Bukan CLBK

1188 Kata
Bima menatap Langit dengan kedua mata melebar. "Jadi lu belum cerita ke Malia?" Tanyanya. Langit menggeleng. "Dia kan, baru masuk kerja lagi kemarin, dan langsung sibuk seharian. Terus hari ini dia menemani Pak Bagja meninjau proyek sampai sore." "Terus kapan lu mau ngomongnya?" Langit memandang Bima dengan ragu. "Semakin lama gue pikirin, gue malah semakin takut ngomong. Gue males ribut lagi." Bima menarik nafasnya. "Kalau masalah keponakannya udah jelas. Gue gak akan ambil dia jadi barista. Dan kalau lu enggak mau bilang ke Malia, gue juga enggak bisa maksa. Tapi lu mesti inget, gak ada yang bisa mencegah Sandra balik lagi ke sini. Dan gue yakin dia pasti balik lagi buat nemuin lu. Dan kalau sampai Malia tahu itu, dia bakalan lebih ngamuk, Lang!" Kini Langit semakin kebingungan. Dihembuskan nafasnya dengan berat. "Jangan kelamaan mikir. Lu cerita aja apa adanya. Lu juga harus siap terima konsekuensinya. Dia mesti dikasih tahu secepatnya, Lang. Jangan sampai dia tahunya dari orang lain duluan. Lu tahu sendiri di sini banyak mata-mata dia." "Tapi... harusnya sih, enggak ada alasan dia buat marah. Dia kan, tahu gue udah gak punya perasaan apa-apa lagi sama Sandra." Bima tertawa. "Lu gak pernah punya hubungan apa-apa sama Eva dan Devia aja dia ngamuk. Apalagi sama mantan lu." Langit kembali menghembuskan nafasnya. "Lagian, kenapa juga Sandra harus nganterin keponakannya?" Gumamnya. Bima kembali tertawa. "Lu percaya alasan dia?" Langit mengernyitkan kening memandang Bima. "Lu naif banget. Buat apa dia ngasih tahu lu kalau nomornya masih sama?" "Tapi dia kan, udah tahu hubungan gue sama Malia?" "Tapi status lu belum married. Dan dia juga tahu lu cinta banget sama dia." Langit menggeleng. "Itu kan, dulu. Sekarang gue udah enggak punya perasaan apa-apa lagi sama dia. Lagian dia juga sukanya sama cowok kaya," sahut Langit dengan sinis. Bima tertawa seraya menepuk-nepuk bahu Langit. "Lang, ini yang bikin lu sering ribut sama Malia. Karena lu kurang sensitif. Lu gak ngerti jalan pikiran mereka itu kayak gimana." Langit kini terdiam. Ia tak mengerti apa yang diinginkan Sandra darinya lagi. Diingatnya kembali saat dia memutuskan hubungan mereka. Dia bilang ingin pergi jauh agar bisa merubah hidupnya lebih baik, karena ia tak bisa membuatnya bahagia. Ia tak punya apa-apa selain kesedihan. Tapi ternyata, ia tak ke mana-mana. Ia masih ada di sini. Di dekatnya. Langit kembali memandangi gedung berwarna biru itu. Apakah saat ini dia juga tengah memandanginya di sana? ... Langit sebenarnya ingin sekali berbicara dengan Malia di kantor. Tapi dia malah memintanya untuk bertemu di cafe. Padahal di sore seperti saat ini cafe justru sedang ramai-ramainya oleh pengunjung. "Kamu mau ngomongin apa, sih? Penting banget, ya?" Malia meletakkan tas kerjanya di atas meja lalu menghempaskan tubuhnya di atas sofa dengan wajah yang tampak lelah. Langit memandang Malia dengan ragu. "Kamu capek?" Tanyanya. Ia tak ingin membicarakannya di saat kondisinya tengah lelah. Malia menggeleng. "Udah ketemu kamu, capeknya hilang," sahutnya manja. Langit melirik ke arah empat pengunjung yang juga berada di teras itu. Ia tahu mereka tengah memperhatikanya. Mereka seperti sengaja menunggu 'drama' yang akan terjadi. Kini ia semakin ragu. "Kamu mau ngomong apa?" Malia mendekatkan wajahnya. Menatap Langit dengan curiga. Langit lalu meraih kedua tangan Malia dan menatapnya dengan sungguh-sungguh. "Aku mau jujur sama kamu, tapi janji kamu enggak akan marah." Malia menarik kedua tangannya dari genggaman Langit. "Kamu... mau mutusin aku?" Tanyanya dengan suara tercekat. Langit menggeleng seraya menyunggingkan senyuman. "Bukan..." "Lalu apa?" "Hmm... kamu ingat kan, dua hari yang lalu aku bilang kalau Mas Bima minta aku untuk nge-test barista baru?" Malia tak menjawab. Matanya nanar menunggu Langit melanjutkan ceritanya. "Mas Bima enggak tahu kalau ternyata yang akan dia test itu... Keponakannya Sandra. Dan... Sandra datang mengantarnya..." Lama Malia terpaku menatap Langit. Ia seperti berusaha menahan emosinya. Kedua matanya mengerjap. Mulutnya mulai bergetar. "Kamu bicara dengannya?" Tanyanya terbata. Langit mengangguk. "Di teras ini?" Langit kembali mengangguk. "Cuma berdua?" "Maaal... Please dengerin dulu..." "Jawab!" Jeritan Malia membuat keempat pengunjung itu langsung menoleh. Dan saat akhirnya Langit mengangguk. Mata Malia pun mulai berair. Tangannya menutupi mulutnya yang bergetar. Hening beberapa saat, sampai kemudian terdengar pintu teras terbuka. Bima datang tergopoh-gopoh menghampiri keempat pengunjung itu. Dan entah apa yang dikatakannya, tapi keempatnya kemudian pergi dari sana. Langit mencoba meraih kembali tangan Malia, tapi Malia menepisnya. "Dia cuma datang untuk mengantar keponakannya!" Ucapnya sedikit kesal. "Dan kamu bahkan mempercayai alasannya?" Malia menatap Langit tak percaya. "Tapi aku gak akan meninggalkan kamu demi dia." "Tapi kenapa kamu baru ceritakan ini sekarang, Lang? Kenapa enggak dari kemarin? Semalam kita bahkan saling bicara di telepon, dan aku menanyakan kabarmu. Tapi kamu enggak bicara apa-apa. Kenapa, Lang?" Langit tertunduk. Ia bingung harus menjawab apa. Kenapa sulit sekali berkata jujur? "Karena kamu masih berpikir untuk menyembunyikannya dariku?" "Bukan itu, Mal..." "Waktu itu kamu buru-buru pulang dari rumahku, ternyata untuk bertemu dengan dia?" "Aku dan Mas Bima gak tahu dia akan datang, Mal... sumpah!" "Kenapa ini selalu terjadi, Lang?" Lirih Malia. "Percaya padaku, Mal. Aku udah enggak mencintainya lagi. Dan dia tahu tentang hubungan kita." Malia menatap Langit dengan terkejut. Lalu tertawa getir. "Dia tahu, tapi dia masih mengejar kamu?" "Itu cuma kebetulan. Kamu jangan berlebihan!" Kini Malia menatap Langit dengan tajam. "Aku perempuan, Lang. Aku tahu maksud dia. Dia masih mencintai kamu!" "Maaal..." "Karena dia menyesal meninggalkan kamu..." "Malia... Please...stop!" "Karena ternyata dia enggak bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari kamu..." Langit kembali terdiam. Percuma ia bicara karena Malia sudah tidak percaya apa pun yang diucapkannya. "Dia akan terus mengejar kamu..." "Jangan berprasangka buruk, Mal!" "Kalau dia gak berniat mendekati kamu lagi, dia gak akan datang menemui kamu! Keponakannya bukan anak TK yang perlu diantar!" Suara Malia kembali meninggi. Kedua matanya berkaca-kaca. Kini Langit benar-benar memilih untuk berhenti bicara. Ia hanya memandangi Malia dengan hati yang kebingungan. Mungkin benar yang dikatakan Mas Bima, ia memang tidak sensitif. Ia tidak mengerti jalan pikiran perempuan. Tapi ia yakin laki-laki mana pun tidak akan pernah bisa mengerti jalan pikiran mereka. Karena mereka makhluk yang aneh. Mereka lebih suka menerima kebohongan jika itu membuatnya senang. Dan mereka lebih suka berprasangka daripada berpikir logis. Mereka benar-benar makhluk yang membingungkan. "Di mana tempat kerjanya?" Langit mengangkat wajahnya. "Untuk apa, Mal?" "Kamu masih melindunginya?" Langit menghela nafasnya kembali. Lalu tangannya menunjuk ke arah gedung biru di hadapan mereka. "Perusahaan kontraktor," jawabnya. Malia tertawa dengan sinis. "Kamu lihat, kan? Ternyata selama ini dia mengawasi kamu? Dia gak pernah ke mana-mana." "Jangan berlebihan, Mal. Itu cuma kebetulan." Malia menggelengkan kepalanya. "Dan kamu masih menganggap semua itu hanya kebetulan?" "Lalu aku harus bagaimana, Mal?!" Langit menatap Malia dengan putus asa. Kini Malia menatap Langit dengan tajam. "Aku percaya sama kamu. Tapi aku juga enggak akan membiarkan dia mendekati kamu lagi. Akan kupastikan dia enggak akan pernah mengganggumu lagi. Atau aku akan membuat karirnya hancur sampai dia tak akan bisa lagi mendapatkan pekerjaan di perusahaan kontraktor mana pun di negeri ini!" Dan Malia lalu pergi begitu saja. Meninggalkan Langit yang terpaku di tempatnya. "Maaal!! Tunggu!! Malia sudah menjauh ketika Langit tersadar dan mengejarnya. Dia berlari sangat cepat menuju mobil yang sudah menunggunya di depan lobby. Kini Langit terduduk lemas. Ia tidak mengerti mengapa ini selalu saja terjadi di saat hubungannya dengan Malia membaik. Apa yang salah dengan dirinya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN