terduga dari Jordan yang sukses membuat perhatian Evelina sedikit teralihkan.
“Tadi ... lo diantar siapa, Ve?” tanya Zafran memecahkan keheningan.
Namun, siapa sangka kalau pertanyaan itu sukses membuat Evelina melebarkan terkejut. Menjadikan Zafran yang memperhatikan ekspresi gadis itu sejak tadi pun merasa sedikit penasaran, sebab ini kali pertama Evelina bereaksi sedikit aneh.
Evelina berdeham pelan, sebelum menjawab, “Jo ... Jordan. Kenapa?”
“Oh,” sahut Zafran mengangguk acuh tak acuh. Seakan jawaban tersebut sama sekali tidak bereaksi, tetapi siapa sangka kalau ternyata Evelina sedang menyembunyikan sesuatu di balik Zafran. “Gue pikir siapa. Karena tadi tumben banget Pak Jafran ngira lo diantar gue, tapi emang seharusnya sama gue.”
Pikiran Evelina langsung mengarah pada kejadian di mana Yeoso menunjukkan sebuah foto yang berasal dari salah satu temannya tanpa sengaja bertemu Zafran di pinggir jalan. Gadis itu sempat mendengar bahwa Evelina dan Yeoso hendak pergi menuju SMP Catur Wulan pun memberi kabar bahwa Zafran sedang berboncengan bersama seorang gadis asing berasal dari kelas sebelah.
“Zaf, tadi kenapa lo tiba-tiba ada urusan? Padahal awalnya lo sendiri yang nunggu gue di depan gerbang,” tanya Evelina menatap penuh. Ia ingin mencari kebohongan dari mata Zafran yang kemungkinan besar akan menghindari tatapannya.
Dan benar saja, dugaan Evelina pun terjadi. Nyatanya Zafran langsung mengembuskan napas gugur sembari menatap ke arah lain, lebih tepatnya ke arah tempat di mana motor besar lelaki itu terparkir.
“Entahlah. Gue juga enggak tahu kenapa bisa mendapat urusan tiba-tiba,” jawab Zafran tersenyum miris.
Sayang sekali Evelina tidak percaya begitu saja. Karena Zafran telah berbohong kepada dirinya membuat gadis itu merasa bahwa tidak akan ada lagi yang bisa dipercayai setiap perkataan keluar dari mulut lelaki tersebut.
“Mungkin lo emang benar-benar sibuk, Zaf. Gue enggak pernah maksa buat lo selalu ada. Tapi, jangan pernah berbohong hanya untuk suatu alasan. Memang akan menutup kebohongan satu, sayangnya belum tentu lo bisa menutup kebohongan lain yang dijadikan alasan sama lo. Ibaratkan lo nambal satu ban bocor dengan ban lainnya yang masih sehat. Enggak akan bisa sempurna.”