“Jo, jadwal pemakaian seragam sesuai yang ada di kertas ini?”
Kini Jordan dan Rafa terlihat sedang mendudukkan diri di kantin sembari berbincang mengenai banyak peraturan sekolah. Tentu saja kedua lelaki itu terlihat sedikit canggung karena Jordan tidak banyak bicara dan seperlunya saja. Sedangkan Rafa benar-benar aktif sampai beberapa kali pertanyaannya dilewatkan begitu saja.
“Iya,” jawab Jordan singkat.
Sejenak Rafa mengangguk-angguk mengerti, lalu kembali menatap ke arah lelaki tampan berwajah dingin yang ada di hadapannya.
“Lo sahabatan sama Evelina udah dari lama?”
Pertanyaan Rafa pun sukses membuat Jordan menatap penuh dengan kening berkerut bingung, sebab perbincangan ini sudah berada di luar konteks perhatian mereka berdua. Apalagi Jordan yang merasa keanehan dari Rafa pun menjadi sangat yakin bahwa lelaki itu sedang mengincar sesuatu.
“Kenapa?” Jordan bertanya balik dengan alis kanan yang terangkat pongah.
Rafa merendahkan tubuhnya, lalu menjawab, “Udah punya pacar belum? Gue lumayan tertarik sama dia.”
Sejenak Jordan melihat perubahan sikap yang terjadi pada Rafa secara terang-terangan. Lelaki itu jelas mengetahui semuanya dari tatapan Rafa yang sedikit aneh, seakan menginginkan sesuatu membuat Jordan merasa dirinya harus berhati-hati.
Namun, sayang sekali Jordan memilih untuk tidak menjawab apa pun. Lagi pula dirinya memang tidak pernah mempertanyakan hal ini pada Evelina. Membuat Jordan lebih baik tetap diam.
Sementara itu, Rafa yang melihat keterdiaman Jordan pun mengembuskan napasnya panjang. Ia jelas bisa menyakini bahwa lelaki di hadapannya ini sangat dekat dengan Evelina, tetapi memang belum tentu mengetahui banyak hal mengenai Evelina.
Memang bukan hal yang paling meyakinkan, tetapi keterdiaman Jordan benar-benar sedikit menyinggung perasaan Rafa. Entah kenapa lelaki itu mulai merasa bahwa Jordan terlalu berlebihan dalam sikap dinginnya.
“Uhm ... Jo, gue udah selesai! Ayo, balik ke kelas!” ajak Rafa bangkit dari tempat duduknya.
Mendengar hal tersebut, Jordan ikut bangkit sembari membawa beberapa kertas yang tersisah. Sebab, beberapa berkas sudah diberikan pada Rafa untuk menjadi panduan lelaki itu terhadap peraturan sekolah.
Memang sudah tiga hari Rafa berada di sekolah, tetapi sampai saat ini lelaki itu belum memiliki teman. Ia hanya bergaul dengan beberapa teman kelasnya, dan kembali sendirian ketika istirahat tiba. Semua itu terjadi akibat murid kelas 11 IPA 2 terlalu banyak belajar sampai tidak memperhatikan pergaulan mereka.
Bisa dikatakan hanya segelintir orang saja saling mengenal satu sama lain, lalu selebihnya memperhatikan diri sendiri. Namun, mereka masih mengetahui caranya bersikap sampai saling mengetahui nama masing-masing.
Sesampainya di depan kelas, Jordan dan Rafa pun melenggang masuk. Kedatangan mereka hanya disambut dengan tatapan acuh tak acuh, lalu kembali menekuni pekerjaan masing-masing.
Tatapan Jordan mengarah pada Evelina yang terlihat sedang mencatat sesuatu bersama Mesya. Akibat kegiatan hiking kemarin memang hubungan mereka berdua menjadi sedikit lebih berbeda. Sehingga Jordan tersenyum tipis ketika melihatnya.
“Ve, ngapain?” tanya Jordan singkat sembari menghentikan langkahnya tepat di samping meja teman sebangku.
Evelina mendongak sembari tersenyum sesaat. Senyum yang mengalihkan dunia Rafa ketika tanpa sengaja melihatnya. Membuat Jordan menyadari hal tersebut langsung menggeser tubuh menutupi Evelina.
“Gue lagi ngerjain tugas yang kemarin lupa. Tenang aja pekerjaan Mesya juga lagi dikerjain sendiri. Jadi, kita berdua sama-sama lupa,” jawab Evelina ringan.
“Kenapa harus lupa? ‘kan udah gue kasih tahu.” Jordan mengembuskan napasnya panjang, lalu mengkode pada bangku Mesya yang diduduki oleh seseorang untuk segera pergi. Membuat salah satu murid kelas itu pun mengangguk pelan dan bangkit dari tempat duduk tersebut.
Sedangkan Rafa yang melihat sikap Jordan pun hanya mengembuskan napas panjang. Lelaki itu mengetahui bahwa Jordan akan bersikap dingin pada siapa pun, tetapi tidak dengan Evelina yang jauh lebih banyak berbicara.
Hal tersebut membuat Rafa memisahkan diri dengan mendudukkan diri di bangkunya sendiri. Ia mulai meneliti satu per satu berkas yang ada di tangannya dengan menunjukkan salah satu ketentuan sekolah cukup ribet.
“Jo, tadi lo pas keluar ketemu Zafran?” tanya Evelina di sela menulis.
“Kenapa?” Jordan bertanya balik dengan kening berkerut penasaran.
Evelina mengangkat kepalanya dengan mengembuskan napas panjang, lalu menjawab, “Dia nanti ngadu sama orang tua gue.”
“Ngadu apa, Ve?” sahut Mesya cepat.
“Biasa dia selalu bawa yang enggak-enggak,” keluh Evelina mendesis sinis. “Bahkan tadi pagi aja tiba-tiba datang ke rumah sampai orang tua gue penasaran. Ngira kita berdua berantem, walaupun kenyataannya emang begitu.”
Mendengar hal tersebut, Mesya pun tertawa keras kelas. “Lo gimana, sih? Astaga, kalian berdua itu menggemaskan. Ya jelas Zafran ke rumah, kalian aja tetanggan.”
“Tapi, enggak harus minta sarapan juga. Mana datangnya pagi banget, gue aja baru selesai mandi.”
“Parah juga, Zafran. Dia datang udah mirip anak orang tua lo, ya?” sahut Syafa mendudukkan diri di hadapan Evelina, lebih tepatnya di bangku gadis itu sendiri dengan menghadap ke belakang.
Evelina menipisnya bibirnya, lalu mengangguk pelan mengiakan perkataan teman sekelasnya yang memang memiliki kebenaran mutlak.
Baru saja diperbincangkan, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat membuat Evelina mendongak dengan sedikit terkejut. Ia melihat Zafran tepat berdiri di hadapannya dengan wajah benar-benar tampan. Sampai gadis itu tidak menyadari mulutnya terbuka cukup lebar.
Sedangkan Zafran yang melihat ekspresi menggemaskan itu pun tersenyum geli, lalu menangkup wajah Evelina dengan lembut dan mensejajarkan wajarnya dengan membungkuk.
Sontak beberapa teman kelas Evelina yang melihatnya pun berteriak tertahankan. Mereka jelas sering kali melihat tindakan manis dari Zafran, tetapi sudah beberapa hari ini keduanya terlihat jauh. Sampai banyak yang mengira bahwa Evelina dan Zafran bertengkar.
“Gue di sini, Ve,” ungkap Zafran terdengar lembut.
Rona merah di pipi Evelina pun menyerebak tanpa permisi. Gadis itu mendadak gugup mendengar deep voice sahabatnya yang terdengar seksi.
“Jo, makasih. Gue langsung ke sini pas lo bilang Eve nyari gue,” lanjut Zafran dengan menoleh ke arah sahabatnya yang terlihat memainkan ponsel, membuat Jordan mengangguk singkat tanpa mengalihkan perhatiannya sama sekali.
“Nga ... ngapain lo ke sini?” tanya Evelina mendadak gugup, lalu menepis tangan Zafran yang berada di wajahnya.
“Bukannya lo kangen?” Zafran bertanya balik dengan tersenyum memikat.
Kali ini bukan merasa malu, melainkan sedikit kesal membuat Evelina memincingkan matanya penuh selidik. Entah kenapa gadis itu merasa curiga terhadap Zafran yang terlihat sedikit aneh sejak semalam.
“Udah sana pergi! Dari semalam lo benar-benar menyebalkan, Zaf,” usir Evelina dengan sedikit kesal. Ia menjadi ingat dengan kejadian semalam yang hampir menguras seluruh energinya.
Zafran tersenyum geli dan menepuk lembut puncak kepala Evelina. Sampai tidak menyadari ada tatapan tajam yang memperhatikan mereka berdua dari belakang.
0o0
Sepulang sekolah, Evelina pun melangkah bersama Yeoso untuk bergegas menuju SMP Catur Wulan. Mereka berdua memang berniat untuk ke sana menghadiri pentas seni yang kemungkinan besar masih digelar hingga besok.
Sebuah pentas seni dalam rangka ulang tahun sekolah sekaligus merayakan kemenangan SMP Catur Wulan dalam olimpiade debat bahasa inggris yang meraih juara 2.
Ketika Evelina dan Yeoso hendak melangkahkan kedua kakinya menuju halte bus, tiba-tiba sebuah tarikan kuat pada pergelangan tangan Evelina. Tentu saja gadis itu langsung memundurkan langkanya sesaat, lalu membalikkan tubuh menatap penuh kesal ke arah Zafran.
“Kenapa lagi, sih!?” protes Evelina berusaha melepaskan pergelangan tangannya.
Zafran mengeratkan cekalan tersebut, lalu membalas, “Ve, gue udah minta maaf sama lo. Gue harus gimana lagi sampai lo enggak marah?”
Sedangkan Yeoso yang melihat pertengkaran Evelina dan Zafran masih berlangsung pun memilih untuk tidak ikut campur. Memang persahabatan keduanya tidak terlalu Yeoso ketahui, karena dirinya baru dekat dengan Evelina kemarin. Sewaktu masih pendekatan dengan Reyhan, sehingga seluk-beluk persahabatan masa keci itu belum terlihat jelas.
“Siapa yang marah?” Evelina terlihat tidak suka ketika sahabatnya mengira ia masih memendam amarah akibat kejadian kemarin.
“Kalau enggak marah, lantas sekarang lo kenapa? Istirahat tadi enggak ke kelas, giliran gue samperin malah lo enggak ada. Maunya apa, sih?” keluh Zafran meninggikan suaranya membuat Reyhan melangkah mendekat, lalu menarik pundak lelaki itu menjauh.
“Jangan kasar, Zaf. Dia sahabat lo,” bisik Reyhan memperingatkan Zafran untuk tetap menjaga emosinya dengan baik.
Sejenak Zafran menarik napas pelan, lalu melepaskan cekalan tangannya membuat Evelina langsung mengusap beberapa kali. Terlihat rona merah di sekitar pergelangan tangan Evelina menjadikan Yeoso langsung terkejut.
“Astaga, Eve, tangan lo merah banget!” Yeoso mengambil alih pergelangan tangan Evelina dengan berhati-hati agar tidak menyakitinya.
“Enggak apa-apa. Tangan gue terlalu putih, jadi langsung merah dipegang sebentar,” sanggah Evelina tersenyum tipis, seakan menandakan dirinya baik-baik saja.
Sedangkan Zafran yang melihat perbuatannya sendiri pun mengembuskan napas panjang, membuat Reyhan hanya menepuk pelan bahu sahabatnya. Membuat lelaki itu menoleh sesaat dan kembali memperhatikan Evelina dengan rasa bersalah.
Evelina mengembuskan napasnya panjang, lalu menatap penuh ke arah Zafran sembari berkata, “Gue tadi lagi nganterin berkas ke ruangan Pak Han. Kemungkinan lo datang ke kelas tadi gue masih di ruang guru. Jadi, jangan marah dulu, minta penjelasan sama gue.”
Tepat menyelesaikan perkataannya, Zafran tersenyum malu-malu. Ia memang sudah menyangka yang tidak-tidak, walaupun ketika dirinya mendatangi Evelina di kelas. Gadis itu memang terlihat baik-baik saja membuat Zafran menyangka bahwa Evelina akan memaafkan dirinya.
“Dasar, lo! Gue bilang juga apa. Eve enggak akan marah, dia Cuma ngilang sebentar buat ngelakuin tugasnya. Lo malah ngira masih ngejauhin,” sindir Reyhan menggeleng pelan.
“Zaf, gue sama Eve mau ke SMP CatWul! Lo ke sana enggak?” celetuk Yeoso mengalihkan perhatian kedua lelaki di hadapannya.
Kening Zafran berkerut dalam, lalu bertanya, “Kalian berdua mau ke sana? Ngapain?”
Yeoso mengangguk pelan. “Gue sama Eve mau lihat acaranya. Lo mau ikut?”
“Ikutlah! Kalau kita berdua enggak ikut, kalian mau naik apa ke sana?” Reyhan mendadak bersemangat dengan menyenggol lengan Zafran yang berada di sampingnya untuk ikut bersuara.
“Ah, iya benar! Gue mau ikut juga,” sahut Zafran terkejut sesaat, karena ia masih memikirkan masalah Evelina yang ternyata sudah memaafkan dirinya.
Setelah itu, kedua lelaki tampan yang saling bersahabatan pun langsung membawa motor mereka menuju pintu gerbang untuk membawa dua gadis cantik telah menunggu.
Sementara di sisi lain, Azalia baru saja keluar dari rumah sakit langsung memutuskan untuk berangkat sekolah. Namun, gadis itu mengurus administrasi kedatangannya pun baru saja keluar dari ruang Tata Usaha untuk mengambil beberapa seragam.
Ketika langkah kakinya membawa menuju pintu gerbang untuk kembali pulang, tiba-tiba matanya tanpa sengaja melihat Zafran dan Evelina berbincang di depan gerbang. Mereka berdua ternyata bersama Reyhan dan seorang gadis yang sempat dikenal Azalia ketika dirinya berada di rumah sakit.
Azalia terus memperhatikan keempatnya sampai Reyhan dan Zafran memutuskan untuk pergi meninggalkan Evelina bersama seorang gadis kasar yang menyebalkan di matanya. Ia memang belum mengetahui nama gadis itu, karena pertengkaran semalam memang tidak didengarkan dengan baik. Azalia masih berusaha mencerna situasi.
“Lia, lo enggak balik?” tanya salah satu teman sekelasnya Azalia yang berpapasan dengan gadis itu.
Melihat teman sekelasnya melintas, Azalia pun langsung mencekal tangan dan menunjuk ke arah dua gadis cantik di depan gerbang. Membuat seorang gadis berseragam acak itu pun mengerutkan keningnya bingung.
“Lo kenal sama siswi yang di samping Evelina?” tanya Azalia merangkul tubuh teman sekelasnya sembari menunjuk ke arah keberadaan Evelina dan Yeoso berdiri.
Siswi teman sekelas Azalia pun mengangguk beberapa kali, lalu menjawab, “Itu namanya Yeoso. Kim Yeoso dikenalnya, anak kelas sebelah.”
“Keturunan Korea?” Azalina mengernyit bingung menyadari marga yang dimiliki terdengar tidak asing.
“Iya, dia Korea asli yang sekolah di sini. Jadi, emang agak berbeda sama kita. Cantiknya kebangetan sampai banyak kakak kelas yang iri. Tapi, sayangnya dia cuek sama dingin banget sama orang. Klop kalau disatuin sama Jordan.”
“Jordan?”
“Iya, dia cowok kelas sebelah juga yang sering mewakili sekolah kita sampai dikenal banyak orang.”
Azalia mengangguk beberapa kali. “Oke, makasih. Gue baliknya nanti kalau udah dijemput.”
Siswi yang sempat berbincang singkat dengan Azalia itu pun memutuskan untuk duluan. Ia hendak menghampiri salah satu temannya yang kebetulan menawari tumpangan. Membuat gadis itu langsung bergegas meninggalkan Azalia.
“Jadi, namanya Yeoso,” gumam Azalia melangkah secara perlahan, lalu mulai mencari keberadaan Zafran yang ternyata sedang mengambil motor.
Tanpa pikir panjang gadis itu langsung berlari menghampirinya. Ia hendak meminta tumpangan dengan Zafran. Walaupun belum tahu hasilnya seperti apa, karena seharian tadi Zafran tidak masuk kelas bersama Reyhan membuat Azalia tidak bisa menemui lelaki itu.
“Zaf!” panggil Azalia berlari mendekat.
Sedangkan Zafran yang mendengar namanya terpanggil pun menoleh, kemudian mengembuskan napasnya panjang. Menyadari seseorang yang mendatanginya seorang gadis menyebalkan, sampai ia sama sekali tidak ingin bertemu.
Reyhan menyadari ekspresi malas dari sahabatnya itu pun mengembuskan napas panjang. Ia memang tidak bisa melakukan apa pun, selain membiarkan Azalia menuntaskan urusannya bersama Zafran.
“Kenapa?” tanya Zafran mengurungkan niatnya menggunakan helm dan meletakkan pelindung kepala tersebut di atas tangki minyal di motor besar miliknya.
“Gue mau minta nebeng, boleh?” Azalia menatap dengan wajah manis sembari mengerjapkan mata beberapa kali membuat Reyhan yang melihat gadis itu langsung mengernyit tidak percaya.