Naga Langit Kembali Berapi

1426 Kata
Dari kaca spion motornya, Langit memandangi wajah Malia yang bersandar di bahunya. Kedua tangannya memeluk pinggangnya dengan erat. Sudah tengah hari. Matahari sudah berada di puncaknya. Ia lalu menghentikan motor tepat di depan sebuah kedai minuman. "Kita berteduh dulu ya, sambil minum," ucapnya. Dan saat gadis itu mengangguk gembira ia pun terseyum. Ia tahu sedari tadi Malia kepanasan setelah mereka berkeliling kota sejak pagi. Digandengnya tangan Malia masuk ke dalam kedai berpendingin udara itu, lalu dipesannya minuman dingin. "Kamu kepanasan, ya?" Tanya Langit. Disekanya keringat di kening Malia dengan tisu. "Sedikit," sahut Malia seraya mengikat rambut panjangnya. "Mau aku antar pulang aja?" Malia menggeleng. "Aku takut kamu sakit. Kamu kan, enggak biasa panas-panasan?" Malia tersenyum melihat kekhawatiran di wajah Langit. "Sebentar lagi juga hilang panasnya. Lagian, aku juga bosan di rumah," sahutnya. "Jangan bilang bosan. Kamu masih punya orang tua. Nanti kalau mereka gak ada, kamu baru menyesal." Malia kembali tersenyum. "Dari kecil aku gak dekat sama Papa. Dekatnya sejak Mario meninggal aja." "Kamu kangen sama Mario?" Malia mengangguk. "Aku suka iri sama kamu dan Mentari." "Kamu boleh mengingatnya, tapi jangan disesali lagi kepergiannya. Kan, udah ada aku yang akan menjaga kamu." Malia menatap Langit dengan mata berbinar. Sejak bertemu Langit ia memang sudah jarang memikirkan Mario. "Kamu lebih beruntung dari aku dalam segala hal," imbuh Langit. "Apa kamu masih menyesali kepergian mereka?" Malia menatap kedua mata kelam itu. Langit menatap wajah Malia dengan ragu, lalu mengangguk pelan. "Aku menyesal karena aku belum sempat membuat mereka bangga sampai akhir hayatnya. Aku selalu menyusahkan mereka. Membuat mereka malu dan menangis. Kadang aku berpikir, mungkin ini cara Tuhan untuk membalaskan air mata kedua orang tuaku. Karena sekarang aku selalu menangisi mereka. Penyesalanku tak pernah berhenti." Langit menghembuskan nafas beratnya. "Tapi sekarang Ayah dan Ibumu pasti bangga. Kamu sudah berubah menjadi laki-laki yang bertanggung jawab. Gak semua orang bisa sekuat kamu." "Aku harus kuat, demi Mentari. Sekarang aku cuma punya dia. Terkadang aku cuma berpura-pura tegar, karena aku malu padanya. Dia lebih kuat dari aku. Padahal dialah yang paling dekat dengan Ibu dan Ayah semasa hidupnya. Dan waktu Ibu sakit Mentari lah yang paling sering merawatnya." "Ibumu... meninggal dunia karena sakit?" Tanya Malia dengan hati-hati. Langit kembali mengangguk. "Sejak Ayah meninggal, Ibu mulai sakit-sakitan. Dia seperti kehilangan pegangan hidup. Ibu jadi sering melamun, susah tidur dan jarang makan. Sampai kemudian saat tengah malam itu Ibu jatuh di kamar mandi dan gak bisa bangun lagi. Ibu terkena stroke. Sepanjang waktu Ibu hanya bisa duduk di kursi roda dan berbaring di tempat tidur. Dan itu membuatnya semakin terpuruk. Empat bulan kemudian Ibu meninggal dunia." Langit menghapus air matanya yang menetes. "Sejak saat itu aku memutuskan untuk berhenti kuliah. Karena sudah tidak ada biaya lagi. Kami tidak punya banyak harta. Ibuku hanyalah seorang guru SD. Dan sejak Ayah meninggal dunia, sanggar lukisnya pun harus tutup. Kami tidak punya pendapatan lagi. Kami juga tidak bisa lagi membayar cicilan rumah. Dan akhirnya rumah itu dijual untuk membayar sisa cicilan, dan sisanya aku belikan rumah kecil yang kami tempati sekarang." Langit memandang Malia yang tengah menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. "Hidup kami berubah dalam sekejap. Sulit sekali rasanya menerima kenyataan hidup kita dihancurkan oleh seorang pengecut." "Orang yang menabrak Ayah kamu itu melarikan diri?" Langit kembali mengangguk. "Tiap hari aku berdoa agar orang itu mendapatkan balasan yang sama atas kematian Ayah dan Ibuku. Aku ingin sekali melihat dia dan keluarganya menderita dan merasakan apa yang kami rasakan. Mungkin saat ini dia bisa melarikan diri dari hukuman manusia, tapi aku percaya, dia tidak akan bisa melarikan diri dari hukuman Tuhan." Malia menatap Langit dengan hati penuh tanya. Jantungnya berdegup kencang. "Apa... orang itu tidak pernah ditemukan?" Tanyanya. Langit menggeleng. "Tidak ada satu pun orang yang melihatnya." Malia kembali menatap kedua mata kelam itu. Mata yang penuh dendam. Yang meredupkan cahayanya hingga membuatnya sekelam malam. Tiba-tiba saja hatinya bergetar. Ia hampir saja mengeluarkan kata kembali saat kemudian Langit mengulurkan minuman dinginnya yang belum ia sentuh. "Minum dulu. Dan jangan bertanya lagi. Kamu sudah tahu semuanya," ucap Langit. Dan Malia pun akhirnya mengangguk. ... Hari sudah mulai gelap ketika Langit dan Malia keluar dari taman kota menuju sebuah kedai kopi yang berada di tepi jalan raya. "Tinggal satu lagi. Habis itu aku antar kamu pulang," ucap Langit seraya menggandeng Malia masuk ke dalam kedai kecil itu. "Aku boleh nginap di rumah kamu, gak?" Tanya Malia. Langit menggeleng. "Aku kan, bisa tidur bareng Mentari?" Tanyanya memaksa. Langit kembali menggeleng. "Gak boleh!" "Memangnya kenapa?" "Bahaya. Bisa-bisa tengah malam kamu pindah ke kamarku," seloroh Langit membuat Malia mendaratkan cubitannya dengan gemas. Malia memandangi sekeliling kedai sederhana yang tidak terlalu ramai itu. Hanya ada beberapa meja panjang dengan kursi-kursi yang diisi oleh beberapa orang pengunjung pria. Setelah memesan dua gelas kopi panas, Langit menarik Malia duduk di sebuah kursi panjang. "Dulu aku dan teman-teman selalu mampir ke sini setiap pulang sekolah. Dan kalau janjian juga di sini," ucapnya. "Terus sekarang mereka di mana?" Tanya Malia. Langit mengedikkan kedua bahunya. "Setelah genk kami bubar, aku gak tahu lagi mereka di mana. Karena aku memang sengaja menghilang." "Bang Naga?" Tiba-tiba saja seorang pria kurus dengan lengan penuh tato datang menghampiri Langit. Sesaat Langit menatapnya, mencoba untuk mengingat. "Benny?" Tanyanya. Dan pria itu pun mengangguk. "Wah, apa kabar lu?" Sapa Langit seraya menyambut uluran tangan pria itu. "Baik, Bang!" "Tambah kurus aja, Lu." Langit meninju pelan lengan pria itu. "Yah, beginilah, Bang, anak jalanan kere," sahut Benny membuat Langit tergelak. "Lu makin ganteng aja, Bang. Makin bening. Sukses lu ya, sekarang?" Langit menggeleng. "Gua kan, sekarang udah kerja. Udah gak nongkrong lagi. Lu enggak kerja?" Tanyanya balik. Benny menggeleng. "Kalau kerja ya, gua gak bakal ada di jalanan, Bang," sahutnya. Langit tersenyum. Benny adalah adik kelasnya sewaktu di SMA dulu. Dan dulunya dia bukan anak jalanan. Dia anak baik. Entah apa yang