51. Ayah dan Evelina

1013 Kata
“Pah, tadi jemput Eve ada ngobrol apa aja sama Zafran?” Sepasang ayah dan anak yang berada di dalam mobil itu tampak sedikit hening membuat Evelina berinisiatif untuk melakukan perbincangan. Apalagi keduanya bisa dikatakan hanya sesekali ngobrol, lalu terputus akibat perbedaan waktu yang cukup jauh membuat Evelina merindukan saat-saat orang tuanya ada. Sehingga kini tepat berada di depan mata membuat gadis itu tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Ditambah sang ayah begitu longgar sampai menjemput dirinya sekolah seperti ini. Padahal jam pulang kerja masih tersisa dua jam lagi. “Enggak ada, cuma tadi Papah sedikit kaget aja dia pulang lebih cepat. Memangnya sekarang kelas IPA sama IPS udah beda gedung, Ve?” Evelina menemukan sesuatu menarik di dalam dashboard membuat gadis itu dengan perasaan senang langsung mengambil sembari mendengarkan perkataan sang ayah dan sesekali mengangguk pelan. “Belum, Pah. Cuma emang beberapa hari ini mungkin kelas 11 IPS 2 lebih awal, karena Bu Liane enggak masuk ngajar.” “Ke mana?” tanya Peter menoleh sesaat melihat anak gadisnya tengah sibuk membuka cokelat pemberian dari salah satu karyawan di kantor. “Itu cokelat dari karyawan Papah. Katanya ungkapan selamat datang.” Evelina menatap penuh kegirangan, lalu memasukkan satu bola cokelat tersebut ke dalam mulut. Ia tampak mengangguk-angguk senang menikmati makanan yang ternyata begitu enak. Sepertinya ini kali pertama gadis itu merasakan makanan bisa sampai ketagihan. “Entah, dimulai dari selesai hiking Bu Liane sibuk keluar-masuk sekolah. Padahal Dara sama Mesya juga udah ketemu, tapi Bu Liane belum kelihatan selesai,” jawab Evelina mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Papah masih penasaran kok bisa kamu sama Zafran sekelompok, itu memangnya gimana sama guru lain?” Peter mengernyitkan keningnya tidak setuju sekaligus bingung, walaupun anak gadisnya telah mengenai Zafran sejak kecil. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri kekhawatiran sebagai orang tua. “Awalnya Eve juga minta buat tinggal sama guru-guru, Pah. Tapi, emang vila di sana terbatas. Apalagi kelas 11 dibagi sesuai sub-number, seperti kelas 11 IPA 2 dan 11 IPS 2 digabung tanpa campuran dari kelas lain,” jawab Evelina mulai membagi cokelat yang berada di kotak tersebut dan memasukkannya ke dalam tas. “Eve minta enam cokelat, ya, Pah. Buat di sekolah besok.” Peter mengangguk singkat. “Ambil aja. Mamah juga enggak suka cokelat, ‘kan?” “Iya, Mamah enggak suka.” Lajuan mobil tersebut pun berhenti tepat di sebuah restoran yang tidak terlalu besar. Keduanya pun beranjak turun dengan Evelina meninggalkan tas ranselnya di dalam mobil dan mengikuti langkah sang ayah menuju ke dalam. Keduaya disambut dengan ramah oleh beberapa pelayan yang langsung mengantarkan ke sebuah ruangan tertutup. Membuat kening Evelina berkerut bingung, lalu menunduk singkat untuk berterima kasih pada pelayan yang sudah mengantarkan mereka. Saat Peter sudah berada di dalam, Evelina masih berada di luar dengan melakukan kegiatan tadi sebelum akhirnya menyusul sang ayah. Lelaki itu tampak duduk di salah satu dari empat kursi yang ada di sana. “Pah, ngapain kita ke sini?” tanya Evelina menarik kursi sebelum mendudukkan diri dengan kalem. Ia tampak kebingungan dengan sang ayah yang mengajak dirinya datang ke restoran tersebut. “Makan,” jawab Peter di selingi dengan tawa geli. “Sebenarnya Papah udah lama banget pengen ke sini sama kamu, Ve. Tapi, baru ada waktu sekarang.” “Kita berdua aja nih? Mamah enggak diajak?” tanya Evelina kembali dengan bingung. Peter menggeleng pelan. “Kata siapa? Mamah lagi di perjalanan, karena Papah langsung minta untuk ke sini sekaligus jemput kamu sekolah. Quality time.” Evelina mengernyitkan keningnya tidak percaya, lalu menoleh penasaran ketika telinganya menangkap perbincangan dari luar. Kali ini benar-benar dari manusia bukan para hantu yang sering kali membuat gadis itu kebingungan. Sejenak gadis berseragam sekolah itu pun bangkit menghampiri pintu yang bergerak pelan menampilkan seorang wanita anggun membawa tas di lengan kanannya. “Mamah!?” panggil Evelina tidak percaya, lalu berlari memeluk wanita itu dengan tersenyum senang. “Sayang, kamu udah pulang?” tanya Wendy membalas pelukan Evelina tidak kalah erat, lalu menangkup wajah mungil tersebut dengan menatapnya lekat-lekat. Memastikan wajah Evelina tetap sehat tanpa satu jerawat pun, karena gadis itu akan terlihat aneh ketika memiliki jerawat. Membuat Wendy terus-menerus berpesan untuk menjaga kebersihan wajahnya. “Udah, Mah. Tadi Papah yang jemput Eve di sekolah,” jawab Evelina mengangguk antusias, lalu menarik lengan sang ibu dengan lembut untuk mendudukkan diri tepat di kursi sampingnya. Sontak hal tersebut membuat Peter tampak protes. Lelaki itu terlihat menatap anak gadisnya dengan penuh peringatan, tetapi Evelina dengan sengaja mengabaikan sang ayah. “Eve,” panggil Peter dengan nada menegur pelan. “Kenapa, Papah?” tanya Evelina mengerjap polos. Seketika Peter mengembuskan napasnya panjang dan membiarkan sang istri berjauhan sebentar dari sisinya. Melihat tindakan tersebut, Evelina pun tersenyum geli. “Begitu dong, Pah! Eve juga mau deketan sama Mamah. Lagi pula selama ini Papah udah sama Mamah terus, sekarang giliran Eve.” “Terserah kamu aja,” pungkas Peter tidak ingin memperpanjang masalah. Sedangkan Wendy yang melihat pertengkaran kecil antara ayah dan anak itu pun tersenyum gemas. Keduanya sering kali bertengkar, tetapi terkadang merindukan satu sama lain ketika berjauhan. Membuat Wendy terkadang bingung sendiri menanggapi keduaya. Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya lauk-pauk pesanan datang pun datang diantarkan oleh tiga pelayan perempuan bersama kereta yang berada di luar ruangan. Mereka menaruh satu per satu piring berisikan makanan yang menggugah selera sampai Evelina tampak tidak sabar. Akan tetapi, saat gadis itu hendak membalikkan piring, ekor matanya menangkap sesuatu yang tidak asing. Kedatangan makhluk astral yang terlihat sangat cantik. Bahkan melebihi banyak sosok yang selama ini Evelina lihat. Merasa penasaran Evelina pun menatap kedatangan sesosok tersebut yang mendudukkan diri di samping sang ayah. Sesosok itu tampak memandangi wajah Peter dengan tersenyum penuh minat membuat Evelina mendelik tidak percaya. “Mamah,” panggil Evelina setengah emosi membuat pelayan yang masih menaruh makanan tersebut ikut menoleh dan kembali melakukan kewajibannya. “Kenapa, sayang? Kamu enggak suka lauknya?” tanya Wendy terlihat khawatir. “Enggak, ini semua enak. Tapi, sepertinya Mamah lebih baik duduk di samping Papah,” jawab Evelina menggeleng singkat. “Bukankah kamu ingin dekat Mamah? Kok jadi sekarang malah disuruh dekat Papah?” Kali ini Wendy terlihat bingung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN