Menjaga Hati

1020 Kata
Langit memasukkan tiga buah roti yang tersisa di etalase ke dalam kantong yang akan dibawa Danar. Ia juga sudah merapikan dan membersihkan meja konter. Sejak ada Danar, pekerjaannya memang menjadi lebih ringan. Dilihatnya Danar yang masih membersihkan lantai. Cafe sudah tutup sejak setengah jam yang lalu. Dan Mas Bima pun sudah pulang sejak tadi. Dan kini saatnya ia beristirahat sejenak sebelum pulang ke rumahnya. Dari tembok pembatas teras cafe, Langit memandang ke bawah. Ke jalan raya yang padat oleh kendaraan. Dihisapnya rokoknya perlahan lalu dihembuskan asapnya ke udara. Ia akan menunggu sebentar lagi sebelum langit benar-benar gelap. Tiga hari setelah beristirahat di rumah saja, ia merasakan energinya kembali baru. Dan selama tiga hari pula ia sudah banyak berpikir. Kejadian kecil kemarin tak boleh terulang lagi. Ia sudah merepotkan banyak orang. Ia sudah membuat Mentari panik dan ketakutan. Ia tak akan lagi menghabiskan energinya untuk hal yang sia-sia. Ia tak mau lagi hidupnya diatur orang lain, terutama perasaannya. Ia ingin kembali hidup seperti dulu, sebelum mengenal Malia. Terdengar suara pintu terbuka tiba-tiba. "Sudah selesai, Nar?" Tanyanya tanpa menoleh. Namun, suara langkah sepatu yang dikenalnya menyadarkannya kalau itu bukanlah Danar. Diliriknya sesaat. Malia berdiri di sana. Dengan setelan kerja dan tas yang tersandang di bahunya, memandang dirinya dari arah samping. Langit mematikan rokoknya dan kembali memandangi jalan raya di bawahnya yang semakin padat dan berisik. "Kamu benar-benar sudah menganggapku gak penting lagi?" Suara Malia terdengar lirih. Tapi Langit hanya terdiam. "Aku sampai harus memaksa Mas Bima untuk bercerita. Aku gak tau kamu masuk rumah sakit." Tapi Langit masih tak menjawab. Dan masih tak menoleh. Dihembuskannya nafas panjang. "Buatku yang terpenting saat ini cuma Mentari," sahutnya pelan. Malia menghela nafas perlahan. "Maafkan aku..." bisiknya. "Kamu gak salah," sahut Langit. "Aku salah! Aku tahu, aku gak seharusnya memaksa kamu..." Malia membalikkan tubuhnya, lalu bersandar di pagar tembok pembatas. Dipandanginya wajah Langit dengan kedua mata yang menyiratkan penyesalan. Langit menggelengkan kepala lalu menatap Malia. "Kamu hanya terlalu keras pada dirimu," ujarnya. Malia tertunduk diam. "Jangan paksakan diri untuk mencintaiku, nanti kamu akan kecewa," lirih Langit. Kini Malia mengangkat wajahnya dan kembali memandang Langit. "Kamu tahu kenapa aku mencintai kamu? Karena hanya kamu, laki-laki satu-satunya yang menganggapku sebagai Malia. Bukan sebagai anak Prawira Subagja. Aku tahu... aku sudah banyak menyusahkan kamu. Mungkin buat kamu aku hanyalah anak manja yang butuh perhatian. Yang suka mengatur hidup orang lain dan memaksakan kehendak..." Malia kembali tertunduk. "Karena aku tak tahu banyak hal seperti kamu. Aku hanya tahu duniaku seperti itu. Aku tak tahu bagaimana caranya harus bersikap supaya kamu mau menerima aku. Aku tak mengerti..." Langit memalingkan wajah. Ia benci dengan situasi seperti ini. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan dan dikatakannya. Karena seperti Malia, ia juga tak tahu bagaimana caranya bisa menerima Malia, dan mencintainya. Karena ia juga belum pernah bertemu dengan seseorang sepertinya. "Ini bukan tentang kamu. Ini tentang aku yang tak mengerti caranya menerima cinta. Karena kalau kita saling mencintai, kita tak perlu berubah. Dan aku percaya cinta punya caranya sendiri untuk menyatukan kita." Langit menarik nafas dengan lega. Akhirnya ia bisa mengeluarkan kata-kata itu dari mulutnya. Ditunggunya Malia mengeluarkan kata lagi. Tapi gadis itu hanya terdiam. Langit lalu memandangi angkasa. Matahari baru saja terbenam. Sebentar lagi hari akan gelap. Dan kini tak ada ada lagi kalimat yang keluar dari bibir keduanya. Mereka hanya terdiam dalam pikiran masing-masing. Dan membiarkan suara berisik lalu lintas dan hembusan angin dingin mengisi keheningan itu. Malia memeluk tubuhnya dengan kedua tangan. Berusaha melindungi dari dinginnya angin yang menerpa. Langit melirik jam tangannya. "Aku harus pulang," ucapnya seraya membalikkan badan. Lalu seperti teringat sesuatu dikeluarkannya sebuah kunci dari dalam saku celananya, dan diulurkannya pada Malia. "Mobil kamu ada di parkiran basemen. Aku gak punya tempat parkir di rumah. Waktu itu aku titip di rumah Devia." Malia menatap Langit dengan bingung, lalu menggeleng. Tapi Langit tetap memaksa. "Please, Mal!" Ucapnya. Diraihnya tangan Malia dan diletakan kunci itu ke dalam genggamannya. Lalu ia melangkah pergi. "Boleh aku mengantarmu pulang?" Pertanyaan Malia membuat Langit menghentikan langkah. "Sudah malam. Aku bawa motor," sahutnya sambil menyunggingkan senyum. Tak ada kesedihan, rasa kesal atau marah. Ia berusaha melupakannya. Malia menatap punggung Langit hingga menghilang di balik pintu, lalu mengusap air matanya yang menetes. ... Langit masuk ke dalam studio lukisnya. Dibukanya lukisan yang tertutup kain putih itu. Lukisan yang belum selesai dibuatnya. Disentuhnya wajah dalam lukisan itu. Entah kenapa ia ingin sekali melukis wajahnya. Wajah yang tak pernah berhenti mengganggunya. Ia mengingat setiap lekuk wajahnya. Ia juga mengingat dengan jelas setiap ekspresi yang tergambar di wajahnya saat ia tertawa dan tersenyum. Saat ia sedih dan marah. Saat ia menatapnya dengan cinta, dan saat ia menatapnya dengan air mata... Langit menghela nafasnya. Disentuhnya kedua mata yang tergambar di sana. Lalu ia mulai menggoreskan kembali kuasnya. Dari pintu yang sedikit terbuka, Devia mengintip Langit. Matanya berkaca-kaca. Sejak Langit di rumah sakit ia sudah tahu yang dilukis Langit itu bukanlah dirinya. Tapi ia masih berharap Langit tak akan menyelesaikannya. Tapi kini, setelah satu minggu berlalu, Langit kembali ke sana dan mengguratkan kembali kuasnya di wajah itu. Devia menghela nafasnya dengan berat. Dadanya terasa sesak. Kini ia merasa semua pengorbanan yang sudah dilakukannya selama ini hanyalah sia-sia. Tanpa suara ia meletakkan makanan yang dibawanya di atas meja makan, dan diam-diam kembali pulang. Entah sudah berapa lama Langit berada di sana. Di dalam studio kecilnya ketika Mentari mengetuk pintu, dan mengingatkannya untuk makan malam. Langit menyapukan kuas untuk terakhir kali di kanvasnya. Lalu ditutupnya lukisan itu. Ia baru merasakan perutnya kelaparan. Malam sudah hampir berada di puncaknya, tapi Langit belum juga memejamkan mata. Pikirannya menerawang memandangi langit-langit kamarnya. Sudah hampir satu minggu ia dan Malia tak bertemu sejak pertemuan terakhir mereka di teras cafe. Bahkan mereka juga sudah tak saling berkomunikasi lewat telepon. Bukankah itu yang diharapkannya selama ini? Menjauh darinya, karena tugasnya sudah selesai. Meski sekarang ia merasa ada sesuatu yang hilang dari hari-harinya tapi ia percaya rasa itu akan hilang bersama waktu. Ini adalah jalan terbaik bagi mereka berdua. Untuk menjaga hati agar tak lagi saling menyakiti. Ia percaya, jika cinta itu memang ada, dia akan datang begitu saja padanya. Bukan karena paksaan atau kasihan, apalagi karena balas budi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN