"Selamat sore, Pak Subagja! Selamat datang di Cafe Dewa!"
Suara sapa yang keluar dari mulut Bima mengagetkan Langit yang tengah melayani pelanggannya. Ia pun ikut menganggukkan kepala dan melempar senyuman.
Pak Subagja dengan ramah membalas sapaan Bima dan Langit. Ia lalu memesan kopi dan memilih meja di samping sebuah pohon hias yang sedikit menutupinya.
Tak berapa lama Langit pun membawakan pesanannya. "Apa kabar, Pak?" Sapanya seraya meletakan secangkir kopi hitam di atas meja dan menyalaminya.
"Baik. Terima kasih!" Sahut Pak Subagja, tersenyum. "Kamu masih sibuk? Saya ada perlu sedikit sama kamu," tanyanya tiba-tiba.
Dengan ragu Langit menolehkan wajah ke arah Bima, dan Bima menjawabnya dengan sebuah anggukan.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Langit duduk di hadapan pria itu dengan hati berdebar.
Sesaat Pak Subagja menatap Langit dengan ragu. Ia lalu menarik nafasnya dalam-dalam. "Begini... Saya mau minta tolong sama kamu. Saya tahu permintaan ini berat. Karena kamu juga sibuk bekerja. Tapi ... " Pak Subagja lalu terdiam. Dan kembali menatap Langit dengan ragu. "Saya sungguh tidak enak hati mengatakan ini," sambungnya lagi.
Kini jantung Langit semakin berdebar. Dicondongkan tubuhnya mendekat, seolah ingin memastikan kepada pria di hadapannya itu, bahwa ia akan mendengarkan apa pun ucapannya.
Dan akhirnya setelah kembali menarik nafas panjang, Pak Subagja mulai meneruskan kata-katanya. "Malia... sudah setahun ini selalu mengurung diri di dalam kamarnya. Dia juga sudah tidak pernah keluar rumah lagi sejak kembali dari kuliahnya di London. Dia... mengalami depresi karena adiknya meninggal dunia di sana, sekitar... hampir tiga tahun yang lalu." Pak Subagja berhenti sejenak untuk kembali menarik nafasnya dalam-dalam. "Hubungan mereka sangat dekat. Mereka bahkan kuliah di kampus yang sama. Adiknya, Mario, anak bungsu saya. Meninggal karena kecelakaan. Malia sangat terpukul. Sampai sekarang dia masih belum bisa melupakannya."
Pak Subagja kembali berhenti bicara. Disesapnya kopi hitamnya perlahan.
Langit menatap pria di hadapannya itu dengan hati yang kelu. Ia sangat mengerti rasanya. Seperti itulah ia dulu. Saat harus menerima kenyataan ditinggalkan Sang Ayah dengan tiba-tiba, dan harus menghadapi Ibu yang jatuh sakit karena tak bisa menerima kenyataan. Tiba-tiba saja Langit merasa dejavu. Kini ia melihat sorot mata Pak Subagja yang hampa. Putus asa.
"Apa itu yang membuat Malia jadi... " Langit tak jadi meneruskan kalimatnya saat melihat Pak Subagja menganggukan kepala.
"Kehilangan Mario membuatnya sangat putus asa. Dia sering melakukan percobaan bunuh diri dengan meminum obat penenang hingga over dosis. Tapi kami selalu mengetahuinya. Dan beberapa bulan yang lalu sebenarnya dia sudah dinyatakan sembuh oleh dokter yang merawatnya. Dia juga sudah tidak meminum obat lagi. Tapi entah kenapa tiba-tiba dia melakukannya lagi di sini, dan kamu menyelamatkannya malam itu."
Pak Subagja kini menatap Langit dengan senyum kecil tersungging di ujung bibirnya. "Tapi sejak bertemu kamu dia seperti punya sedikit semangat. Dia jadi rajin sekali keluar rumah meski hanya untuk menemuimu. Dan sejak kamu bilang akan menemaninya ke dokter dia juga jadi semangat untuk mengikuti jadwal terapinya. Saya... ingin memastikan apakah ucapan kamu itu sungguh-sungguh?"
Langit mengangguk. "Saya sungguh-sungguh, Pak! Demi kesembuhan Malia. Tapi... saya cuma bisa menemaninya di hari libur," sahutnya.
Pak Subagja tersenyum lega. "Terima kasih, Langit. Saya sangat menghargainya. Tapi saya tidak ingin mengganggu pekerjaan kamu dan hari libur kamu. Karena sebenarnya yang sangat dibutuhkan Malia saat ini adalah teman yang bisa dia percaya. Yang bisa diajaknya bicara. Dan yang bisa membuatnya mau keluar dari kamarnya. Jadi kalau boleh saya mau minta tolong agar kamu mau menemani dia sampai selesai menjalani terapinya, dan benar-benar sembuh. Karena saat ini dia tidak punya satu pun teman dekat. Dia sudah lama menjauhi teman-temannya."
Langit menatap Pak Subagja dengan bingung. Ia memang berjanji untuk menemaninya ke dokter, tapi kalau untuk menemaninya sebagai teman dekat, rasanya Pak Subagja salah pilih orang. Bagaimana caranya dia bisa menjadi teman dekatnya kalau setiap kali bertemu saja mereka lebih sering bertengkar.
"Jangan khawatir, saya pasti akan memberikan imbalan. Anggap saja ini sebagai pekerjaan sampingan. Dan saya akan membayarnya berapa pun yang kamu minta."
Kini Langit semakin dibuat terkejut mendengar ucapan pria itu. Ia lalu menggeleng. "Gak perlu, Pak. Saya ikhlas melakukannya." Dan tanpa sadar ia menyanggupi permintaan itu.
Pak Subagja memandang Langit dengan wajah yang haru. "Terima kasih, Langit. Saya tahu saya tidak akan bisa membayar apa yang sudah kamu lakukan kepada putri saya. Tapi untuk kali ini biarkan saya membayarnya," ucapnya penuh harap.
Langit menatap Pak Subagja tanpa kata. Didorongnya punggungnya ke sandaran kursi. Ia tak bisa berkata-kata. Seumur hidupnya ia sudah banyak sekali menolong orang lain. Bahkan sampai membuat ia terluka dan berdarah-darah. Tapi tak pernah ia melihat seseorang yang begitu merasa terharu karena berhutang budi padanya.
"Tidak perlu, Pak. Saya menolong Malia waktu itu dengan ikhlas. Tidak mengharapkan imbalan apa pun. Dan kali ini pun saya akan melakukannya dengan ikhlas," ucap Langit dengan senyuman untuk menyakinkan Pak Subagja bahwa ia benar-benar tulus ingin membantunya.
"Maafkan, saya. Saya tahu, kamu bukan orang yang seperti itu. Tapi saya juga paham permintaan saya ini sangat berat buat kamu. Menemani Malia selama berbulan-bulan itu tidak mudah. Dia orang yang sulit. Sangat sulit. Jadi, tolong jangan ditolak. Karena saya tahu ini akan sangat menyita waktu dan energi kamu. Kamu bisa menggunakan uang itu untuk membantu membiayai sekolah adik kamu. Kata Malia kamu punya adik perempuan yang masih sekolah?"
Langit mengangguk pelan. Lalu dipandanginya kembali pria di depannya itu dengan bingung.
"Saya yakin kamu mengerti. Seorang Ayah akan melakukan apa pun demi anaknya." Suara Pak Subagja kini bergetar.
Langit terpaku menatap orang terpandang, yang dihormati dan disegani itu kini memohon di hadapannya demi kebahagian anaknya. Ternyata harta tak selalu bisa membuat orang bahagia.
"Dan kamu juga pasti akan melakukan hal yang sama buat adik kamu, kan? Kamu akan melakukan apa pun untuk bisa membahagiakannya." Dan kini kedua mata Pak Subagja sudah berkaca-kaca.
Seketika Langit teringat Mentari. Ia memang sangat membutuhkan biaya yang banyak saat ini. Dan Mas Bima... Dipandanginya Bima yang tengah merapikan meja konter.
Dan entah mengapa akhirnya Langit pun mengangguk. Meski hati nuraninya menentangnya, tapi ia tak bisa mengalahkan egonya. Pak Subagja mungkin benar, dia harus menganggap ini sebagai sebuah pekerjaan.
Dan kini Pak Subagja menggenggam tangannya dengan erat. Ucapan terima kasih yang dalam diungkapkannya lewat tatapan dan senyuman harunya. Tampak kelegaan yang terpancar di wajahnya. Dirangkulnya Langit sebelum kemudian ia beranjak pergi.
Dan Langit kembali terpaku di atas kursinya. Merenungkan keputusannya. Bukan tentang kesediaannya untuk menemani Malia. Tapi tentang bayaran yang akan diterimanya nanti. Apakah benar yang telah dilakukannya?
"Hei. Lu gak pa-pa?" Tepukan Bima mengagetkan Langit.
Langit menggeleng. "Gak pa-pa, Mas," sahutnya sambil menghela nafas panjang.
"Ada yang mau lu ceritain?" Tanya Bima lagi dengan wajah curiga.
Langit kembali menggeleng. "Mungkin nanti, Mas..." sahutnya ragu.
Bima mengangguk. Lalu kembali menepuk bahu Langit. "Kapan aja lu mau cerita, lu hubungin gue. Ok? Gue balik duluan!" Ucapnya lagi, lalu berjalan meninggalkan Langit.
Dari balik jendela kaca Langit menatap keluar. Hari sudah mulai gelap. Ia lalu beranjak bangun. Dan mulai membereskan cafe.
...
Kini Langit sudah berada di dalam kamarnya. Ditatapnya sebuah nomor di layar ponselnya. Dan dipandanginya foto dalam profil itu. Tampak wajah Malia yang tersenyum. Sambil menghela nafas, Langit mulai menuliskan kata. "Hai..." Sapanya.
Ditunggunya beberapa saat. Hatinya berdegup kencang. Ia terheran-heran, kenapa ia jadi gugup sendiri?
"Hei... ?"
Sebuah balasan muncul dengan cepat. Dengan emoticon hati yang membuat Langit tersipu.
Sebenarnya Langit bukan orang yang pandai mengobrol lewat pesan. Tapi melakukannya dengan Malia ternyata tak sesulit yang ia bayangkan. Dia sangat menyenangkan. Hingga tak terasa sudah hampir satu jam ia berbalas pesan dengannya. Ia menolak ketika Malia memintanya untuk melakukan panggilan video. Bukannya tak mau, tapi ia takut adiknya yang usil itu tiba-tiba mendengar lalu mengganggunya.
Langit melihat jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam. "Udahan dulu, ya? Udah malam. Kita sambung lagi besok!" Ucapnya mengakhiri obrolan.
"Ok. Sampai besok! ?
Sejenak Langit menatap layar ponselnya dengan senyum tersipu. Apa yang harus dibalasnya dengan emoticon kiss bye seperti itu? Ah, Malia memang sangat ekspresif. Membuatnya jadi kegeeran. "Bye..!" Balasnya menutup obrolan.
Kini ia menjatuhkan kepalanya yang terasa pegal ke atas bantal. Dipandangnya langit-langit di kamarnya. Perasaan aneh itu kini datang lagi. Diingatnya semua percakapannya dengan Malia barusan. Apakah ia selalu seramah dan sedekat itu dengan orang lain? Atau hanya kepadanya saja? Ah! Kenapa ia jadi baper? Langit buru-buru menghapus bayangan itu. Lalu membenamkan wajah ke dalam bantal empuknya.