Semua Butuh Uang

1100 Kata
"Mas Langit nama IG-nya, apa?" Seorang gadis manis dengan ponsel ditangannya memandang Langit sambil tersenyum malu-malu. Dia adalah pelanggan Cafe Dewa yang juga berkantor di gedung itu. "Saya gak punya, Kak. Gak sempat main sosmed," sahut Langit sambil mengulurkan es kopi s**u pesanannya. "Masa, sih?" Gadis itu menatapnya tak percaya. Langit mengangguk. "IG-nya Cafe Dewa aja. Sama aja, ada foto-foto saya juga kan, disitu," senyum Langit. "Huuh! Itu sih udah tahu," Sungut gadis itu lagi, lalu berbalik pergi. Bima menyenggol Langit, "Makanya bikin! fans lu kan, banyak di sini!" Langit tersenyum. "Lu kan, tahu alesannya, Mas. Gak mungkin gue bikin." "Ya, lu kan, bisa pakai nama Dewa Langit?" Seloroh Bima, membuat Langit tergelak. "Malas Mas. Mas Bima juga gak punya, kan?" Sindir Langit. Bima tersenyum. "Ya, kalau gue kan, udah tua..." sahutnya. Langit ikut tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Ia tahu alasannya sebenarnya. Ia mengenal Bima sejak sebelum mendirikan Cafe Dewa. Karena Almarhum Ibu adalah pelanggan toko rotinya dulu. Bima memang tidak pernah mempunyai akun sosial media. Hidupnya sangat tertutup. Dia lebih suka membuat roti daripada bersosialisasi. Sulit baginya untuk terbuka dengan orang lain. Sampai saat ini ia bahkan tidak tahu alasan yang membuat Bima berpisah dengan istrinya. Dan sejak bercerai, tak pernah Langit melihatnya dekat dengan wanita mana pun, meski banyak wanita yang mencoba mendekatinya. Entah apa yang membuatnya begitu trauma. "Lang, gue serius. Kalau lu gak mau bikin sosmed buat cewek-cewek itu. Lu aktif dong, di IG Dewa kayak dulu. Lu balesin tuh DM-an mereka. Kebanyakan nanyain lu. Masak gue terus yang bales?" Langit memandang Bima dengan bingung. Tumben banget Mas Bima ngurusin DM-an IG segala? Karena biasanya pelanggan yang sering berkirim pesan itu kebanyakan wanita yang hanya ingin sekedar bertegur sapa saja. Dan biasanya juga Mas Bima tak pernah punya waktu untuk membalasnya. "Gak dibalesin juga mereka pada ke sini juga kan, Mas?" Sahutnya. Bima menghela nafas panjang. "Tapi kita butuh omzet lebih, Lang. Tiga bulan lagi mesti bayar sewa cafe. Duitnya masih kurang. Kita perlu tambahan omzet. Kemaren-kemaren kan, kita banyak liburnya," ujarnya dengan wajah serius. Langit terdiam sejenak. Ia mengerti. Cafe mereka memang sering tutup karena banyaknya tanggal merah yang membuat kantor-kantor pun ikut libur. Belum lagi seringnya terjadi banjir beberapa bulan belakangan, yang memaksa gedung juga harus tutup karena jalanan di depan gedung ikut kebanjiran. "Lu coba rayu pelanggan-pelangan kita yang udah jarang datang lagi. Kalau mereka enggak ke sini lagi berarti kan, mereka pergi ke cafe lain? Persaingan semakin ketat, Lang. Dan kita gak punya dana banyak buat bikin promosi kayak mereka." Kini Langit mengangguk. "Iya, Mas. Gue usahain nanti aktif lagi," sahutnya sambil memandangi Bima yang kini tengah melayani seorang pelanggan cerewet dengan sabarnya. Selama tiga tahun baru kali inilah Mas Bima mengeluhkan kondisi keuangan cafe. Bagaimana nasibnya kalau sampai Mas Bima tidak bisa membayar sewa? Bagimana nasib Mentari? Hidupnya sangat bergantung pada cafe ini. "Semalam gimana ng-date lu?" Tanya Bima tiba-tiba. Langit tersipu. "Apaan sih, Mas. Gue makan malam sama orang tuanya. Itu aja." Bima bersiul. "Dikit lagi, tuh!" "Apanya?" Sahut Langit. "Jalan lu jadi menantu Pak Subagja," seloroh Bima. Langit menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Ya, gue sih cuma minta satu kalo lu jadian sama Malia. Gue minta diskon buat tiga bulan sewa aja," selorohnya lagi sambil menepuk-nepuk bahu Langit. Langit kembali tersenyum. "Dari pada gue jadian sama dia. Mending gue ngerayu aja pelanggan-pelanggan kita di IG." Bima tertawa kecil. "Terserah lu," sahutnya lagi. "Tapi Pak Subagja itu orangnya baik ya, Mas?" Tanya Langit seolah ingin meyakinkan dirinya. Bima mengangguk. "Kata orang-orang sih, gitu. Apalagi sejak anaknya yang bungsu meninggal dunia, dia jadi sedikit pendiam katanya." "Lah, katanya anaknya di luar negeri semua?" "Ya. Gue pikir masih di luar semua. Tapi kemaren gue ngobrol sama orang kantornya, ternyata anaknya yang bungsu itu, adiknya Malia kecelakaan di luar negeri. Dia meninggal ditabrak mobil." "O ya?" Langit memandang Bima dengan terkejut. Apa itu yang membuat Malia menjadi depresi? Kalau itu penyebabnya ia bisa mengerti. Karena ia juga tidak bisa membayangkan jika sesuatu terjadi pada Mentari, ia pasti tidak akan bisa setegar seperti saat ini. Tapi Malia tetap masih jauh lebih beruntung darinya. Dia tidak kehilangan segalanya. Dia masih punya orang tua yang lengkap dan seorang kakak. Dan dia juga tidak kekurangan apa pun untuk menjalani hidupnya dengan nyaman. Dia tak perlu harus bekerja keras seperti dirinya. Dia hanya harus lebih banyak bersyukur. Bagaimana kabar dia saat ini? Apakah masih sakit? Ah! Langit mengusap wajahnya, mengapa sekarang ia jadi peduli? ... "Lagi ngapain, Mas? Kok, senyum-senyum sendiri?" Mentari mencodongkan punggungnya, menatap layar ponsel di tangan Langit dengan penasaran. "Mau tau aja," sahut Langit seraya berusaha menyembunyikan ponselnya. Tapi Mentari dengan cepat merebutnya. "Tumben banget balesin DM-an cewek-cewek?" Mentari tak kuasa menahan tawanya. "Cieeee, lagi cari pacar, ya?" Godanya. "Usil banget, sih! Itu pelanggannya Cafe Dewa," sahut Langit kesal sambil merebut kembali ponselnya dari tangan Mentari. Mentari duduk di samping Langit, lalu bersandar di bahunya. "Mas, kalau seandainya aku nanti bisa dapet universitas negeri, Mas sanggup gak bayarin kuliah aku? Biayanya kan, jauh lebih murah dari swasta?" Langit mengangkat wajahnya dari layar ponsel. Ditatapnya wajah Sang Adik. "Memangnya kamu mau ambil kuliah apa, De?" "Kedokteran." Jawaban Mentari membuat Langit terdiam sesaat. Dipandanginya adiknya itu dengan ragu. Sejak Ibu mereka sakit, dan Mentari ikut merawatnya dia memang sudah bertekad untuk menjadi seorang dokter. Dia bahkan meminta Ibu untuk mendoakannya. Tapi, bagaimana dengan biayanya? Biaya kuliah Kedokteran itu mahal sekali. "Boleh kan, Mas?" Mentari menandang Langit dengan wajah penuh harap. Dan Langit pun akhirnya mengangguk. Bagaimana mungkin ia tega menghapus asa di wajah itu? "Mas akan usahain cari biayanya. Tapi kamu yakin mau langsung kuliah habis lulus nanti? Gak jadi kerja dulu?" "Kalau bisa dapat kampus negeri ya, aku gak perlu kerja dulu. Tapi kalau gak dapet, ya aku tunda kuliahnya." Langit tersenyum. "Mas doain kamu dapat kampus negeri. Tapi kalau pun gak, Mas akan usahain supaya kamu bisa langsung kuliah. Gak perlu kerja dulu. Capek, De. Nanti keburu malas." Dilihatnya adiknya kini terdiam sambil berpikir. "Makanya jangan sosmed-an terus. Belajar biar bener," ucap Langit lagi sambil mengacak-ngacak rambut Mentari yang langsung cemberut, lalu beranjak masuk ke dalam kamarnya. Dan kini Langit termenung sendiri. Bagaimana caranya ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu untuk membiayai kuliah Mentari? Tak enak rasanya meminta bantuan Mas Bima lagi. Apalagi dia juga sedang kekurangan dana untuk membayar sewa cafe. Selama ini Mas Bima sudah banyak sekali membantunya. Ia tak ingin merepotkannya lagi kali ini. Tapi ia juga tak ingin mengecewakan adiknya. Langit memandangi kembali layar ponsel di tangannya. Diteruskannya kembali misinya untuk merayu para pelanggan wanita demi menaikan omzet cafe.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN