Kamulah Alasanku

1056 Kata
Cafe tutup lebih awal dari biasanya. Membuat Langit tiba di rumah sebelum gelap. Terdengar suara berisik musik dari dalam kamar Mentari. Diketuknya pintu, sesaat kemudian Mentari menyembulkan kepalanya. Ia lalu memberikan n****+ yang dititipkan Malia padanya. "Akhirnya... Thank you, Mas!" Ucap Mentari dengan suka cita Langit masuk ke dalam kamarnya. Ia ingin cepat-cepat menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Tapi tiba-tiba Mentari menerobos masuk. "Mas, udah ngucapin selamat? Ngasih kado apa tadi?" Tanyanya. Langit mengeryitkan kening. "Maksudnya?" Tanyanya balik. "Loh? Mas Langit gak tau kalau hari ini Kak Malia ulang tahun?" Kini Langit benar-benar terkejut. Ditatapnya Mentari penuh tanya. "Ya, ampuuun! Mas Langit benar-benar gak tau?" Mentari menggeleng-gelengkan kepalanya. "Terus tadi ketemu Kak Malia gak ngomong?" Tanyanya lagi. Dan saat melihat Langit menggeleng, Mentari pun kembali mengomel. "Mas Lang keterlaluan! Masak ulang tahun Kak Malia bisa lupa?" Sungutnya seraya kembali masuk ke dalam kamarnya. Langit duduk terpaku. Keningnya berkerut mengingat kembali pertemuannya hari ini dengan Malia. Apakah dia sengaja mengadakan meeting di cafe untuk mengingatkannya? Atau mungkinkah mereka memang tengah merayakannya? Diingatnya kembali wajah Malia yang sempat tertidur sendirian saat meeting sudah selesai. Apakah dia sengaja menunggunya memberi ucapan? Kini ia merasakan sesal di hatinya. Ternyata masih banyak yang tak diketahuinya dari gadis itu. Sampai ulang tahunnya pun ia tak tahu. Mungkin benar, selama ini ia memang tak pernah benar-benar perduli padanya. Ia hanya menganggapnya sebagai bagian dari pekerjaan. Langit membuka ponselnya. Ia akan mengucapkannya saja lewat telepon. Tapi lalu ia mengurungkan niatnya saat tiba-tiba teringat sesuatu. Bergegas ia masuk ke dalam studio lukisnya, dan membuka kain penutup lukisan yang dibuatnya waktu itu. Lukisan yang membuat ia sampai jatuh sakit saat membuatnya. Ditatapnya kembali lukisan itu, dan disentuhnya wajah yang terlukis di sana. Kemudian ia membungkusnya dengan kertas tebal dan membawanya pergi. Empat puluh lima menit kemudian Langit sudah sampai di depan pagar rumah Malia. Seorang satpam keluar dari sebuah pintu kecil, lalu berjalan mendekatinya. "Mbak Malia baru saja keluar, Mas! Sama Bapak dan Ibu! Ucapnya dengan ramah. "Oh! Gak pa-pa, Pak! Saya mau titip ini aja buat dia!" Langit memberikan lukisan itu padanya. "Maaf, Pak. Boleh pinjam pulpen?" Tanyanya. Ia lupa menuliskan ucapan ulang tahun. Langit lalu kembali pulang dengan hati yang lega. Beberapa hari yang lalu ia masih tak mengerti mengapa ia ingin sekali melukis wajah Malia. Tapi kini ia mengerti alasannya. ... Bima kembali datang lebih pagi dari biasanya. Bahkan sebelum cafe dibuka. Tapi kali ini ia membawa seseorang bersamanya. "Lang, kenalin ini Pak Tommy. Dia yang akan merenovasi teras belakang jadi area out door cafe," ucap Bima dengan wajah yang kembali sumringah. Langit menyambut uluran tangan Pak Tomy seraya memandang Bima dengan bingung. Meski ia tahu itu adalah rencana Malia tapi tak urung membuatnya sangat terkejut. Ia tak mengerti tujuan Malia. Buat apa dia buang-buang uang untuk merenovasi teras? Karena meski pun kecil tapi selama ini cafe tidak pernah kekurangan kursi. Lagipula sebagian besar pelanggan selalu memesan take away kopi mereka. Tak ada gunanya menambah tempat duduk lagi hingga ke teras. "Hai!" Sebuah suara mengagetkan Langit. Tiba-tiba saja Malia sudah berdiri di hadapannya, di depan meja konter. Sesaat Langit tertegun. Kenapa dia cantik sekali hari ini? Batinnya. "Aku habis potong rambut," sahut Malia menjawab pertanyaan di wajah Langit. "Oh!" Langit tersenyum malu. Pantas saja! "Hmm... Mau kopi?" Tanyanya berbasa-basi. Malia mengangguk, lalu memandang Langit dengan ragu. "Mmm... apa kamu mau menemani aku sambil menunggu cafe buka? Tanyanya seraya melempar pandang ke sekeliling cafe yang kosong. Seolah ingin memastikan ia tak mengganggu pekerjaan Langit. Sesaat Langit ragu untuk menjawab. Namun saat dilihatnya Bima memperhatikannya dari kejauhan ia pun mengangguk. "Makasih!" Ucap Malia saat Langit membawakan kopi pesanannya dan duduk di hadapannya. "Hmm, aku sengaja ke sini mau ucapin terima kasih buat kadonya. Maaf, kemarin aku lagi gak ada di rumah," ucapnya lagi. Langit tersenyum. "Gak apa-apa. Aku kan, memang gak bilang mau ke sana. Aku juga minta maaf karena kemarin sempat lupa," ucapnya. Malia tersenyum. "Apa Mentari yang memberi tahu kamu," tanyanya. Dan Langit lalu mengangguk dengan malu. "Mmm... apa kamu suka dengan kado itu?" Tanyanya dengan hati berdebar. Malia mengangguk. "Aku suka sekali!" Sahutnya dengan mata berbinar. "Apa lukisan itu yang membuat kamu... jatuh waktu itu?" Tanyanya hati-hati. Langit memandang Malia dengan tanya. Dari mana dia tahu? "Oh. Hmm... Mas Bima bilang kalau kamu jatuh pingsan setelah melukis semalaman," sambungnya lagi menjawab tanya di wajah Langit. Langit akhirnya mengangguk. Dasar Mas Bima memang tidak bisa dipercaya. Untuk apa dia ceritakan itu pada Malia? Bikin malu saja, rutuknya. "Kamu bisa mengingat wajahku dengan begitu sempurna." Malia menatap Langit dengan sorot mata yang dalam. Langit tersenyum "Tadinya aku mau lihat wajah kamu dari hape. Ternyata aku lupa, aku gak punya foto kamu. Tapi aku mengingatnya sangat jelas saat kamu... menangis waktu itu." Dan ia sangat mengingatnya. Bahkan setelah berhari-hari kemudian. "Itu sebabnya ada air mata di lukisan itu?" Lirih Malia. Langit kembali mengangguk. "Itu kado paling indah yang pernah aku dapatkan di hari ulang tahunku." Malia menatap Langit dengan mata berkaca-kaca. "Itu sangat berarti buatku. Kamu membuatnya sampai..." "Hei... Gak pa-pa. Kamu kan, tahu waktu itu kondisiku memang lagi gak fit?" Potong Langit. Ia tak ingin melihat Malia menangis lagi di hadapannya. Malia mengusap kedua matanya dengan jemarinya. "Maafkan, aku," ucapnya lagi. "Kalau kamu minta maaf lagi. Aku pergi!" Ancam Langit berseloroh. Akhirnya Malia tersenyum. "Apa aku... masih boleh main ke rumah kamu?" Tanyanya kemudian. Sesaat Langit terdiam, namun akhirnya ia mengangguk. Melihat mata yang berkaca-kaca itu menatapnya ia tak kuasa untuk menolaknya. "Terima kasih!" Malia kembali tersenyum. Lalu melirik jam tangannya. "Sudah jam delapan. Kamu harus buka cafe. Aku ke kantor dulu, ya?" Malia menyeruput kopinya hingga menyisakan buih s**u yang menempel di bibirnya. Dengan spontan Langit mengambil tisu, lalu dibersihkannya bibir Malia. Dan seketika Malia terdiam menatapnya. Dan Langit pun segera tersadar. "Maaf..." Ucapnya seraya melepaskan tangannya dengan salah tingkah. Malia menggeleng seraya tertawa kecil. "Terima kasih!" ucapnya, lalu beranjak pergi. Langit menghembuskan nafasnya. Ah! Apa yang ia lakukan tadi? Bodoh sekali! Bikin malu saja, rutuknya di hati. Kini Langit termenung di kursinya. Diingatnya kembali kata-kata Bima. Apakah ia yang sebenarnya terlalu memaksakan diri? Memaksa hatinya untuk tidak jatuh cinta padanya? Karena ia takut cinta akan menyakitinya kembali seperti waktu itu. Saat perempuan itu meninggalkannya. Sungguh ia tak akan sanggup lagi jika harus kembali patah hati. Karena duka kehilangan kedua orang tuanya pun masih ia rasakan pedihnya hingga saat ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN