Tak biasanya Bima datang lebih pagi. Ia membawa boks rotinya dan sebuah kantong besar berwarna hitam yang lalu diulurkannya kepada Langit.
"Banner kerjasama Bagja Company dan Dewa Cafe. Mereka akan menjadikan cafe kita sebagai salah satu meeting space mereka. Dan mereka juga akan mempromosikan cafe kita di Social Media mereka," ucapnya dengan wajah sumringah.
Langit memandang Bima dengan terkejut. "O ya? Terus, kita kasih kompensasi apa ke mereka?" Tanyanya seraya mengeluarkan banner itu dari dalam kantong.
Bima menggeleng.
Langit membuka mulut dan melebarkan bola matanya. "Maksudnya? Mereka gak minta apa-apa dari kita?" Tanyanya, memastikan.
Bima kembali menggeleng. "Mereka akan bayar sewa tempat dan konsumsinya tanpa diskon. Besok mereka akan mulai meeting, after lunch," sahutnya.
Langit menatap Bima tak percaya. "Kok, bisa, Mas? Ini pasti idenya Malia, kan?" Tanyanya dengan curiga.
Bima menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lu, tuh, kalau sama Malia curiga aja bawaannya. Ya, terusnya kenapa kalau ide ini dari dia? Rejeki masak ditolak? Mau ide apa pun dan dari siapa pun kalau itu menguntungkan cafe gue pasti terima dengan senang hati," sahutnya lagi.
Mendengar jawaban Bima yang panjang lebar, Langit pun akhirnya terdiam dengan pasrah. Ia baru menyadari kalau saat ini Mas Bima masih menjadi sekutu Malia. Dia tak akan perduli dengan perasaannya selama itu menguntungkan bisnisnya.
Langit menghela nafasnya. Setelah tiga minggu mereka saling menjaga jarak akhirnya Malia kembali membuat ulah. Buat apa dia menyewa meeting space di cafe kecil mereka? Mereka punya banyak meeting room di gedung ini. Bahkan function room mereka pun sangat luas. Kenapa harus di cafe-nya yang sempit?
Langit mengurut-urut keningnya yang mendadak pusing. Mengapa sulit sekali menghindarinya? Selama tiga minggu ia merasakan kebebasan dan ketenangan hidup, tanpa beban dan tekanan. Kini ia harus kembali menghadapi Malia. Mengapa sulit sekali membuatnya mengerti? Selama tiga minggu mereka tak saling bertemu dan berkomunikasi ia mengira Malia sudah berubah. Tapi ternyata dia kembali dengan idenya yang selalu saja membuatnya gagal paham. Buat apa dia melakukan semua itu hanya untuk kembali mendekatinya?
"Kayaknya gue mesti beresin tuh teras belakang, buat jadi area outdoor," ucap Bima tiba-tiba.
Langit kembali memandang Bima. Tapi kali ini ia tak lagi terkejut. Ia tahu pasti bahwa itu adalah ide Malia lagi. "Terserah lu aja, Mas!" Sahutnya, kembali pasrah.
Dan Bima pun tertawa mendengar jawaban Langit.
...
Langit membaca email yang dikirimkan Bima padanya. Sebuah Reservasi dari Departemen Marketing yang dipimpin Malia. Cafe akan di-booking selama empat jam. Itu artinya Malia akan duduk di sana tepat setelah makan siang hingga cafe tutup. Langit mengusap wajahnya. Mereka akan kembali bertemu dalam waktu yang lama. Tiba-tiba saja hati Langit menjadi gusar. Dari kejauhan dipandanginya Bima yang tengah sibuk menyusun meja dan kursi-kursi bersama Danar dengan wajah yang sumringah. Ia lalu melirik jam di tangannya. Ia harus menyiapkan pesanan konsumsinya dari sekarang. Satu jam lagi mereka akan datang.
Tepat pukul dua siang, akhirnya dua belas orang peserta meeting itu sudah berkumpul di cafe. Mereka menyapanya dengan ramah. Langit memang mengenal mereka semua. Karena mereka adalah pelanggan setia Cafe Dewa.
Malia datang lima belas menit kemudian bersama Pak Subagja. Langit terkejut. Ia takut Pak Subagja akan kembali memanggilnya untuk membicarakan Malia.
"Apa kabar, Langit? Katanya kamu habis sakit?" Pak Subagja menyapa Langit dengan ramah.
Langit tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya mendengar pertanyaan itu. Ah! Pasti Malia yang memberi tahukannya. "Cuma kecapeakan aja, Pak!" Sahutnya dengan canggung.
"Jangan terlalu capek! Kalau butuh bantuan orang lagi. Kamu bisa bicara dengan Malia," ujar Pak Subagja lagi sambil melirik Malia yang tak berani memandangnya. Jadi dia tak tahu, kalau mereka sedang tak saling bicara? Batin Langit.
"Terima kasih, Pak. Tapi Danar saja sudah cukup, Pak," sahutnya Langit lagi.
"Jaga kesehatan kamu. Jangan terlalu capek lagi, ya?" Pak Subagja menepuk-nepuk bahu Langit sebelum kemudian berlalu dari hadapannya.
Dan Langit hanya bisa mengangguk. Pria itu selalu saja membuat hatinya luluh. Karena ia selalu saja melihat sosok Sang Ayah pada dirinya.
Dipandanginya Malia yang kini sudah duduk di kursi yang berhadapan dengan meja konter. Ya, tentu saja ia memilih meja di sana, agar bisa dengan mudah memperhatikannya sepanjang waktu, dan membuatnya gugup di hadapan para karyawannya.
Dua jam sudah meeting itu berjalan. Dan selama itu pula Langit tak berani berlama-lama memandangi meja di hadapannya. Beberapa kali ia dan Malia saling pandang tanpa sengaja. Dan itu cukup membuatnya menjadi salah tingkah.
"Lu beneran udah gak ngomong lagi sama Malia?"
Tiba-tiba saja Bima sudah berdiri di sampingnya. Ikut bersandar di samping meja konter.
Langit menggeleng.
"Jangan paksain diri. Lu jalanin aja sebisa lu. Jangan bohongin hati. Capek!" Kini Bima berdiri memunggungi meja konter. Seolah ingin menyembunyikan Langit dari pandangan Malia yang tengah mencari-cari sosoknya dengan sudut matanya.
"Nerimanya juga capek, Mas," sahut Langit.
"Hubungan itu gak ada yang mudah, Lang. Semua butuh proses. Semua butuh belajar untuk bisa memahami satu sama lain. Lu pelan-pelan aja jalaninnya." Bima memandang Langit dengan sungguh-sungguh.
"Tapi Malia enggak ngerti, Mas. Dia terlalu memaksakan diri. Gue gak tahu lagi gimana caranya ngasih tahu dia."
"Karena dia perempuan, Lang. Dia melakukan sesuatu berdasarkan hatinya. Perasaanya. Apalagi dia itu sangat expresif. Bertolak belakang sama sifat lu yang introvert. Tapi, sekali-sekali lu juga mesti keluar dari zona nyaman. Supaya hati lu gak lemah. Lu gak bisa terus-terusan menghindari dia cuma karena gak mau hati lu sakit. Jangan manjain perasaan lu. Lu laki-laki. Mestinya lu bisa berpikir lebih logis. Gak ada yang salah sama dia, Lang. Gue justru salut, dia berani berjuang sendirian dengan memakai segala segala cara yang dia tahu demi cintanya sama lu. Dia bahkan enggak perduli lu cuekin. Karena dia yakin sama dirinya. Tapi lu terus aja menghindari dia. Menyalahkan dia karena dia mencintai lu dengan tulus?" Bima menggeleng-gelengkan kepalanya.
Langit diam terpaku menatap Bima. Ia tak tahu harus berkata apa lagi. Pikirannya kini berkecamuk. Hatinya kembali bimbang.
"Cinta enggak harus datang sendiri, Lang. Terkadang dia harus dicari," ucap Bima Lagi. Kini ia kembali membalikkan badannya ke depan konter. Dan di saat bersamaan Malia melambaikan tangan, memintanya untuk datang ke mejanya.
"Sebentar lagi meeting-nya selesai. Gue mau bikinin bill. Lu bawain lagi air mineral sebotol buat dia," ucap Bima saat ia kembali ke meja konter.
Dan kini Langit berjalan ke meja Malia untuk mengantarkan pesanannya. Diletakkannya botol air mineral itu tanpa memandangnya. Tak dipedulikannya juga orang-orang di meja itu yang diam-diam memandanginya. Ia tahu mereka pasti sudah mengetahui ia dan Malia tak lagi saling bicara.
Lima belas menit kemudian meeting itu akhirnya benar-benar selesai. Mereka sudah kembali ke kantor. Tapi Malia masih duduk di sana. Kepalanya bersandar pada dinding di belakangnya. Ia terlihat lelah. Matanya terpejam sesaat. Dan saat itulah Langit menatapnya lebih lama. Dan membuat hatinya tiba-tiba mencair. Dia pasti sangat lelah. Kenapa wajahnya sangat pucat? Apakah dia sakit? Atau jangan-jangan dia kurang tidur? Ah! Kenapa ia jadi memikirkannya lagi? Langit buru-buru mengusap wajahnya.
Tapi tiba-tiba Malia kembali membuka matanya, lalu beranjak dari kursi dan berjalan menghampirinya. "Hai!" Sapanya.
"Hai!" Langit mencoba tersenyum. Jantungnya mendadak berdebar.
"Aku mau bayar!" Malia mengulurkan sebuah kartu pada Langit.
Dan Langit lalu memproses transaksi p********n itu tanpa berani menoleh.
"Thanks!" Sahut Malia ketika Langit menyerahkan kembali kartu bersama secarik kertas tanda terima. "Oh ya. Aku mau titip ini buat Mentari." Malia mengeluarkan sebuah buku tebal dari dalam tasnya. Sebuah n****+. "Aku udah janji mau pinjamin dia kalau sudah selesai baca," ujarnya lagi.
Sekilas Langit membaca judul yang tertulis di n****+ itu lalu menatapnya. Ia tak pernah tahu kalau Malia suka membaca n****+ romansa. "Makasih!" Ucapnya sambil kembali melempar senyuman.
Malia lalu mengangguk dan berbalik pergi. Namun sesaat kemudian ia terdiam menatap pintu kaca yang akan dibukanya. Dilihatnya bayangan Langit yang tengah memandanginya dari belakang. Ia lalu tersenyum.
Langit menghembuskan nafas lega saat Malia akhirnya menghilang dari pandangannya. Tapi kini ia bingung dengan perasaannya. Kehadirannya membuat hatinya kembali terusik. Dan membuatnya kini memikirkan kata-kata Bima.