membuatnya jadi berubah. "Banyak yang nyariin lu, Bang ke sini. Cewek-cewek." "Hah? Ngapain?" Langit mengangkat kedua alisnya. "Minta pertanggung jawaban kali!" Seloroh Benny sambil tertawa lebar. "Ah! Sialan lu!" "Ini tumben, Bang, ke sini lagi?" "Kebetulan lewat aja. Sekalian balik." "Kenalin, Bang ini temen-temen gua." Benny mengenalkan keempat temannya yang berpenampilan mirip dengannya itu kepada Langit. "O ya, kenalin ini, Malia!" Langit mengenalkan Malia yang menyembunyikan wajahnya di balik punggung Langit. Tapi Malia tak berani menyapa mereka. Ia hanya tersenyum. "Halo, Malia? Udah lama jadi pacar Bang Langit?" Sapa salah seorang dari mereka dengan ikat kepala di rambut, dan rokok di tangannya. "Jangan deket-deket, dia takut," ucap Langit. "Simpenan nomor berapa nih, Bang? Boleh juga!" ujar pria itu sambil cengengesan. Langit menghela nafasnya. "Ati-ati lu ngomong!" Tapi pria itu malah tertawa. "Kalo lu mau, gua bisa kasih yang lebih semok dari dia, Bang! Mau berapa tinggal sebut!" Ujarnya lagi, sambil dengan sengaja menghembuskan asap rokoknya ke wajah Malia hingga membuat gadis itu terbatuk-batuk. Dan di saat itu pula terdengar teriakan kencang penuh amarah. Dan belum sempat orang-orang menyadarinya, tiba-tiba saja tubuh pria itu sudah terlempar dengan keras ke atas meja, lalu jatuh tersungkur ke lantai bersama dengan meja yang patah, kopi yang tumpah, dan gelas-gelas yang pecah. Seketika semua orang yang berada di kedai itu pun berhamburan ke luar dengan ketakutan. "Gua bilang ati-ati kalau ngomong!!!" Teriak Langit dengan suara yang menggelegar. Amarahnya tak terbendung lagi. Ditariknya kembali pria itu lalu ditatap wajahnya yang ketakutan. Tak ada seorang pun yang berani mendekat. Dan Malia hanya bisa memandangi Langit sambil menangis ketakutan. "Sabar! Bang, sabar! Gua cuma..." Dan belum sempat pria itu melanjutkan kalimatnya, sebuah pukulan kencang mendarat di wajahnya. Membuatnya kembali tersungkur ke lantai. Ia tak bisa melawan Langit yang berperawakan lebih tinggi dan besar darinya. Bahkan ia seperti enggan melawan. Tapi Langit belum puas, ia kembali menarik leher baju pria itu hingga membuatnya terduduk. Dan dipukulnya kembali wajah pria itu hingga darah segar keluar dari mulut dan hidungnya. Tak ada satu pun teman yang berani menolongnya. Mereka hanya menontonnya dengan takut. Malia mencoba menahan Langit. Tapi Langit begitu kuat. "Lu ngomong sekali lagi!!" Langit kembali berteriak. Tangannya masih mengepal. Siap mendaratkan kembali tinjunya. Saat itulah akhirnya Benny bersama teman-temannya berhasil menarik pria itu menjauh dari amukan Langit. "Bang, sabar, Bang! Maafin teman gua Bang!" Benny mencoba merangkul Langit untuk menenangkannya. Tapi wajah Langit masih memerah. Kedua matanya masih berapi-api. Nafasnya tersengal menahan amarah. Malia lalu berlari memeluknya. "Sudah, Lang! Please...!" Isaknya. Pelukan Malia berhasil menenangkan Langit. Perlahan ia mengatur nafasnya. Dipeluknya tubuh Malia yang bergetar menahan tangis. "Maafin aku, seharusnya aku gak membawa kamu ke sini," lirihnya. Malia mengangguk. Diusapnya tangan Langit yang memerah oleh noda darah pria yang dipukulinya itu. "Kita pulang, ya?" Bisiknya. Dan Langit pun lalu mengangguk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN