Selesai menonton, akhirnya Zafran pun memutuskan untuk makan siang lebih dulu. Kali ini yang membawa Evelina, karena mereka berdua telah membagi jatah traktiran sebelum masuk mal.
Tentu saja janji Evelina ketika menebus kesalahan adalah membayar makan siang di salah satu restoran steak. Membuat Zafran mendadak bersemangat, karena lelaki itu jarang sekali memakan makanan berat, walaupun pagi tadi sudah menemani kedua orang tuanya untuk melakukan survei tempat sekaligus mencoba salah satu tempat teman sang ayah yang baru saja buka.
“Pagi ini kata Mamah, lo ke mal juga, ya?” celetuk Evelina di sela langkah kakinya menuju restoran.
“Iya, kebetulan juga ketemu sama Tante Wendy,” balas Zafran mengangguk pelan. “Untung aja lo enggak ikut ke mal, Ve. Mungkin gue bakalan bingung ngajak lo nonton di mana lagi. Karena cinema yang biasa kita tongkrongin udah mulai tutup karena ada pasien CoroVac terjangkit di sana.”
“Lo benar-benar doyan nge-mal dibandingkan gue, Zaf. Kalau gue jadi lo, lebih baik nonton di rumah. Bukankah lo udah punya bioskop sendiri, ya?”
“Awalnya gitu, tapi proyektor yang ada di sana rusak sama Bang Adzran. Entah apa yang dia perbuat sampai enggak bisa nyala lagi.”
“Wah, sayang banget. Padahal kalau nyala gue mau nonton di sana, karena Mamah buat kue untuk Bang Adzran.”
“Kenapa kalian berdua perhatian sama Abang gue? Atau jangan-jangan … lo suka, ya?” goda Zafran entah kenapa rasanya mendadak tidak nyaman. Akan tetapi, lelaki itu hanya beranggapan hal biasa.
“Enak aja!” sungut Evelina tidak terima. “Bang Adzran itu udah gue anggap sebagai abang sendiri, jadi agak aneh kalau tiba-tiba berubah menjadi hubungan lain.”
“Oh, jadi ini alasan lo enggak mau pacaran sama teman atau sahabat sendiri?” Zafran mengangguk-angguk mengerti.
“Hei, bukan itu masalahnya!” sela Evelina tidak terima. “Lo coba pikir aja kita yang awalnya sahabatan tiba-tiba berubah jadi pacaran. Apa yang beda? Cuma status doang, ‘kan? Rasa perhatian dan peduli udah ada dari dulu. Jadi, lebih baik status seperti ini dibandingkan hanya membuat kecanggungan aja.”
Beberapa saat Zafran tampak tertampar pada perkataan Evelina yang menggaris keras bahwa tidak ada persahabatan berubah status. Apalagi kalau sampai pacaran dengan berujung putus, jelas mereka akan terasa canggung jika kembali memulai sebuah persabatan. Jelas rasanya sudah sangat berbeda dibandingkan ketika mereka masih dalam keadaan murni bersahabat sejak kecil.
Perkataan Evelina benar-benar membuat situasi keduanya menjadi sangat canggung. Sebab, gadis itu mendadak merasa bahwa perkataannya sudah sangat keterlaluan. Ditambah dengan Evelina yang merasa bersalah akibat perkataannya sendiri.
“Zafran!”
Suara seseorang dari kejauhan membuat langkah kaki keduanya terhenti, lalu membalikkan tubuh secara bersamaan. Wajah keduanya tampak mengernyit bingung melihat seorang gadis berlari mendekat sendirian.
“Kebetulan sekali kita bertemu di sini,” ungkap gadis itu tersenyum lebar, lalu melirik tidak suka ke arah Evelina yang berdekatan dengan Zafran.
Sedangkan lelaki itu terlihat bingung sekaligus tidak percaya bisa bertemu seorang gadis yang hampir menyiksa dirinya kemarin. Akan tetapi, ini jelas kebetulan semata karena mereka berdua tidak pernah bertukar nomor ponsel, termasuk kedua sahabatnya sekalipun.
“Lo Azalia, ‘kan?” tanya Evelina mengenali gadis cantik di hadapannya.
Azalia menoleh sesaat, lalu menjawab, “Iya, gue Azalia yang jadi murid baru di sekolah. Salam kenal, ya.”
“Ngapain lo di sini?” tanya Zafran mengalihkan pembicaraan.
Azalia memasang ekspresi sedih sembari memegang tali tas selempang yang ada di tubuhnya. “Tadinya gue berencana buat nonton, tapi gue baru ingat kalau gue sama sekali belum punya teman di sini. Jadi, mau enggak mau gue cuma jalan doang dari tadi. Sampai enggak sengaja ketemu lo.”
Dengan sengaja Azalia menekankan kata pertemuannya bersama Zafran, melupakan pada kenyataan bahwa lelaki itu juga datang bersama Evelina yang tepat di sebelahnya. Membuat Evelina mendadak terasingkan dan memilih untuk menatap ke arah lain, nyatanya perlakuan yang tidak adil itu masih dirinya dapatkan dari murid baru.
Sedangkan Zafran yang melihat perubahan ekspresi sahabatnya pun langsung mengerti. Ia jelas tahu suasana hati Evelina ketika mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan. Gadis itu akan tetap diam seakan tidak terjadi apa pun, lalu secara perlahan akan menghilang membuat Zafran langsung mencekal pergelangan tangan mungil Evelina.
Tindakan manis itu tidak luput dari pandangan Azalia yang mendadak kesal. Gadis cantik yang mengenakan gaun selutut mengembuskan napasnya panjang, lalu menatap ke arah Evelina yang terlihat biasa saja dengan pakaiannya.
“Kalian berdua habis ngapain?” tanya Azalia ke arah Evelina.
“Nonton,” jawab Evelina singkat.
“Sekarang mau ke mana?”
Baru saja Evelina hendak menjawab, tetapi langsung disela oleh Zafran, “Pulang. Kasihan Eve udah nemenin gue seharian ini, jadi gue mau balik aja.”
Seketika gadis yang menjadi sahabat Zafran selama puluhan tahun itu pun mengernyitkan keningnya bingung. Namun, Evelina memilih untuk tidak mengatakan apa pun, karena selama ini Zafran juga berusaha menyingkirkan seluruh penggemarnya yang hendak mengusik ketenangan Evelina.
“Kalian udah mau pulang, ya. Gue pikir masih ada kegiatan lagi,” keluh Azalia mendadak lemas. “Padahal gue mau ajak main timezone.”
“Sorry, kesehatan Eve lebih penting buat gue,” ucap Zafran penuh penekanan, lalu menarik lembut pergelangan tangan Evelina tanpa mengindahkan Azalia yang mendengkus keras-keras.
Langkah kaki Zafran benar-benar membawa Evelina keluar dari dalam mal menuju parkiran basement untuk mengambil mobil. Tidak ada pembicaraan apa pun yang keluar, selain Evelina yang sesekali melirik wajah sahabatnya tampak tidak nyaman.
Ketika merasa berdua sudah berada di dalam mobil, Zafran pun membawa sahabatnya keluar dengan melaju cukup pelan. Kemudian, memberikan karcis parkir pada salah satu bilik untuk membayar nominal yang mereka habiskan selama bermain di dalam mal.
“Uhm … Zaf, lo kenapa?” tanya Evelina menatap sahabatnya yang berusaha untuk tenang.
“Enggak, gue cuma takut lo enggak nyaman ada di dekat Azalia,” jawab Zafran menggeleng pelan.
Evelina tersenyum tipis mendengar nada perhatian dari lelaki yang ada di sampingnya. “Tenang aja, gue suka kok sama dia.”
“Jangan bohong, Na.” Wajah Zafran tampak tidak terima mendengar perkataan penuh tipu dari gadis yang ada di sampingnya.
**
Seharian penuh berlibur dengan Evelina membuat Zafran entah kenapa merasa kali ini jauh berbeda. Seakan ada sesuatu jauh dari lubuk hatinya kebahagiaan dengan kupu-kupu serasa berterbangan di atas perutnya.
Kini kedua sahabat langgeng itu tampak memutuskan untuk mampir ke tempat terakhir, yaitu kafe bergaya kpop yang lumayan penuh. Untung saja Evelina dan Zafran masih kebagian meja cukup strategis untuk memandangi sekitar dari lantai dua kafe.
Alunan musik bergaya kekoreaan itu mengalun sopan di telinga setiap pengunjung, namun sayang sekali tidak ada satu lagu pun yang merasa Evelina senang. Gadis yang sudah menggeluti fangirl selama SMP itu sudah menyukai dan mendengar banyak lagu.
Akan tetapi, untuk fandom resminya Evelina hanya memiliki satu saja, meskipun yang lainnya hanya menjadi pemanis sekaligus penikmat musik sejati.
“Lo suka, Na? Gue dengar tempat ini dari Jo,” celetuk Zafran tersenyum lebar sembari menghirup udara di sekitar dengan panjang, lalu mengembuskan secara perlahan.
“Jo suka ke kafe juga?” tanya Evelina terkejut, sebab selama ini hampir tidak pernah sekalipun Evelina mendengar bahwa lelaki itu akan menyukai hal-hal keramaian.
“Iya, dia sekitar dua minggu yang lalu rekomendasiin tempat ini. Tapi, sayangnya kita bertiga belum bisa datang karena kesibukan masing-masing,” jawab Zafran mengangguk singkat dan tersenyum geli melihat keterkejutan dari wajah Evelina.
“Wah, keren juga si Jordan! Bisa-bisanya dia lebih tahu tempat begini dibandingkan gue.”
“Bukan begitu, Ve. Dia tanpa lo tahu itu juga fanboy, cuma bedanya dia rada kalem enggak seperti lo yang bar-bar.”
“Fandom dia siapa?” tanya Evelina mendadak antusias.
“VIP dan bias-nya Taeyang,” jawab Zafran menumpukan kedua tangannya di atas meja menatap betapa senangnya Evelina membicarakan hal yang terkadang menurut lelaki itu membosankan, karena Zafran memang tidak terlalu menyukai kpop. Walaupun lelaki itu menerima lagu apa saja yang menurutnya easy listening.
Evelina melebarkan matanya terkejut. “Daebak! Gue kira cupu ternyata suhu.”
Sontak Zafran pun tertawa lebar melihat keterkejutan Evelina yang benar-benar natural membuat gadis itu terlihat begitu antusias, walaupun tidak berada di fandom yang sama. Sebab, Evelina merupakan EXOTIC sejak debut EXO meluncurkan lagu berjudul MAMA yang hampir dikatakan sebagai pemujaan ajaran sesaat akibat musik video uniknya.
“Tapi, enggak satu fandom sama lo, ‘kan?”
“Jelaslah, Zaf. Lo tahu sendiri kalau BIG BANG itu generasi 2, sedangkan EXO baru masuk generasi 3 dan langsung klop sama gue.”
“Waktu gue cerita lo juga suka kpop dia enggak terlalu terkejut, Ve. Tapi, dia akuin kalau selera musik lo tinggi sampai suka EXO. Karena rata-rata lagu yang dibawain itu super high note dan beat-nya rapat.”
“Dia udah dengar lagu Tempo sama Drop That belum?”
“Udah, masuk ke playlist dia kok. Bahkan gue enggak nyangka ternyata dia lebih suka lagu Oh Lalala sama Monster.”
“Waw, dia ajaib. Gue juga suka lagu BIG BANG yang judulnya Bang Bang Bang dan sub unit G.D sama Taeyang judulnya Good Boy. Asyik parah itu lagu!”
“Oke, oke. Kalau lo mau ngomongin masalah kpop lebih baik di depan Jo langsung jangan sama gue, karena enggak ngerti. Dan, fandom lo juga lagi hiatus, jadi enggak ada lagu comeback lagi.”
“Ah, iya. EXO lagu terakhir yang gue rekomendasiin bagus enggak?”
“Gue suka Runaway. Menenangkan banget buat album yang lo beli sekarang.”
Sementara itu, di sisi lain terlihat sepasang remaja tengah melangkahkan kakinya mengelilingi ruang serba putih sembari menenteng keranjang berisikan buah. Sampai langkah salah satu dari mereka terhenti di sebuah pintu untuk mengecek pasien yang ada di dalam.
“Bagaimana keadaan Ibu saya, Dok?” tanya Yeoso menghampiri seorang lelaki paruh baya berjas putih yang terlihat sedang memeriksa aliran infus dengan sesekali melonggarkannya.
“Sudah jauh lebih baik, tapi masih dalam tahap pemulihan. Jadi, tunggu sampai perkembangan kesehatannya menjadi signifikan baru bisa dipulangkan. Yeoso tenang saja, kami akan melakukan yang terbaik,” jawab dokter tersebut mengangguk singkat, lalu melenggang pergi bersama satu perawat yang menuliskan rekam medis di pinggir kamar.
Sepeninggalkan dokter dan perawat yang selalu memeriksa keadaan setiap lima jam sekali, Yeoso mengembuskan napasnya panjang. Kemudian, berusaha tersenyum sembari menatap Reyhan yang tampak terkejut.
“Taruh buahnya di atas nakas aja,” titah Yeoso menunjuk meja kosong tanpa berisikan apa pun, selain air mineral dari dalam gelas yang tampak penuh.
Dengan patuh Reyhan menuruti perkataan dari gadis yang ada di sampingnya, lalu kembali menatap ke arah Yeoso. Kini gadis itu tampak melepaskan tas selempang kecilnya menatap seorang wanita yang selama ini menjadi sumber kebahagiaan Yeoso.
“Rey, gue ngajak lo ke sini cuma mau ngasih tahu kalau lo benar-benar tulus sama gue. Wanita yang sedang terbaring ini ibu asuh gue, tapi beberapa tahun kebelakang beliau sering sakit-sakitan. Sudah empat hari dirawat tanpa ada siapa pun yang menjenguknya selain gue,” tutur Yeoso menatap Reyhan dengan pandangan yang sulit diartikan.
“Di mana orang tua lo?” tanya Reyhan sangat berhati-hati dan berharap bahwa gadis yang ada di sampingnya tidak tersinggung.
“Eomma appa ada di Korea Selatan. Mereka berada di sana sudah hampir satu bulan penuh,” jawab Yeoso tersenyum miris. “Awalnya aku ingin mengajak mereka ke sini, tapi aku yakin mereka juga di sana sedang sibuk. Apalagi uri eomma bilang kalau appa sibuk dengan perusahaannya.”
“Mengapa lo ngajak gue ke sini untuk mencari ketulusan?” Reyhan tampak tidak mengerti sekaligus penasaran dengan maksud perkataan awal dari Yeoso yang mendadak membuat perasaannya terguncang sesaat.
Yeoso tersenyum geli. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa lelaki tampan di hadapannya tidak mudah peka. Membuat gadis itu harus menjelaskannya secara detail.
“Karena selama ini lelaki yang berkenalan sama gue selalu melarikan diri,” jawab Yeoso sarkas.
“Mengapa mereka melarikan diri?” tanya Reyhan dengan nada tidak suka.
Yeoso mengembuskan napasnya panjang, lalu menjawab, “Lo lihat sendiri bagaimana keadaan Ibu gue. Mereka ngira kalau gue berasal dari keluarga yang sempurna, walaupun kenyataannya sama sekali tidak.”
Perkataan dari Yeoso sukses membuat Reyhan menatap tidak percaya. Lelaki itu tampak mengernyit tidak suka akan perkataan dari lelaki yang pernah menolak Yeoso hanya karena orang tuanya.
“Hanya orang bodoh yang menyia-nyiakan lo dengan alasan kasta,” kecam Reyhan tidak terima.