53. Mengenang Masa Lalu

998 Kata
The Handsome Guy tampak berkumpul di sebuah danau buatan di belakang rumah sakit swasta cukup terkenal. Ketiganya tampak merebahkan diri dengan menjadikan kedua tangannya sebagai bantalan. Mereka bertiga tepat melakukan waktu istirahat ketika Jordan selesai melakukan bimbingan. Ternyata lelaki itu hanya mendapat beberapa petuah untuk perbelakangan mewakili sekolah. “Sepertinya kita benar-benar unik,” celetuk Zafran tertawa pelan menatap langit berwarna kemerahan yang terlihat sangat cantik. “Kenapa?” tanya Reyhan menatap sesaat dengan kening berkerut bingung. “Persahabatan kita sangat aneh. Gue sama Rey jelas dari kelas yang sama, kita berdua pasti sama bandelnya seperti murid lain. Sedangkan Jo, derajat dia jelas beda. Semua guru suka sama dia dan selalu membanggakan sekolah. Tapi, kenapa kita bisa bersahabat sampai mendapatkan julukan The Handsome Guy. Apa karena wajah kita sangat tampan?” celoteh Zafran merasa lucu akan takdir yang terjadi. Bahkan bisa dikatakan lelaki itu merasa bingung sekaligus tidak percaya dengan apa yang terjadi pada mereka bertiga. Jelas semua kenangan sudah dilalui, baik itu menyenangkan maupun menyedihkan. Hanya saja The Handsome Guy sampai saat ini masih tidak ingin mengikuti tawuran antar sekolah yang kerap kali terjadi ketika melakukan pertandingan bola. Meskipun futsal hampir tidak pernah terjadi perselisihan, karena The Handsome Guy selalu mengedepankan nilai sportivitas. Walaupun terkadang lawan masih saja melakukan kecurangan. “Benar juga, Zaf. Gue awalnya masih enggak nyangka kalau Jordan yang murid teladan ini masih bersahabat sama kita. Padahal gue ngira dia bakalan pergi gitu aja semenjak jadi murid kebanggaan sekolah,” balas Reyhan tertawa geli merasa apa yang dikatakannya memang benar. “Tapi, nyatanya gue masih sama kalian berkat Eve,” cetus Jordan sekalinya bersuara langsung membuka sarkas kedua lelaki yang menutup mulutnya rapat-rapat. Memang apa yang dikatakan Jordan benar, lelaki itu masih bersama berkat Evelina. Seorang gadis dari persahabatan langgeng antara Zafran yang wajib dipertanyakan. Sebab, mereka berdua tumbuh besar bersama yang kemungkinan besar memiliki perasaan lebih daripada seorang sahabat. Selama ini Zafran bisa meninggalkan Evelina dengan tenang walaupun berbeda kelas itu berkat Jordan. Berkali-kali lelaki itu menitipkan Evelina agar dijaga dengan sangat baik, karena Zafran tidak bisa menyeimbangkan otak sahabatnya yang terlalu pintar. “Ya … gue akuin ini emang berkat Eve kita bisa sampai sekarang. Tapi, jujur aja kita benar-benar langgeng dari SMP sampai SMA bersama-sama. Gue jadi ingat awal kita satu kelas berkat Reyhan yang sering telat,” balas Zafran mengembuskan napasnya panjang, lalu tertawa geli ketika mengatakan kalimat akhir. “Heh!” seru Reyhan tidak terima. “Semua ini juga karena lo, Zaf! Mana ada murid yang baru kenal langsung lo ajak bolos. Untung aja yang mergokin kita itu Jo. Coba kalau yang lain? Enggak yakin lo bisa lolos waktu itu.” “Siapa suruh lo nongkrong di Warung Bu Ulis?” tanya Zafran dengan nada menantang. Sontak Reyhan pun mendengkus keras-keras merasa apa yang dikatakan sahabatnya sangat menyebalkan. Nyatanya lelaki itu memang tidak cukup kuat untuk membalas semua ungkapan menyebalkan tersebut. Sebab, selama ini Zafran yang paling bisa menjawab seluruh pertikaian ala perempuan. Sedangkan Jordan yang melihat kedua sahabatnya telah damai pun tersenyum geli sembari menggeleng tidak percaya. Lelaki itu benar-benar tidak mempercayai bahwa mereka bersahabat akibat kesalahan dari kedua lelaki tersebut. Memang pertemuan mereka cukup mengejutkan seperti drama anak sekolahan. Kala itu, Jordan menjadi pengawas untuk mencatat siswa mana pun yang melakukan pelanggaran sekolah. Ketiganya tanpa sengaja bertemu ketika Zafran dan Reyhan melakukan perdebatan super sengit. Keduanya benar-benar hampir berkelahi ketika Jordan temukan. Membuat lelaki itu mendapat kesempatan emas untuk melaporkan keduaya ke kepsek. Namun, siapa sangka kalau di tengah perjalanan menuju ke sana mereka bertemu Evelina yang langsung menjewer telinga Zafran tanpa ampun. Membuat kedua lelaki berseragam putih biru itu pun panik dan berusaha melerainya. Seketika Evelina langsung berubah menjadi pendiam dan tidak bersuara sama sekali. Gadis itu benar-benar pergi ketika ketiganya mulai saling berpandangan satu sama lain. Tentu saja Zafran menjelaskan di balik sikap Evelina yang mendadak seperti orang gila, lalu kembali kalem seakan tidak terjadi apa pun. Seketika mengundang rasa menggelitik dari kedua lelaki asing yang memutuskan untuk membatalkan hukuman. Akhirnya, mereka bertiga pun berdamai bersama dengan melenggang santai menuju kantin belakang sekolah. Untung saja di sana tidak ada guru mana pun yang mengetahuinya membuat mereka dengan leluasa bercengkrama di sana melupakan semua yang telah berlalu. Sebuah kilas balik yang kembali terputar di ingatan ketiga lelaki tampan tersebut. Mereka tersenyum menatap singkat satu sama lain. Seakan mereka memikirkan hal yang sama pada saat bersamaan. “Sangat dramatis,” gumam ketiga lelaki tersebut dengan kompak. Seketika mereka pun tertawa satu sama lain dan bangkit dari rebahan diri menatap hamparan danau buatan yang mulai dipenuhi oleh banyak orang. Rata-rata yang datang kebanyakan anak kecil untuk sekedar mencari udara. Mereka tampak menggemaskan berlarian ke sana-kemari dengan tertawa kecil. “Gue jadi rindu saat-saat masih balita yang enggak memikirkan apa pun ketika dewasa,” gumam Zafran tersenyum lembut menatap beberapa anak balita yang berlarian. “Kata siapa? Gue dulu mikir gimana caranya minta uang buat beli s**u,” sinis Reyhan mendesis pelan mendengar perkataan sahabatnya yang seakan tidak berbobot sama sekali. “Enggak gitu juga, Reyhan!” balas Zafran memutar bola matanya kesal. “Memangnya waktu lo kecil pikirannya cuma s**u?” “Iyalah, gue ‘kan masih kecil.” Reyhan menatap kesal ke arah sahabatnya. “Kalau bukan s**u, apa lagi? Mainan? Sorry, waktu gue kecil udah punya ruangan sendiri buat memberikan kreasi abstrak.” “Halah! Gaya mulu lo,” sinis Zafran kesal, lalu menoleh ke arah Jordan yang terlihat tenang. “Lo sendiri ngapain, Jo?” Jordan menggeleng tenang. “Gue sejak kecil udah jadi pendiam, jadi emang enggak punya teman. Bahkan orang tua gue ngira kalau gue kekurangan akal sampai dibawa ke psikiater. Tapi, dokter di sana bilang gue enggak apa-apa. Emang gue udah pembawaan tenang.” Mendengar hal tersebut Reyhan dan Zafran kompak menepuk-nepuk tangan penuh takjub. Keduanya tampak tidak percaya dengan apa yang dikatakan Jordan sangat panjang. Bahkan ini pertama kalinya Jordan menceritakan masa kecil melewati sepuluh kata dalam sekali ucap membuat kedua lelaki itu tampak takjub sekaligus bangga terhadap dirinya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN