85. Bertemu Lelaki Menyebalkan

2012 Kata
Bel pulang pun berdering cukup nyaring membuat Evelina diam-diam bernapas lega, lalu mulai membereskan seluruh barang miliknya. Kemudian, tanpa berbicara apa pun, gadis itu langsung melenggang keluar begitu saja. Langkah kaki Evelina mengarah pada loker kelas yang berada tepat di ujung tangga dekat. Di sana terlihat banyak murid meletakkan barang-barang mereka di dalam. Sampai tatapan gadis itu terhenti pada seorang lelaki yang terlihat mengunci lokernya, lalu melenggang pergi begitu saja melewati Evelina tanpa mengatakan apa pun. Tentu saja tindakan itu benar-benar menyakiti Evelina, tetapi gadis dengan perasaan tenang berusaha menyembunyikan ekspresi sebenarnya pun tersenyum pahit. Selesai menaruh beberapa barang yang digunakan esok agar tidak tertinggal, Evelina pun berbalik hendak keluar dari gedung sekolah. Gadis itu mengitari pandangannya ke seluruh penjuru sekolah mencari keberadaan sang ayah yang ternyata tidak datang hari ini. Hal tersebut membuat Evelina tersenyum kecut, lalu melangkah secara perlahan menuju halte yang berada tepat di depan sekolah. Gadis itu bertemu dengan beberapa siswi yang sudah mendudukkan diri seakan menjadi seorang penguasa. Kedatangan Evelina membuat mereka menoleh secara bersamaan, dan tersenyum canggung. Tentu saja perubahan itu membuat Evelina mendadak bingung. “Teman-teman, apa yang terjadi? Kenapa kalian menatapku seperti itu?” tanya Evelina bingung. Saerom yang berada di antara mereka pun tampak tidak suka, lalu menjawab, “Biarkan aja mereka seperti itu, Ve. Jangan pedulikan lagi.” Evelina mengernyit bingung, lalu menatap ke arah satu per satu teman yang selalu menjadi penunggu halte bersama dirinya. “Kak Eve, aku mau tanya, tadi di kantin benar-benar ada bullying?” tanya Chisa langsung mendapat senggolan lengan dari Mikeila, seakan memperingatin gadis mungil itu tidak memperkeruh suasana. Sejenak Evelina tersenyum miris, ternyata berita tentang dirinya yang mendukung perbuatan Daneen benar-benar menyebar dengan sangat cepat. Bahkan ia sama sekali tidak menyangka sampai gedung sebelah pun mengetahui beritanya. “Kenapa? Kalian juga mau tanya apa gue terlibat, ‘kan?” tebak Evelina tertawa sinis. Saerom yang mendengar tebakan itu pun langsung menggeleng cepat, lalu memegang kedua bahu Evelina agar dirinya penuh. “Apa pun yang terjadi tadi, kita enggak akan langsung percaya. Semua ini pasti ada alasannya,” balas Saerom tegas. “Iya, Ve. Gue juga enggak percaya kok kalau lo bisa sejahat itu sama Azalia,” sahut Mikeila mengangguk beberapa kali. “Jangan dengerin apa yang mereka bilang, karena belum tentu tahu berada di posisi lo,” timpal Saerom lagi. Menegaskan bahwa Evelina tidak salah, walaupun belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Evelina mengangguk pelan dengan tersenyum sendu melihat teman-teman se-halte mendukung dirinya, tanpa meminta penjelasan lebih dulu. Membuat gadis itu lebih percaya diri. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa apa yang dikatakan oleh Saerom memang benar adanya. Jelas tidak boleh asal menilai tanpa mengetahui dari sisi lainnya juga. “Kak Eve, tadi orang tuanya sempat ke sini. Tapi, kembali pulang,” celetuk Chisa mengejutkan Evelina yang mengira bahwa kedua orang tuanya tidak jadi datang. “Lantas, ke mana sekarang mereka?” tanya Evelina penasaran. “Kedua orang tua Kak Eve hanya memberikan secarik kertas ini,” jawab Chisa memberikan sebuah kertas yang mengejutkan Evelina, sebab jarang sekali kedua orang tuanya menghubungi tanpa menggunakan ponsel. Sejenak Evelina membuka kertas tersebut dan mulai membacanya di dalam hati. Sesekali gadis cantik itu memasang ekspresi bingung sekaligus tidak percaya. Evelina, sayangnya Mamah sama Papah.   Kamu pasti kaget, ‘kan, sayang? Mendapat pesan dari Mamah berupa kertas seperti ini. Sebenarnya Mamah bisa aja ngirim pesan ini melalui ponsel, tapi Papah pernah bilang kalau kamu lebih suka menggunakan surat. Katanya, lebih romantis. Benarkah?   Oh ya, Mamah seharusnya bisa jemput kamu sekolah hari ini, tapi ada acara mendadak yang tidak bisa ditinggalkan. Kamu enggak marah, ‘kan? Mamah sama Papah akan kembali nanti malam, jadi tolong kerjakan semua tugas-tugas sekolah kamu dengan baik.   Makan malam dan cemilan kamu bisa ke rumah Zafran, karena hari ini Bi Dar pulang ke kampung halamannya. Jadi, di rumah enggak ada makanan sama sekali.   Awas ya kalau kamu enggak ke rumah Tante Rina! Mamah udah titip pesan buat kamu makan malam di sana.   Salam sayang, Mamah dan Papah   Tepat menyelesaikan pembacaan surat tersebut, Evelina mengembuskan napas panjang dan kembali melipat kertas dari kedua orang tuanya dengan perasaan berkecamuk. Tentu saja pandangan itu tidak bisa dialihkan oleh beberapa teman Evelina yang kebetulan memperhatikan sejak gadis cantik tersebut mulai membaca surat dengan ekspresi serius dan sesekali mengembuskan napas berat. “Kenapa, Ve? Ekspresi lo kelihatan kesal,” tanya Saerom mengernyit bingung. Evelina menggeleng pelan sembari tertawa sinis, lalu menjawab, “Lucu, ya. Di saat gue mau ngejauhin dia, malah sebaliknya yang terjadi. Dunia benar-benar kerasa enggak adil.” Seakan mengerti apa yang dimaksud Evelina, akhirnya Mikeila pun mengangguk mengaiakan. Kemudian, merangkul bahu gadis itu dengan erat. “Terkadang dunia memang selucu itu, Ve. Tapi, jangan pernah menyerah karena dunia enggak akan berpihak sama lo aja. Masih banyak di dunia ini yang menginginkan keadilan di dunia,” timpal Saerom tertawa sinis. “Boleh gue tebak enggak? Apa isi dari surat itu? Sebagian aja, gue juga enggak ngintip tadi.” Evelina mengangguk sama sekali tidak keberatan. Karena memang isinya tidak ada yang istimewa ataupun perlu dirahasiakan. “Gue tebak, isi surat itu pasti berkaitan sama Zafran,” lanjut Saerom menunjuk dengan penuh percaya diri. “Kok lo tahu?” sahut Mikeila mengernyit penasaran. Saerom mengibaskan rambut pendek bergaya bob miliknya, lalu membalas, “Of course! Ekspresi Eve itu udah ketahuan banget, karena dia sekarang jelas-jelas ngehindarin Zafran. Sedangkan sepanjang pembacaan surat tadi begitu berat gue lihat.” “Iya, memang benar. Apa yang dibilang Saerom kalau surat ini berkaitan sama dia.” Evelina mengangguk beberapa kali. “Tapi, gue bukan menghindari juga, karena yang marah itu dia bukan gue. Jadi, lebih tepatnya … dia yang enggak mau ketemu sama gue.” “Kalau Zafran enggak mau ketemu sama lo, lebih baik lo tetap datang ke rumahnya, Ve!” usul Mikeila mendadak bersemangat. “Justru dengan begini lo seharusnya tetap berada di sana dan membuktikan apa yang dia lihat sebenarnya bukan itu yang terjadi.” Evelina terdiam membisu ketika mendengar perkataan Mikeila. Bukan karena tidak setuju, melainkan ia hanya belum siap memberi tahu yang sebenarnya ketika Zafran sampai menanyai seperti tadi. ** Tepat setelah turun dari halte, Evelina melangkahkan kakinya memasuki komplek perumahan yang terlihat sepi. Sesekali gadis itu mengangkat pandangannya memastikan bahwa jalan yang ada di depan tidak ada halangan apa pun, karena sangat tidak lucu ketika dirinya tanpa sengaja menabrak sesuatu. Sepasang sepatu hitam milik Evelina yang sedikit kotor itu benar-benar kembali disiksa untuk berjalan selama beberapa menit untuk sampai di sebuah rumah tidak terlalu besar, tetapi cukup sepi. Sejenak gadis yang menggendong tas ransel cukup besar itu pun mengambil sekumpulan kunci dari dalam kantung. Kemudian, mulai membuka pintu gerbang rumahnya dengan malas. Sesampainya di dalam rumah, Evelina melepaskan tas ransel miliknya dan melenggang malas menuju kamar yang berada di lantai atas. Gadis dengan kaki yang baru saja sembuh dari cedera itu tampak meringis nyeri ketika duduk di tepi tempat tidur. Entah apa yang terjadi, kemungkinan besar kaki kirinya belum terlalu pulih untuk dibawa berjalan lama-lama. Apalagi hari ini Evelina hampir menghabiskan banyak waktunya dengan berjalan. Hal tersebut membuat Evelina mencari obat yang berada di nakas, lalu meminum obat untuk meredakan rasa nyeri di lututnya. Setelah selesai, gadis itu memberikan pijatan ringan demi menghilangkan rasa nyeri sebelum memutuskan ke rumah Zafran meminta makan seperti yang dipesankan kedua orang tuanya tadi. Kemudian, Evelina melepaskan seluruh seragam sekolahnya sebelum kembali melenggang ke bawah untuk membersihkan tubuh. Mengingat hari semakin petang yang menandakan bahwa gadis itu harus segera menuju ke rumah Tante Yusrina. Selepas membersihkan tubuh sekaligus mengganti pakaian menjadi hoodie merah yang dipadukan dengan celana kulot selutut, Evelina pun siap menuju rumah dengan berbeda beberapa blok dari dirinya. Gadis itu mengendarai sepeda hybrid milik sang ayah. Tepat sampai di sebuah rumah cukup besar, Evelina menghentikan sepeda sesaat dan mengintip melalui celah gerbang untuk mencari seseorang yang kemungkinan berada di dalam. “Permisi, Tante Rina!!! Om Kamal!!!” panggil Evelina dengan lantang. Tak lama kemudian, terdengar suara pintu gerbang dibuka membuat Evelina menjauhkan tubuhnya sembari memegang stang sepeda agar tetap seimbang. Ia terlihat menantikan pintu gerbang dibuka oleh seseorang. “Masuk!” titah Zafran dingin. Melihat seseorang yang kemungkinan besar berada di rumah membuat Evelina mengembuskan napasnya panjang, lalu melenggang masuk sembari menuntung sepeda miliknya. Evelina tidak mengatakan apa pun. Ia tetap diam dan memarkirkan sepeda bawaanya tepat di samping sebuah sepeda motor besar yang terlihat tidak asing. Saat gadis itu hendak membuka pintu, pergerakannya terhenti ketika menyadari Zafran yang terlihat menaiki motor besarnya. Kemudian, melesat pergi tanpa mengatakan apa pun kepada Evelina membuat gadis itu mengembuskan napasnya panjang. Sejenak Evelina berusaha melupakan situasi yang sempat membuat dirinya dan Zafran menjadi canggung. Gadis dengan seribu cara menyembunyikan ekspresi itu pun melenggang masuk sampai mendapati sepasang suami-istri tengah berada di ruang tengah berkumpul. “Tante Rina! Om Kamal!” sapa Evelina tersenyum lebar dan berlari menghampiri wanita paruh baya yang terlihat sangat cantik nan awet muda. Spontan suara tersebut membuat keduanya menoleh dan tersenyum lebar mendapati Evelina berlari ringan. “Aduh, anak Tante yang cantik ini udah datang!” puji Yusrina merentangkan kedua tangannya menyambut kedatangan Evelina yang langsung memeluk dengan erat. “Eve, gimana kabarmu?” tanya Kamal tersenyum lebar dan memeluk tubuh Evelina singkat. “Baik, Om!” jawab Evelina riang. Saat Evelina asyik bertegur sama dengan sepasang suami-istri yang hampir tidak pernah bertengkar, tiba-tiba dari arah dapur keluar seorang lelaki berkaus polos dengan celana pendek berwarna cokelat. “Eve, kamu udah datang? Di mana Zafran?” tanya Adzran tersenyum lebar membawa sebuah nampan di tangannya yang ternyata berisikan beberapa potongan bolu. Awalnya gadis yang berusaha tersenyum lebar itu pun mendadak sirna, tetapi ia berusaha tetap ceria dengan perasaan yang mulai menggeluti relung hatinya. “Ah, tadi Zafran keluar naik motor. Entahlah Eve juga belum sempat nanya,” jawab Evelina berusaha tetap tenang. Adzran mengernyit bingung, lalu mengangguk beberapa kali. “Makan bolu dulu! Gue bikin tadi dan kebetulan jauh lebih baik dibandingkan buatan yang pertama.” “Bang Adzran tumben banget bikin bolu, biasanya beli di toko kue. Ada apa ini?” sindir Evelina tertawa pelan sembari menikmati bolu buatan Adzran yang terlihat kesal ketika mendapat sindiran fakta dari gadis cantik tersebut. “Itu biasanya, Ve. Tapi, kalau sekarang enggak biasa. Jadi, gue mau mencoba hal baru,” balas Adzran mendesis tidak percaya. Sejenak Evelina mengangguk beberapa kali, seakan berekspresi mengiakan perkataan lelaki di hadapannya. Terkadang Adzran memiliki sikap manja yang hanya diperlihatkan oleh Evelina, sebab menjadi satu-satunya gadis dekat sejak kecil membuat lelaki itu tidak lagi merasa canggung. Terlebih Evelina dan Adzran telah menjadi kakak beradik yang terkadang melupakan Zafran. Selesai makan malam hangat bersama keluarga bahagia yang sesekali diselingi tawa geli begitu nikmati. Kini Evelina berada di perjalanan pulang menuju ke rumah. Gadis itu melewati pos yang menjadi rumah sekaligus tempat para makhluk astral mendatangi dirinya ketika malam itu. Memang sudah tidak ada lagi gangguan sejak Zafran mendatangi mereka. Entah memang sudah diusir oleh lelaki itu dengan baik ataupun mereka sudah tidak akan datang lagi akibat Zafran yang benar-benar memberikan pelajaran. Namun, saat Evelina terlihat asyik memandangi pos tersebut tiba-tiba penglihatannya menangkap sesosok arwah yang berdiri di balik pohon. Membuat gadis itu mengembuskan napasnya panjang. Siapa sangka ketika Evelina hendak berbalik meninggalkan pos tersebut, tanpa sengaja ban depan sepeda miliknya bertabrakan oleh sesuatu membuat tubuh ringan gadis itu terlempar cukup jauh. Untung saja tidak sempat mengenai batu yang berada di belakangnya. Dengan tertatih-tatih Evelina bangkit melihat siku lengannya yang berdarah, lalu memastikan lututnya baik-baik saja. Membuat ringisan kesakitan keluar tak tertahankan. “Aduh, maaf-maaf! Gue enggak sengaja tadi,” sesal seseorang bernada panik. Spontan Evelina mengembuskan napasnya kasar dan bangkit dengan bantuan seseorang di balik kegelapan. Membuat gadis itu hanya bisa merasakan tangan kasar yang memegang lengan mungilnya. “Siapa lo?” tanya Evelina bernada dingin. “Oh, nama gue Rafa,” jawab lelaki itu terdengar ringan. “Penghuni baru yang ada di komplek ini.” Evelina menukik alis penasaran, karena ia tidak bisa benar-benar melihat wajah lelaki di hadapannya, selain uluran yang terasa ketika tanpa sengaja bersentuhan dengan lengan mungilnya. “Salam kenal! Gue Evelina,” pungkas gadis itu terdengar datar, lalu melepaskan jabatan tangan begitu saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN