Demi Semuanya

1553 Kata
Bima baru saja sampai di cafe ketika dilihatnya Langit tengah sibuk menyiapkan sepuluh gelas karton kopi panas yang siap diantar. "Pesanan online?" Tanyanya seraya memandang sekeliling ruangan cafe yang masih kosong. Langit menggeleng. "Lu kan, nyuruh gue naikin omzet? Ini gue mau kirimin ke kantor-kantor!" Sahutnya. Bima mengangkat alisnya. "Tapi kan, kita gak ada delivery sendiri, Lang? Terus bayarnya nanti gimana?" "Lu cek tuh, saldo e-wallet. Udah bayar semua. Tinggal antar. Ok?" Dengan cepat Langit pun menghilang dari hadapan Bima yang tersenyum senang. Langit kembali dengan wajah sumringah. Ditunjukannya sebuah bungkusan plastik di tangannya. "Rejeki anak soleh! Ada yang ngasih sarapan," ujarnya. Dibukanya bungkusan itu di hadapan Bima. "Pisang goreng krispi!" Serunya gembira. "Berapa orang yang udah lu rayu?" Tanya Bima. Ia tak menyangka marketing Langit akan secepat itu terlihat hasilnya. Langit melebarkan jemari tangannya sambil menghitung. "Lumayan!" Semaleman gue ngerayu cewek-cewek itu," sahutnya dengan wajah bersungut. Bima menepuk-nepuk bahu Langit sambil tertawa. Ia mengerti perjuangan Langit yang mungkin buat orang lain itu hal yang mudah, tapi tidak buatnya. "Lu gak tawarin roti sekalian?" Bima mengeluarkan tumpukan roti dari dalam boks dan menatanya di dalam etalase. "Yah, telat Mas! Besok-besok deh, gue tawarin," sahut Langit. Lalu beranjak dari duduknya dan membantu Bima. "Selamat pagi semua!" Sebuah suara mengejutkan mereka berdua. Malia sudah berdiri di depan konter sambil tersenyum manis. "Hai!" sapa Langit ramah sambil menyunggingkan senyum lebar. "Mau kopi?" Tanyanya. Malia mengangguk. "Coffee latte," sahutnya, lalu berjalan ke arah meja di sudut ruangan. Meja pavoritnya. Bima memandang Langit dengan bingung. Ditunggunya sampai Langit selesai membuat kopi dan mengantarnya ke meja Malia. "Ok. Sekarang lu cerita ke gue!" Bima menarik Langit ke sudut konter. Langit tersenyum. "Yaah, orang kan, bisa berubah Mas," sahutnya santai. "Ya, gak secepat itu juga. Udah lu jangan ngelak. Ini ada hubungannya sama kedatangan Pak Subagja kemarin, kan?" Kejar Bima. Langit mengangguk. "Lu ditawarin apaan?" Tanya Bima lagi. "Nanti aja lah, Mas ceritanya. Complicated," jawab Langit dengan enggan sambil kembali menyusun roti ke dalam etalase. Bima menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum. Ia lalu meninggalkan Langit dan masuk ke sebuah ruangan kecil yang terletak di belakang konter. Tempatnya berkutat di depan laptop jika tak sedang melayani pelanggan. Sambil menikmati kopinya Malia tak henti mengawasi Langit yang tengah sibuk melayani pelanggan cafe. Sesekali ia melempar senyum saat Langit menoleh padanya. Terkadang wajahnya terlihat tak suka saat ada pelanggan wanita yang datang menggoda Langit. Dari balik meja konter Langit melirik Malia dengan sudut matanya. Ia tahu Malia tak berhenti mengawasi. Meski ia sebenarnya sangat risih, tapi ia berusaha untuk mulai terbiasa. Bukankah sejak awal ia sudah sadar kalau pekerjaan ini akan sangat sulit. Langit menghembuskan nafasnya. Demi Mentari ia akan melakukan apa pun. Malia melirik jam tangannya saat melihat Langit berjalan menghampirinya. "Istirahat?" Tanyanya. Langit mengangguk lalu melepas apronnya. Namun saat ia akan menarik kursi, Malia malah beranjak dari duduknya lalu menarik tangannya. "Kita mau ke mana, Mal?" Langit memandang Malia dengan terkejut. "Makan siang!" Sahut Malia seraya menggandeng tangan Langit keluar dari cafe. "Loh, katanya mau pesan online aja?" Tanya Langit lagi dengan bingung. Malia tersenyum. "Aku bosan dari tadi di cafe nungguin kamu," sungutnya. Dan Langit hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengikuti langkah Malia menuju parkiran mobil. Dan setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit, mereka pun sampai di sebuah restoran Jepang pavorit Malia. "Kamu mau pesan apa?" Malia menyodorkan buku menu pada Langit. "Terserah kamu," sahut Langit dengan malas. "Aku pesenin yang terenak disini ya," sahutnya tanpa peduli raut wajah Langit yang berubah kesal. "Kenapa gak bilang dulu, sih? Tanya dulu gitu sebelum kamu narik aku kesini?" Gerutu Langit. "Kalau nanya dulu kamu pasti gak bakal mau. Kamu kan, selalu punya banyak alasan untuk menolak permintaanku?" Sahut Malia sambil membacakan pesanan kepada pelayan yang datang menghampirinya. "Karena aku kan, kerja, Mal. Kamu kan, tahu di cafe itu cuma ada aku dan Mas Bima. Aku harus ijin Mas Bima dulu sebelum keluar lama. "Tapi ini kan, gak lama? Kita kan, cuma makan?" Langit terdiam. Percuma berdebat dengan Malia yang tidak pernah merasakan artinya bekerja dengan orang lain. Tiba-tiba saja hatinya menjadi ragu. Akankah ia sanggup menghadapi gadis manja ini selama berbulan-bulan? "Ok! Mulai sekarang aku gak akan menolak. Tapi kamu harus bilang dulu. Kita diskusikan dulu sebelumnya mau ke mana? Mau ngapain? Aku kan, kerja? Aku gak bisa ninggalin cafe lama-lama. Aku juga gak bisa nemanin kamu terus di cafe. Ok?" Sejenak terdiam Malia akhirnya mengangguk. "Ok! Tapi kamu juga janji, kalau aku chat langsung dibalas. Gak pake lama!" "Kalau aku gak sibuk, aku pasti balas. Tapi kalau aku belum balas, itu artinya kamu mesti s-a-b-a-r. Kamu harus belajar jadi orang sabar," ucap Langit lagi sambil meneguk minuman dinginnya yang baru datang. Malia kembali terdiam. Ia seperti tidak puas dengan jawaban Langit. Langit memandanginya. Benar kata Pak Subagja, ini akan jadi pekerjaan yang berat buatnya. Makan siang itu dihabiskan keduanya sambil mengobrol. Tak banyak yang diceritakan Malia kepadanya. Ia seperti tidak suka membicarakan hal pribadinya. Apalagi keluarganya. Ia lebih senang bertanya tentang Langit. Tentang Mentari, pekerjaannya, keluarganya. Tentu saja Langit tak menceritakan semuanya. Ia tidak mau semua orang tahu semua hal tentang keluarganya. Apalagi orang tuanya. "Kalau pacar?" Tiba-tiba saja pertanyaan itu muncul dengan lugasnya dari mulut Malia. Langit menggeleng. "Gak ada!" Sahut Langit sambil mencelupkan sepotong sushi ke dalam saus lalu memasukannya ke dalam mulut. "Terus ini siapa?" Malia menunjukan sebuah foto di layar ponselnya. Langit tertawa melihat wajah cemburu Malia. Ia lupa jika Malia berteman di sosial media dengan Mentari. Dan foto yang ditunjukannya adalah foto yang diambil Mentari saat mereka tengah makan malam bersama Devia beberapa hari lalu. "Oh, itu Devia. Tetangga sebelah, waktu aku ke rumah kamu dia temanin Mentari di rumah sampai aku pulang. Ya, terus kita makan malam bareng," sahut Langit santai. Tapi wajah Malia masih belum berubah. "Dia yang masakin juga makanannya?" Tanyanya lagi. Langit meletakan kembali sushi yang akan dimakannya. Tiba-tiba saja ia kehilangan selera makan. Ingin sekali rasanya ia memarahi Malia. Apa haknya mencurigai Devia? Tapi akhirnya ia mencoba untuk bersabar. "Dia bantuin Mentari masak. Aku memang gak bilang ke Mentari kalau malam itu aku habis makan di rumah kamu." Malia menatap Langit dengan ragu. "Kalau bukan karena Mentari yang masak, aku gak akan makan. Perutku udah kenyang banget. Kamu kan, yang maksa aku makan banyak waktu itu?" Kini dilihatnya Malia sudah kembali tersenyum. Dan Langit kembali melahap sisa sushi di atas piringnya. "Selesai makan, kamu langsung pulang, ya?" "Emang kenapa?" Langit menarik nafasnya. Dicobanya kembali bersabar. "Karena aku udah nurutin permintaan kamu. Sekarang tinggal kamu nurutin permintaanku. Ok?" Malia akhirnya mengangguk. "Tapi nanti malam kita video call, ya?" Langit langsung mengangguk setuju. Ia akan menyetujui persyaratan apa pun asal Malia tak menunggunya di cafe sementara ia harus melayani banyak pelanggan wanita. Ia takut Malia akan membuat drama. "Kok, gak dihabisin?" Tanya Langit saat melihat Malia meletakkan sumpitnya. Malia menggeleng. "Aku kenyang!" Sahutnya seraya mengusap-usap perut. Langit mengangkat kedua alisnya. "Tapi kan, kamu baru makan dua potong?" "Aku bosan! Kamu aja yang habisin," Malia mendorong piring sushi-nya ke hadapan Langit. "Hah?!" Langit menatap Malia dengan bingung. Lalu kembali menarik nafas panjang. Mencoba menahan kesabaran. "Ok, kalau kamu enggak mau makan lagi, aku juga berhenti makan," ucapnya seraya meletakkan sumpit yang dipegangnya di atas piring. "Ok, tapi suapin!" Seketika Langit membelalakan kedua matanya mendengar ucapan Malia. Ia hampir saja tak bisa lagi menahan kesabaran saat diingatnya kembali wajah Pak Subagja. Dihempaskannya punggungnya ke sandaran kursi. Lalu mengusap wajahnya. Dipandanginya Malia yang memalingkan wajah sambil bersungut seperti anak kecil yang tantrum dipaksa makan. Ya, Tuhan! Ia tak menyangka akan sesulit ini. Seumurnya hidupnya ia hanya pernah menyuapi ibunya saat sakit. Tapi ia juga tahu kalau permintaan Princess Malia tidak dituruti ia akan semakin lama meninggalkan Mas Bima sendirian di cafe. "Ok, aku suapin! Tapi habis ini kita langsung pulang." Langit akhirnya menyerah. Dan seketika itu pula wajah Malia berubah berseri. ... Cafe masih sepi ketika Langit kembali dari makan siang. Dilihatnya Bima yang tengah menunggunya. "Sorry, Mas, kelamaan. Mau makan ke luar?" Langit buru-buru memasang apronnya. Bima menggeleng. "Nanti aja. Sekarang cerita dulu!" Kini Bima mendudukkan Langit di hadapannya. Langit kemudian menceritakan permintaan Pak Subagja padanya."Gak tahu kenapa sekarang gue takut gak sanggup, Mas. Malia itu... sulit," ucapnya kemudian. "Ya, makanya Pak Subagja nawarin lu bayaran. Soalnya dia tahu anaknya sulit diatasi." "Tapi gimana kalau gue gak berhasil, Mas?" Tanya Langit tak yakin. "Loh, lu kan gak diminta buat nyembuhin dia? Lu cuma diminta menjadi teman dia, kan? Supaya dia mau keluar rumah, terus jalanin terapinya sampai sembuh?" Langit mengangguk. "Terus kalau dianya suka sama gue beneran gimana?" "Lah kan, emang dia suka sama lu. Kalau gak, ngapain dia ngejar-ngejar lu? Yang perlu lu khawatirin itu, gimana kalau lu nya juga suka beneran. Jatuh cinta sama dia?" Langit tertawa. "Gak mungkin, Mas!" "Apa yang gak mungkin? Lu bakalan tiap hari ketemu. Lama-lama juga lu suka. Kalau dia sekarang agak aneh, ya mungkin karena dia masih belum sembuh benar dari depresinya. Masih suka berubah-rubah. Lu sabar aja!" Bima menepuk bahu Langit. Lalu beranjak dari kursinya. "Gue makan dulu," ucapnya seraya berjalan keluar dari cafe. Langit terdiam. Pandangannya menyapu seluruh ruangan. Diliriknya jam di tangannya. Gak biasanya cafe sesepi ini. Mungkin memang sebaiknya ia terima saja imbalan yang akan diberikan Pak Subagja nanti. Mungkin itulah jalan keluar terbaik saat ini, agar ia juga bisa sedikit meringankan beban Mas Bima.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN