52. Kemarahan Orang Tua

1001 Kata
Keluarga Keith benar-benar terlihat harmonis dengan berbagai obrolan terdengar ringan. Evelina tampak sibuk memainkan ponsel untuk bertukar pesan bersama sahabatnya yang berada di sekolah. Tentu saja lelaki itu merasa iri dengan Evelina yang ternyata menikmati waktu luangnya bersama keluarga. Sedangkan Zafran sendiri tengah bersantai bersama Reyhan di sebuah tempat yang dipenuhi oleh danau buatan besar. “Eve, kamu kok main ponsel. Lagi ngapain, sih?” tanya Wendy setengah menegur sang anak gadis yang tampak sibuk. Evelina mengangkat kepalanya dengan meringis pelan, lalu menjawab, “Eve lagi jawab pesan dari Zafran, Mah.” “Coba aja dia ke sini, Ve!” titah Peter. “Enggak bisa, Pah. Zafran lagi santai-santai di danau,” sanggah Evelina menggeleng pelan, lalu memperlihatkan pesannya yang baru saja dikirimkan. Sejenak Peter mengembuskan napasnya panjang melihat pesan dari Zafran benar-benar mengatakan bahwa lelaki itu sedang sibuk bersama kedua sahabatnya. Membuat Peter merelakan permintaannya. Sedangkan Evelina kembali menarik ponselnya dan menutup ruang pesan tersebut. Gadis itu tampak kembali menikmati es kopi yang menjadi pesanan kedua setelah makanan pokok tadi. Keluarga bahagia itu benar-benar berdiam di restoran selama beberapa lama. Mereka menikmati suasana di luar dengan begitu nikmat. Mengingat mereka hanya memiliki waktu selama dua jam penuh sebelum ruangan diganti oleh pemesan lain. Sebenarnya Peter telah melakukan reservasi selama tiga hari sebelum melakukan kedatangan. Lelaki itu benar-benar ingin memberikan kepada keluarganya yang terbaik, tanpa merasa setengah-setengah sama sekali. “Pah, tadi ngapain ke sekolah Eve? Padahal bisa langsung telepon Eve datang ke sini seperti Mamah,” tanya Evelina penasaran, sebab sang ayah bisa dikatakan jarang sekali datang. “Selama Papah ada di Swiss, Bibi selalu bilang kalau kamu pulang sekolah selalu terlambat dan mendadak murung. Jadi, Papah penasaran dan langsung datang ke sekolah kamu,” jawab Peter santai. Sontak hal tersebut membuat Evelina terkejut sekaligus panik. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi sang ayah ketika melihat rekaman dirinya yang mendapat tindakan perisakan kala masih jauh dari orang tua. “Papah … tahu semuanya?” Evelina bertanya dengan nada amat pelan, seakan gadis itu benar-benar ketakutan. Tidak ingin menipu lagi, Peter mengangguk mengiakan pertanyaan dari anak gadisnya. Membuat gadis itu seketika menyandarkan tubuhnya tidak percaya. “Terus, Papah gimana?” tanya Evelina lagi. “Yang jelas, Papah enggak akan terima anak kesayangan Papah diperlakukan seperti itu,” jawab Peter dingin. Evelina bergidik ngeri. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi sang ayah melihat dirinya diperlakukan seperti itu. Akan tetapi, ia lebih tidak bisa membayangkan lagi para kakak kelas yang menjadi penggemar Zafran akan sangat ketakutan. “Pah, itu cuma salah paham. Lagi pula Eve udah enggak ada yang ganggu lagi kok,” bela Evelina berusaha sebisa mungkin mengendurkan tindakan sang ayah. Namun, sayang sekali ketika Peter sudah memutuskan sesuatu, maka tidak ada yang bisa menggoyahkannya, kecuali orang tersebut melakukan permintaan maaf secara tulus. Wendy yang mendengar perkataan suaminya hanya ikut mendukung, karena wanita itu juga sama tidak setuju dengan tindakan kakak kelas Evelina yang sudah sangat keterlaluan untuk ukuran seorang pelajar. Jelas Evelina datang ke sana dengan sangat baik, sehingga mereka tidak bisa memperlakukannya secara tidak adil. Apalagi kepada orang-orang yang cukup berpengaruh untuk sekolah. Serahasia apa pun banyak orang menutupi perisakan Evelina, tidak akan ada yang bisa menyembunyikannya dari Peter. Sebab, lelaki itu akan secara rutin memeriksa kegiatan keseharian Evelina berada di sekolahnya sekaligus menjaga gadis itu dari pergaulan bebas yang menjadi ancaman tersendiri. “Kapan Papah mau datang ke sekolah?” tanya Evelina mulai memilih untuk mengalah daripada melakukan kesalahan yang membuat kedua orang tuanya marah. “Papah enggak akan menegur teman kamu secara langsung karena ini bukan kesalahan mereka, Papah mungkin akan menegur orang tuanya untuk mendidik yang baik. Apalagi mereka masih usia sekolah yang perjalanannya masih panjang dan perlu melakukan introspeksi diri. Karena lingkungan belajar akan jauh lebih sehat ketika orang tua ikut andil dalam mengawasi setiap perilaku anaknya berada di tempat umum,” tutur Peter penuh pengertian membuat hati Evelina menghangat. Terkadang orang tuanya memiliki tindakan yang lain dibandingkan para orang tua dari siswa lain. Akan tetapi, Evelina juga ikut cemas jika mereka melakukan sesuatu yang mungkin merugikan pihak lain. Ditambah para kakak kelas yang menjadi pelaku perisakan Evelina sebentar lagi lulus dan menempuh jalur perguruan tinggi. “Tapi, Papah enggak akan sampai mengeluarkan mereka, ‘kan?” tanya Evelina berusaha memastikan. “Itu semua terganti dari bagaimana sikap mereka nanti, karena semua keputusan ada pada mereka, bukan Papah. Semua ini terjadi akibat ulah mereka, jadi apa pun keputusannya itu udah menjadi konsekuensi dari tindakan diri sendiri,” jawab Peter tegas tak terbantahkan. Sontak bahu Evelina pun merosot sempurna, walaupun ia tahu sang ayah tidak akan melakukan hal tidak adil, tetapi kalau masalah sampai tahap konsekuensi terhadap tindakan diri sendiri. Berarti masalah ini benar-benar dianggap serius membuat Evelina tidak bisa memiliki argumen untuk membela para pelaku kekesaran sekolah. “Oh ya, Papah dengar, katanya SMA Catur Wulan drop out empat siswa kemarin. Benar, Ve?” tanya Peter teringat dengan perbincangannya bersama satpam sekolah. “Siapa, Pah? Eve belum dengar.” Evelina malah berbalik tanya dengan berkerut bingung. “Entahlah, katanya ada siswa kelas 12 juga. Tapi, sayangnya Papah enggak terlalu peduli, jadi enggak bertanya banyak.” “Apa mereka yang melakukan kekerasan sama Yeoso?” gumam Evelina terdengar penasaran. Sayang sekali perkataan Evelina tidak terdengar oleh kedua orang tuanya yang kembali berbincang satu sama lain. Mereka tampak sangat serasi sampai membuat siapa pun mendadak iri. “Eve, kamu udah selesai minum kopinya? Mamah sama Papah mau langsung ke kondangan,” tanya Wendy mengalihkan perhatian Evelina dari bayangan yang sempat menyita kesadarannya. Evelina tampak mengernyit bingung, lalu berbalik tanya, “Mamah kondangan di mana lagi? Eve belum ganti baju.” “Masalah baju gampang! Tadi Mamah udah pesan salah satu gaun yang cocok buat kamu, jadi kita langsung ke butiknya,” jawab Wendy terdengar santai dan ringan. “Waw, Mamah benar-benar niat!” puji Evelina menepuk tangan penuh takjub, lalu bangkit dari kursi menyusul kedua orang tuanya yang lumayan bergegas melenggang keluar. Tentu saja mereka disambut oleh dua pelayan yang memberikan sebuah kartu berwarna hitam ke arah Peter.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN