"Tangan lu, kenapa?" Bima mengamati tangan kanan Langit yang dibalut perban.
"Gak pa-pa cuma lecet dikit."
"Lu abis berantem lagi?" Bima menatap dengan curiga.
Langit terdiam. Disesapnya kopi hitamnya perlahan. Ia enggan menjawab.
Bima menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lu kapan bisa berubah kalau masih gak bisa nahan emosi?"
"Dia menghina Malia, Mas."
Kini Bima tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. "Lu ngajak Malia ke mana?" Tanyanya.
"Tempat tongkrongan gue dulu."
Bima menatap Langit tak percaya. "Astaga! Laaang! Lu coba deh, sekali-sekali kalau mau berbuat sesuatu, tuh, pikir panjang dulu!" Omelnya.
Langit kembali terdiam, tak berani menjawab.
"Lu lagian ngapain ngajak Malia ke situ?"
"Kemarin gue ngajak dia jalan-jalan seharian. Terus pulangnya mampir ke situ."
Bima kembali menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lu sekarang harus ninggalin masa lalu. Lu mesti jalan terus ke depan. Jangan tengok-tengok ke belakang lagi. Pakai ngajak Malia lagi!"
"Baru kali ini lagi, Mas..."
"Belum lama lu nonjok orang di jalanan sampai mental, lu bilangnya baru kali itu."
"Kalau itu masalahnya lain. Dia nyerempet motor gue, terus dianya yang ngajak ribut duluan!"
"Terus, waktu lu mau lempar pengunjung cafe dari atas sini?"
"Lah, itu kan, karena dianya bikin onar di sini? Gangguin pelanggan lain."
Bima menghela nafasnya. Ia tak bisa berkata-kata lagi. "Terus Malianya gimana? Syok?" Tanyanya.
Langit mengangguk. "Dia nangis!"
"Untung gak sampai mati tuh orang. Bisa habis hidup lu. Mendingan tuh tato lu hapus, deh. Lu bawaannya jadi panas terus!"
Langit tertawa mendengar omelan Bima.
"Lang... Lang... lu bawa Malia ke tempat kayak gitu. Untung Pak Subagja gak tahu. Bisa-bisa kita diusir dari sini," gumam Bima sambil kembali menggeleng-gelengkan kepala.
Dan Langit pun hanya bisa tersenyum. Mas Bima memang selebay itu. Dia selalu saja mengaitkan sesuatu dengan bisnisnya. "Lu belum cari barista baru, Mas?" Tanyanya, mengalihkan pembicaraan.
"Ada beberapa kandidat. Nanti sore gue mau test dan interview. Lu ke sini aja sebentar untuk test mereka."
Langit mengangguk. "Cowok?"
Bima tertawa. "Itu syarat utama dari Malia."
Langit menggeleng-gelengkan kepalanya. Bagaimana kabar dia sekarang? Tumben tak ada kabar pagi ini? Apa dia masih ketakutan dengan peristiwa semalam itu. Tiba-tiba saja saja hatinya tak tenang. "Gue ke kantor dulu, Mas!" Pamitnya kemudian, lalu berjalan pergi menuju kantor Malia.
Namun saat tiba di depan ruang kerja Malia, Langit terkejut mendapati ruangan itu masih terkunci.
"Mbak Malia hari ini gak masuk, Mas. Kata Pak Bagja beliau sakit."
Seorang wanita tiba-tiba datang menghampiri Langit.
"Sakit apa?" Langit memandang wanita itu dengan cemas.
"Pak Bagja tidak bilang sakitnya apa, Mas. Cuma bilang sakit saja."
Langit mendadak gusar. Ia pun lalu kembali berjalan keluar. Ia akan menjenguknya saja di rumah.
Sesampainya di rumah Malia Langit disambut oleh seorang asisten rumah tangga yang lalu mengantarkannya ke kamar Malia.
"Hai..."
Langit memandangi Malia yang tengah berbaring lemas di atas tempat tidurnya.
Malia tersenyum dengan wajah yang pucat.
"Kamu sakit apa?" Langit menyentuh wajah gadis itu lalu mengecup pipinya yang terasa hangat.
"Cuma masuk angin..."
"Ini pasti gara-gara kemarin, kan?"
Malia menggeleng. "Gak pa-pa. Aku udah minum obat. Agak mendingan sekarang."
"Harusnya aku enggak mengajak kamu jalan-jalan naik motor," sesal Langit.
Malia kembali tersenyum. "Kan, aku yang mau?" Sahutnya, sambil menarik tubuhnya bersandar di tempat tidur. Dan meminta Langit duduk di sampingnya.
"Tapi kamu jadi sakit..."
"Hei... gak apa-apa. Namanya juga proses untuk mengenal satu sama lain."
"Tapi caraku salah. Aku juga udah bikin kamu ketakutan."
Malia menggeleng. "Kamu gak salah. Itu memang dunia kamu. Aku cuma belum terbiasa. Semalam itu aku cuma takut kamu menghabisi laki-laki itu..."
"Maafkan aku..." Langit semakin merasa bersalah. "Sekarang kamu tahu, gak ada yang istimewa dalam hidupku. Enggak ada yang menyenangkan buat kamu."
"Berjanjilah itu untuk yang terakhir kalinya. Kamu enggak akan melakukannya lagi." Malia menatap Langit dengan sungguh-sungguh.
Langit memandang Malia dengan ragu. "Aku akan usahakan," sahutnya.
Malia tertawa mendengar jawaban Langit. "Kamu pakai ini." Ia lalu melepaskan sebuah gelang dari pergelangan tangannya dan memasangkannya di tangan Langit. "Kalau suatu saat kamu gak bisa menahan amarahmu. Kamu lihat gelang ini. Kamu akan ingat aku," ucapnya
Langit menatap gelang itu. Gelang bangle platinum dengan ukiran nama 'Malia' di dalamnya. "Kalau aku kangen, aku juga bisa usap-usap gelang ini, dan kamu akan muncul?" Selorohnya.
Malia kembali tertawa. "Janji kamu enggak akan melepasnya," ucapnya.
Langit mengangguk. "Selama kita masih bersama aku enggak akan melepaskannya," ucapnya. Dipelukanya tubuh Malia, lalu diciumnya rambutnya. "Sekarang kamu harus sembuh dulu. Kamu harus banyak beristirahat. Nanti sore aku ke sini lagi."
"Kamu mau pergi?" Malia memegang tangan Langit untuk menahannya.
"Kamu gak mau aku pergi?" Langit tak jadi melangkah.
Malia mengangguk.
"Oke." Langit tersenyum. "Tapi sekarang kamu istirahat. Aku akan tunggu di sofa. Kamu bisa panggil aku kalau perlu sesuatu." Langit menyelimuti tubuh Malia, lalu berjalan ke ruangan di depannya. Dan menunggu di sana.
...
Dengan tergesa Langit berjalan menuju cafe. Ia hampir saja lupa, sore ini Bima memintanya untuk menguji calon barista. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti saat sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya. Langit membaca dengan bingung. Mas Bima memintanya untuk tidak usah datang? Memangnya kenapa?
Terlihat sekali wajah terkejut Bima begitu melihatnya. Ia masih memegangi ponselnya yang menyala.
"Udah terlanjur, Mas. Kenapa gak dari tadi?" Ujar Langit.
"Langit?!"
Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari pintu teras yang terbuka.
Langit terpaku. Jantungnya hampir saja melompat keluar. Ia mematung di tempatnya. Perempuan itu berjalan mendekatinya. Dengan senyum yang sangat dikenalnya. "Sandra?" Bisiknya.
"Apa kabar?" Sandra menjabat tangan Langit yang gemetar.
"Kamu..."
"Aku ngantar keponakanku untuk interview Barista disini."
"Oh!" Hanya itu yang keluar dari mulut Langit.
"Hmm. Keponakan kamu suruh masuk aja kesini, San. Biar aku mulai interview-nya." Suara Bima memecah kecanggungan diantara keduanya.
"Ok. Thank you, Mas Bim!" Sandra lalu meminta seorang pria muda yang sedari tadi menunggu di teras untuk mengikuti Bima.
Dan kini Langit memandang Sandra dengan salah tingkah. Tapi Sandra terlihat sangat tenang.
"Kamu mau duduk di sana?" Tanya Sandra sambil menunjuk teras belakang.
Langit mengangguk tanpa kata. Lidahnya tiba-tiba saja menjadi kelu. Ia tidak bisa berpikir jernih. Tanpa sadar diikutinya langkah Sandra. Lalu duduk di hadapannya dengan bingung.
"Gimana kabar kamu?" Sapa Sandra menyadarkan Langit.
"Aku... baik," sahut Langit setelah menghela nafasnya.
"Kamu kelihatan lebih ganteng sekarang."
Ucapan Sandra membuat Langit akhirnya tersenyum. "Gimana kabar kamu?" Tanyanya.
"Seperti yang kamu lihat!"
Langit memandangi Sandra kembali. Ia tak banyak berubah. Masih terlihat langsing dan fit seperti biasanya. Ia pasti masih rajin berolah raga. Kulitnya yang kecoklatan dengan wajah yang selalu tersenyum membuatnya semakin memesona. Siapa pun akan senang berada di dekatnya. Hanya sekarang rambutnya dipotong pendek hingga telinga. Membuat penampilannya benar-benar seperti wanita karir. Ia terlihat sangat dewasa dan penuh percaya diri.
"Kamu masih cantik," sahut Langit.
Sandra tertawa. Memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Sesaat Langit tertegun. Ia selalu menyukai tawa Sandra yang lepas.
"Aku dengar kamu sudah gak jadi barista lagi di sini?"
Pertanyaan Sandra membuat Langit bertanya-tanya. Dari mana dia tahu?
"Kamu kerja di Bagja Company?"
Langit akhirnya mengangguk.
"Hebat! Belum jadi sarjana sudah bisa masuk perusahaan besar."
Langit menanggapinya dengan senyuman. Ia tak tahu ucapan Sandra itu adalah bentuk pujian atau sindiran. "Kalau kamu?" Tanyanya.
Sandra menunjuk sebuah gedung bertingkat berkaca biru di hadapan mereka.
"Jadi selama ini kamu di sana?" Langit tak bisa menutupi rasa terkejutnya.
Sandra tersenyum. "Sudah satu tahun lebih. Perusahaan kontraktor juga, tapi tidak sebesar Bagja Company."
Langit memandang kembali gedung berwarna biru itu. Itu adalah gedung terdekat yang bisa terlihat jelas dari teras cafe. Dan selama ini ia selalu mengamati orang-orang yang berada di sana, tanpa pernah menyadari jika ternyata Sandra juga berada di sana.
Kini Langit kembali memandang Sandra. "Kok, bisa tahu ada lowongan Barista disini," tanyanyanya.
"Dari IG Cafe Dewa. Aku kan, follow. Tapi aku memang gak bilang sama Mas Bima. Aku cuma kasih tahu keponakanku yang kebetulan lagi cari kerja. Gak nyangka juga terus dipanggil. Ya, sudah aku antar sekalian."
"Aku pikir kamu masih di Bandung?"
Sandra menggeleng. "Cuma sebentar," sahutnya. "Sekarang pacar baru kamu Malia Subagja?" Tanyanya mengagetkan Langit.
Langit mengangguk. Sebenarnya ia ingin bertanya mengapa dia bisa tahu, tapi kemudian ia tersadar kalau dia bisa mengetahui itu dengan mudah.
"Pasti kamu sangat mencintainya."
"Kok, tahu?" Langit sengaja membuat Sandra cemburu.
"Kamu pakai gelang dia. Itu gelang perempuan."
"Oh!" Langit tersenyum. Diusap-usap nya gelang itu hingga membuat Sandra akhirnya mengalihkan perhatiannya.
"Aku senang sekarang kamu sudah membuka diri," ujar Sandra. Suaranya terdengar datar.
"Ya... aku mencoba lagi."
"Aku harap dia lebih beruntung dari aku."
Langit tersenyum dingin. "Bukannya kamu yang ninggalin aku dulu?"
Sandra terdiam. Ia seperti enggan menjawab. Dipandanginya langit sore yang tiba-tiba saja mendung. "Aku pangling dengan cafe ini. Jadi lebih cantik. Dulu aku ingat sering menemani kamu di sini sepulang kuliah." Ditatapnya Langit kembali, seperti sengaja ingin mengingatkan kenangan indah mereka dulu.
Tapi Langit hanya terdiam. Ia tak mau mengingat apa pun tentang Sandra. Ia sudah lama menguburnya dalam-dalam.
Pintu teras terbuka tiba-tiba, membuat keduanya langsung menoleh. Bima masuk dengan keponakan Sandra.
"Sudah selesai, Mas?" Tanya Sandra.
"Sudah. Nanti tinggal tunggu kabar aja. Soalnya masih ada kandidat lain juga."
"Oh. Ok! Makasih banyak, Mas Bim." Sandra beranjak dari duduknya. Lalu berjalan menuju pintu. Tapi sesaat kemudian ia berhenti dan kembali memandang Langit. "Nomorku masih sama," ucapnya sebelum kemudian menghilang di balik pintu.
Bima dan Langit saling berpandangan dengan raut wajah yang sama-sama kebingungan.