67. Evelina Sakit, Zafran Perhatian

2009 Kata
Sehabis bepergian seharian penuh bersama Zafran membuat Evelina benar-benar tidak sadarkan diri. Biasanya gadis itu akan terbangun dari alam bawah sadarnya pada pukul 05.00 am. Sebab, Evelina memiliki kebiasaan untuk selalu membuka catatan sebelum berangkat sekolah. Namun, kali ini Evelina benar-benar tertidur layaknya orang meninggal. Sampai Wendy pun merasa bingung sendiri dengan keadaan tidur Evelina yang benar-benar mengejutkan. Sampai pada akibatnya gadis itu menjadi kalang kabut dan tidak sempat memakan sarapannya. Sebab, jam dinding yang ada di rumah minimalis tersebut memperlihatkan pukul 6.30 am membuat Evelina benar-benar tidak sempat melakukan apa pun. Bahkan untuk berangkat sekolah gadis itu terpaksa diantar oleh Pak Jafra agar tidak terlambat, mengingat Senin pagi selalu memiliki kebiasaan mengibarkan bendera merah-putih pada saat upacara. Kedatangan Evelina yang tidak biasa memakai atribut sembari mengendarai mobil membuat Pak Jafra tersenyum geli. Ini kali pertama anak majikannya terlambat sampai tidak bisa melakukan apa pun, selain hal yang terpenting saja. “Nona, nanti turunnya di tempat biasa atau depan sekolah?” tanya Pak Jafra melirik singkat ke arah spion tengah. “Depan sekolah aja, Pak. Tapi, agak munduran sedikit biar enggak kelihatan dari depan,” jawab Evelina menepuk pelan pada simpul dasi yang telah ia kerjakan, lalu melirik ke arah kotak makan sekaligus tumblr berisikan s**u hangat pemberian dari Wendy. Tanpa pikir panjang Evelina langsung membuka kotak makan tersebut berisikan dua potong sandwich berbentuk segitiga dengan di sisi lainnya terdapat satu mangkuk bulat penuh nasi goreng buatan Wendy yang belakangan ini giat memasak demi menyenangkan seluruh keluarganya. Pertama kali Evelina memakan nasi goreng dengan sesekali mengambil isi dari sandwich untuk dijadikan pelengkap. Namun, sayang sekali tepat sampai di sekolah Evelina belum menyelesaikan kegiatan sarapannya. Gadis itu masih menyisakan dua potong sandwich dengan bekas nasi goreng yang telah dimakan beberapa saat lalu. Evelina menutup kotak makan tersebut, kemudian memasukkannya ke dalam tas dan beranjak turun dari mobil. Gadis itu merapikan penampilannya sekaligus memeriksa apakah ada nasi yang terlewat, sebelum benar-benar melenggang masuk bersama murid lainnya. Kebanyakan yang datang paling akhir adalah murid kelas IPS, sebab kebanyakan dari mereka memang jarang sekali datang cepat. Akibatnya tidak sedikit ketika upacara nanti segerombolan murid akan dihukum berjamaah. Karena mereka memang sedikit mengejutkan. “Eve, lo dari mana aja baru datang?” panggil Zafran yang ternyata baru saja selesai dari toilet. Lelaki itu tampak memasukkan pakaiannya ke dalam celana sembari menghampiri Evelina. Spontan langkah kaki gadis itu pun terhenti, lalu membalikkan tubuh dengan kening berkerut bingung melihat sahabatnya sudah datang. Padahal ia mengira bahwa Zafran akan terlambat seperti biasa, tetapi pada kenyataannya tidak. “Gue terlambat bangun tadi. Lo sendiri kok udah datang? Biasanya juga terlambat,” balas Evelina memincingkan matanya penuh selidik. “Iya, tadi Azalia minta gue jemput. Karena gue ingat perkataan lo kemarin, akhirnya gue mau. Kalau aja enggak, mungkin gue masih ada di alam mimpi sekarang.” Zafran mengembuskan napasnya berat, lalu melirik ke arah tas bekal yang ada di tangan Evelina. Tanpa pikir panjang, Zafran langsung mengambil tas bekal tersebut dan membukanya dengan cepat sebelum Evelina berhasil mengambilnya kembali. Tentu saja gadis itu hanya mematung terkejut melihat perampasan paksa dari sahabatnya. Setelah sadar Evelina langsung berseru kesal, “Zafran, sarapan gue!!!” “Gue mintalah,” sindir Zafran mendesis pelan, lalu mengambil salah satu sandwich tersebut dan memakannya dengan santai. Padahal jelas-jelas yang diambil oleh lelaki itu adalah bekasan milik Evelina. “Ih, Zaf, itu punya gue. Lo bisa ambil yang baru!” protes Evelina tidak terima dan hendak merampas makanan sisanya tadi. “Udah, santai aja. Gue juga sering makanan makanan bekas lo, ‘kan? Ngapain repot, sih. Gue bakal makanan semuanya, jadi enggak ada untung sama sekali pilih-pilih,” balas Zafran melenggang santai membawa kotak bekal Evelina pergi. Spontan gadis itu pun mengejar sahabatnya dengan mengembuskan napasnya panjang. Untung saja keadaan sedang sepi sehingga percakapan Evelina dan Zafran tadi tidak didengar oleh siapa pun, walau pada kenyataannya tanpa mereka sadari ada sebuah telinga yang sejak tadi bersembunyi di balik toilet perempuan. Sesampainya di kelas, Evelina disambut dengan pemandangan menyegarkan dari murid kelas 11 IPA 2 yang terlihat sedang bersiap menuju ke lapangan. Mereka sibuk melakukan kegiatannya masing-masing membuat Evelina melenggang begitu saja menuju bangkunya. Terdapat seorang lelaki berwajah dingin nan datar yang terlihat menyiapkan topi upacara dan melirik singkat ke arah Evelina. Lelaki itu tampak mengernyit bingung, tetapi tidak mengatakan apa pun. Evelina mengembuskan napasnya malas, lalu merebahkan kepala di atas meja dengan ransel beratnya masih bersarang di pundak. “Hah … gue lelah banget, Jo. Pagi ini gue terlambat gara-gara kesiangan,” keluh Evelina seakan hidupnya paling melelahkan di bumi. “Kenapa?” tanya Jordan singkat. “Entahlah. Gue semalam tidur cepat, tapi paginya malah kesiangan. Sepertinya gue kelelahan akibat menemani Zafran berkeliling mal kemarin,” jawab Evelina menggeleng pelan sembari melepaskan ranselnya tanpa tenaga membuat benda tersebut kini berdiri tegak di sandaran kursi. Jordan menggeleng tidak percaya, lalu mengambil ransel milik Evelina dan menaruhnya di gantungan samping meja. Lelaki itu tampak melihat wajah lelah dari Evelina yang benar-benar memprihatinkan. Sebab, wajah gadis itu tampak membengkak sehabis bangun tidur. “Lo kelelahan akibat latihan dan langsung main, Ve?” tanya Zafran seketika mengingat jadwal akhir pekan dari gadis yang ada di sampingnya. “Iya, kebetulan kemarin gue latihan terlalu keras. Tapi, karena udah janji gue jadi enggak enak mau nolak Zafran. Alhasil gue benar-benar kecapekan sekarang,” jawab Evelina memejamkan matanya secara perlahan. Entah kenapa kepalanya mulai berputar-putar searang rotasi bumi tepat berada di depan matanya. Sedangkan Jordan tidak bisa melakukan apa pun hanya diam menatap seorang gadis cantik di depannya. Ia terlihat mengalihkan pandangan saat melihat salah satu guru masuk untuk memberikan instruksi pada mereka agar segera turun ke lapangan. “Ve, ayo upacara!” ajak Jordan menepuk pelan bahu gadis itu. “Ah, udah upacara?” tanya Evelina sedikit linglung dan menegakkan tubuhnya kembali. “Iya, kita disuruh turun ke bawah,” jawab Jordan mengangguk singkat. Sejenak Evelina mengumpulkan seluruh tenaganya, sebelum benar-benar bangkit untuk melakukan kebiasaan dalam menegakkan kemerdekaan. ** Upacara berlangsung cukup khidmat dengan banyak murid SMA Catur Wulan rela berpanas-panasan menunggu ceramah yang selalu kepsek bicarakan. Entah itu kebersihan maupun kenakalan anak remaja yang selama ini menjadi momok menakutkan bagi warga sekitar. Tidak jarang murid lelaki SMA Catur Wulan selalu menjadi perhatian lebih bagi kepsek, mengingat kebanyakan dari mereka anak siswa pintar dan berprestasi. Akan tetapi, kenakalanlah yang membuat mereka menjadi sedikit tertinggal. Selama mendengarkan banyak ceramah yang dilontarkan, Evelina tampak mengusap bulir keringat membasahi keningnya. Entah sudah ke berapa kali gadis itu mengusap kening menggunakan tisu yang kebetulan selalu Evelina bawa ketika bepergian. Pergerakan itu pun membuat beberapa murid yang berada di samping Evelina mendadak penasaran. Mereka sesekali menoleh memastikan bahwa gadis itu tetap terjaga. Karena wajah Evelina benar-benar pucat. “Ve, lo sakit?” tanya salah satu murid kelas sebelah yang kebetulan mengenal Evelina. Dan benar saja, ketika Evelina menoleh wajah gadis itu benar-benar pucat dengan sepasang mata sayu hendak hilang kesadaran. Membuat murid yang sempat menanyai itu pun langsung memegang kedua pundak Evelina agar tetap terjaga. “Ve, lo jangan pingsan dulu. Ayo, ikut gue ke UKS!” ajak gadis itu hendak menuntun berbalik. Namun, sayang sekali sebelum Evelina benar-benar berbalik gadis itu sudah tidak sadarkan diri di pelukan salah satu murid yang sempat memperhatikan Evelina sejak tadi. Sontak siswi tersebut berteriak terkejut dan berusaha menahan tubuh lemas Evelina yang sama sekali tidak berat, tetapi tubuh Evelina cukup tinggi hingga membuat siswi lain itu kesulitan dalam menyangga. Sedangkan Zafran yang kebetulan sedang meneduhkan diri pun melihat Evelina tidak sadarkan diri pun langsung berlari membelah kerumunan siswi kelas IPA yang terlihat memperhatikan Evelina tidak sadarkan diri. Tanpa pikir panjang Zafran langsung membopong tubuh Evelina dan membawanya pergi keluar dari barisan. Tentu saja lelaki itu langsung diikuti oleh dua petugas PMR yang berasal dari kelas sebelah. Salah satu dari dua adik kelas itu mengenal Evelina dan merasa sedikit cemas, karena memang sudah menarik perhatian dari sikapnya tadi. Walaupun tidak dapat dipungkiri mereka tidak bisa melakukan apa pun, kecuali Evelina benar-benar keluar dari barisan. Wajah Zafran terlihat sangat panik membopong Evelina menuju ruang UKS yang tidak terlalu jauh dari lapangan, sebab untuk memudahkan para murid yang memang sedang tidak enak badan. Secara perlahan Zafran menurunkan tubuh lemah Evelina yang setengah sadar. Gadis itu masih bisa mengenali wajah sahabatnya yang terlihat sangat menggelikan, tetapi ia terlalu lemah untuk tertawa. “Bu! Ibu!!!” panggil Zafran setengah berteriak pada pengurus UKS yang benar-benar lambat, padahal sudah mengetahui ada murid datang membutuhkan pemeriksaan. Terdengar suara langkah kaki mendekat dengan tergesa-gesa, lalu pintu bergerak pelan menampilkan seorang wanita berseragam putih bersih yang terkejut. “Ada apa ini?” tanya wanita itu menatap ke arah dua petugas PMR yang sedang menyiapkan teh hangat di sudut ruangan sembari mencari minyak penghangat untuk Evelina. Mikeila yang sudah dekat dengan Evelina sejak sering menunggu pun menjawab, “Tubuh Evelina mendadak hilang kesadaran, Bu.” Mendengar hal tersebut wanita itu langsung melangkah mendekati seorang gadis yang terlihat sedikit asing, akibat Evelina terlalu menutup diri untuk menemui siapa pun. Bahkan hanya segelintir orang yang mengenalnya secara dekat ataupun sekedar hafal wajah. Sejenak wanita tersebut menyentuh kening Evelina yang terasa dingin, lalu denyut nadinya mendadak berdetak tidak normal seiring dengan tangan gadis itu terasa hangat. “Kamu masih merasa pusing, Eve?” tanya wanita itu mendadak lembut, lalu menoleh ke arah Zafran yang masih tampak khawatir. “Kamu siapa masih di sini? Cepat keluar! Evelina akan tetap berada di sini.” Zafran tampak tidak terima, tetapi saat lelaki itu hendak membalas perkataannya langsung terhenti menatap ekspresi memohon dari gadis yang ada di hadapannya untuk tidak mengatakan apa pun. Sedangkan Mikeila yang melihat betapa patuhnya Zafran pun tersenyum tipis, lalu mewakili sang pembina PMR berkata, “Jangan khawatir. Eve akan baik-baik aja sama gue. Dia udah jadi teman gue selama ini, walaupun kita jarang ngobrol.” Lelaki tampan yang memiliki seribu pesona memikat itu pun menoleh sejenak membuat Mikeila mencengkram rok putihnya sesaat, lalu kembali bernapas lega ketika Zafran mengalihkan perhatiannya menatap Evelina yang berusaha mengangguk mengiakan perkataan sang guru tersebut. “Lo baik-baik di sini, Ve. Selesai upacaran gue bakalan balik lagi,” ucap Zafran dengan penuh penekanan, sebelum akhirnya melenggang pergi. Sesekali lelaki itu menoleh ke belakang memastikan sahabatnya diurus dengan baik. Sepeninggalnya Zafran yang hendak melanjutkan upacara, Mikeila pun datang menghampiri Evelina sembari membawa teh hangat dan minyak penghangat tubuh untuk diolesi di tubuh gadis itu agar mengurangi rasa tidak enaknya. “Minum dulu, Ve!” titah Mikeila perhatian, lalu mulai menuangkan minyak penghangat tersebut ke telapak tangan sebelum mengusapkan pada telapak tangan Evelina yang kosong dengan lembut dan penuh perhatian. Selesai meneguk teh tersebut hinga setengah, Evelina pun tersenyum tipis. “Makasih, ya. Gue benar-benar merasa ngerepotin lo.” “Tenang aja. Lo kenapa bisa mau pingsan tadi? Gue khawatir udah nebak wajah pucat lo pas mulai upacara tadi,” tanya Mikeila terdengar sangat khawatir, sebab Evelina memang beberapa kali kehilangan keseimbangan, tetapi gadis itu langsung berupaya menyembunyikannya agar Zafran tidak menyadari hal tersebut. “Enggak tahu gue juga, tapi semalam emang rasanya badan gue itu remuk semua sampai bangun kesiangan tadi. Awalnya gue pikir emang kelelahan biasa, tapi pas dibawa upacara benar-benar rasanya kepala gue mau pecah saking pusingnya,” jawab Evelina mengembuskan napasnya berat sembari mulai mengusap minyak penghangat tersebut ke area pelipisnya yang terasa jauh lebih baik akibat pelayanan Mikeila. Wanita yang sempat kebingungan itu pun tersenyum tipis. “Evelina, kamu dari kelas berapa?” “11 IPA 2, Bu. Wali kelasnya Pak Han,” jawab Evelina mendongak menyadari seorang guru yang terlihat asing. “Ibu … dokter PMR di sini?” “Iya, saya jarang melihat kamu. Sepertinya ini pertama kali mengalami hal yang membuat kamu merasa mual dan pusing berlebihan?” Wanita tersebut mulai mendiagnosis apa yang sebenarnya terjadi pada Evelina. Evelina mengangguk polos, lalu bertanya, “Apa yang terjadi sama saya, Bu? Padahal sebelum upacara tadi saya sudah sarapan dan masih terasa kenyang.” “Jangan khawatir, Eve. Kamu sebenarnya hanya kelelahan saja sampai asam lambungmu naik. Kalau bisa setelah ini kamu jangan memakan hal yang aneh dulu, karena ini menyangkut dengan masalah kesehatan. Apalagi kamu kemarin sudah memakan banyak bahan pengawet.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN