Sesederhana Cinta Devia

1354 Kata
Langit mengetuk pintu kamar Mentari. Dan saat terdengar sahutan dari dalam, dibukanya pintu kamar yang tak terkunci itu. "De, udah hampir dua minggu kok, Devia gak pernah ke sini lagi, ya?" Tanyanya seraya duduk di samping Sang Adik yang tengah tenggelam dalam n****+ yang dibacanya. "Katanya sibuk mau skripsi," sahut Mentari tanpa menoleh. "Kangeeeen, yaa?" Ledeknya. Langit mengacak rambut Sang Adik dengan gemas. "Mas cuma penasaran aja. Kok, tumben banget udah lama gak ke sini?" Kini Mentari menutup n****+ yang dibacanya lalu memandang Langit dengan wajah serius. "Dia juga udah gak mau sepeda-an lagi sama aku, Mas. Enggak tahu kenapa," tukasnya. "O ya?" Mentari mengangguk. "Mas, siiih Kak Via dicuekin teruuus. Aku kan, udah bilang, sekali-kali ajak jalan!" Sungutnya. Langit tersenyum, lalu kembali mengacak-acak rambut Mentari. "Sok, tahu!" Sahutnya. Namun kemudian hatinya bertanya-tanya. Apakah karena ia tak jadi melukisnya waktu itu? Langit kembali memandang Mentari. "De, tanyaian, gih. Dia mau gak dilukis sekarang?" Mentari kembali mengangkat wajah lalu memandang Langit sambil melotot. "Mas, jangan cari gara-gara lagi, deh. Nanti kalau Kak Malia tahu?" "Dia udah gak marah, kok. Mumpung Mas ada waktu, nih! Kamu tanyain sekarang, ya?" Ujar Langit lagi seraya berjalan keluar kamar dan masuk ke dalam studio lukisnya. Sesaat kemudian terdengar suara Mentari berbicara dengan Devia di telepon. Dan tak menunggu waktu lama gadis itu pun datang dengan wajah berseri. "Hai, Via! Udah siap untuk dilukis?" Sapa Langit. Devia mengangguk dengan senyum malu-malu. Dan Langit lalu memintanya untuk duduk di atas kursi dan mengatur posisinya. "Rileks aja, ya," ucapnya mencoba menenangkan Devia yang mulai gugup. Dan saat Langit mulai melukisnya, Devia berusaha keras untuk tidak menundukkan wajah. Berulang kali ia menarik nafas untuk menghilangkan kegugupannya. Sesekali bola matanya berputar ke kanan dan ke kiri untuk menghindari tatapan Langit. Ia tampak tak tenang. "Sebentar lagi, ya?" ujar Langit seraya tersenyum. Ia sudah menduganya Devia tak akan sanggup berlama-lama duduk di hadapannya. Tapi ia tak akan lama menahannya di sana. Ia hanya perlu sedikit saja menggambar sketsa wajahnya, lalu ia akan menyelesaikan tanpanya. Bentuk wajah Devia sangat berbeda dengan Malia. Wajahnya bulat seperti purnama. Sorot matanya sangat polos. Siapa pun yang melihatnya tak akan tega menyakitinya. Dan kulitnya yang pucat membuat pipinya kemerahan saat ia tersipu. Beberapa saat kemudian akhirnya Devia bisa bernafas lega saat Langit sudah menyelesaikan sketsa wajahnya. "Nanti kalau sudah selesai, Mas kabarin, ya?" Ucap Langit seraya kembali menggoreskan kuas di atas kanvas. Senyum Devia merekah lebar saat ia menatap lukisan wajahnya yang belum selesai itu. "Apa aku boleh menunggu disini, Mas?" Tanyanya. Langit menjawab dengan sebuah anggukan. Devia lalu duduk di samping Langit sambil memandangi wajahnya. Mulutnya bergerak ragu. "Mmm... waktu itu aku pernah melihat Mas Langit melukis perempuan... apa itu lukisan Malia?" Tanyanya memberanikan diri. Langit terkejut mendengar pertanyaan itu. Tangannya berhenti bergerak. Jadi itu yang membuatnya berhenti datang ke rumahnya? Gumamnya. Kini ia mengerti. Ia tak menyangka Devia akan cemburu. Langit pun lalu tersenyum. "Iya. Dia minta dibuatkan untuk ulang tahunnya," sahutnya setengah berdusta. Devia kembali tersenyum. Ada kelegaan terpancar dari kedua matanya. Langit tahu, Devia pasti ingin sekali mengetahui hubungannya dengan Malia. Meski ia sendiri pun tak tahu pasti, tapi ia berharap Devia tak perlu menunggu dan mengharapkannya. Ia percaya ada banyak laki-laki yang jauh lebih baik darinya yang akan mencintainya dengan tulus. Dan mempunyai masa depan yang jauh lebih indah darinya. Ia sendiri saja bahkan tak yakin dengan masa depannya nanti. "Mas Langit..." Suara pelan Devia membuat jantung Langit berdegup kencang. Ya, Tuhan! Apakah dia benar-benar akan menanyakannya sekarang? Devia menatap Langit dengan ragu. "Kalau aku wisuda nanti... apakah Mas Langit mau menemani aku?" Tanyanya. Langit tersenyum lega. Ia lalu mengangguk. "Terima kasih, Mas!" "Nanti aja terima kasihnya. Kan, wisudanya belum?" Ucap Langit membuat Devia akhirnya tertawa. Sesaat Langit tertegun. Ia baru menyadari jika ia tak pernah melihat gadis itu tertawa. "Mas! Nanti sore ikut kita, yuk?" Tiba-tiba suara nyaring Mentari di ambang pintu mengagetkan Langit dan Devia. "Aku sama Kak Via mau nonton film horor di bioskop nanti sore!" Serunya. Langit mengangkat wajahnya lalu menggeleng. "Ayo, lah, Mas. Mas kan, udah lama gak pernah ngajak aku nonton lagi," rayu Mentari. Tapi Langit tetap tak menanggapinya. Ia masih sibuk menggoreskan kuas lukisnya di atas kanvas. "Maaaas!!" Kini Mentari memeluk punggung Langit. "Katanya mau ngajak Kak Via jalan-jalan?" "Hah!!" Seketika Langit menatap Mentari dengan mata melotot. Ia hampir saja mengomelinya saat kemudian dilihatnya wajah Devia yang tersipu. Ah! Kan, jadi salah sangka. Dasar tukang fitnah! Rutuknya. Dan akhirnya dengan terpaksa Langit lalu mengangguk. Dan Mentari pun berseru kegirangan. ... Langit tertegun memandangi Devia yang berdiri di hadapannya. Dengan baju terusan selutut berwarna pink pastel, dan riasan wajah yang tipis. Ia terlihat manis sekali. "Cieeee. Terpesonaaa!" Suara nyaring Mentari menyadarkan Langit. "Berisik!" Serunya sambil mencubit gemas pipi Sang Adik. "Tuh, taksinya udah datang! Ayo cepetan berangkat!" Ucapnya lagi saat melihat sebuah mobil hitam berhenti di depan pagar rumah. Di dalam mobil, dari cermin kecil di atasnya Langit mencuri pandang ke arah Devia yang duduk di kursi belakang. Dilihatnya wajah gadis itu yang tak berhenti tersenyum seperti gadis kecil yang sedang diajak berjalan-jalan. Ah! Mudah sekali membuatnya bahagia. Devia memang gadis yang sederhana. Dia sangat berbeda dari Malia. Devia tak pernah membuatnya kesal apalagi sampai meneteskan air mata. Ia tidak menyangkal bahwa ia menyukainya. Tapi rasa suka yang berbeda dengan yang ia rasakan pada Malia. Memang Malia selalu saja membuatnya jengkel. Tapi terkadang dia membuatnya hatinya bergetar. Dan terkadang dia juga membuatnya tak bisa tidur karena memikirkannya. Langit tersenyum. Sedang apa dia sekarang? Gumamnya. "Maas!" Suara Mentari membuat Langit menoleh. Ternyata mereka sudah sampai di depan lobby Mall. "Mas Langit sukanya nonton film apa?" Tanya Devia sesaat mereka masuk ke dalam gedung bioskop. "Apa aja yang kamu suka," sahut Langit membuat Devia tersipu. "Mas Langit itu sukanya nonton film action. Karena dia suka beran..." Langit buru-buru menutup mulut Mentari dengan tangan sebelum sempat menyelesaikan ucapannya. Ditatapnya wajah Sang Adik sambil melotot. Dan Devia pun tertawa melihatnya. Sepanjang film diputar Mentari dan penonton lain di dalam gedung bioskop itu tak berhenti berteriak. Membuat Langit harus berulang kali menutup telinga dengan kedua tangannya. Ia heran dengan Mentari. Adiknya itu sangat penakut, tapi mengapa suka sekali menonton film horor? Dan baru saja Langit akan menutup telinganya kembali, tiba-tiba tangan Devia memegangi tangannya dengan kuat. Wajahnya menatap layar dengan ketakutan. Langit membiarkannya. Ia tak ingin membuatnya malu. Tapi saat tangan itu semakin kuat mencengkeramnya akhirnya Langit meringis kesakitan. "Maaf!" Devia mengangkat tangannya dengan wajah terkejut bercampur malu. Langit tersenyum. "Gak pa-pa. Mas cuma pura-pura aja, tadi," sahutnya. Ditariknya kembali tangan Devia. Lalu digenggamnya. "Biar kamu gak takut lagi!" Ucapnya, membuat Devia memandangnya dengan senyum yang tak lagi malu-malu. Setelah menonton, Langit mengajak Mentari dan Devia menikmati makan malam di restoran pavorit Mentari. Ia ingin membahagiakan adik semata wayangnya itu. Sudah lama sekali ia tak pernah mengajaknya jalan dan makan bersama. Sekaligus ini adalah waktu yang tepat untuk membalas kebaikan Devia. Hampir tengah malam saat taksi yang mengantarkan mereka pulang tiba di depan rumah. Tapi Langit tak lantas masuk. Ia mengantarkan Devia pulang dengan berjalan kaki. "Aku berani kok, Mas, pulang sendiri. Kan, dekat," ucap Devia merasa tak enak hati. "Jangan, dong! Ini udah tengah malam. Nanti kalau kenapa-napa?" Sahut Langit. "Terima kasih Mas! Jadi ngerepotin," ucap Devia. Langit menggeleng. "Sama sekali enggak repot." "Terima kasih juga atas makan malam dan nontonnya," imbuh Devia lagi. "Ini gak seberapa dibandingkan kebaikan kamu sama Mas dan Mentari," ucap Langit. Dipandanginya Devia dengan sungguh-sungguh. "Mas berhutang banyak sama kamu dan keluarga kamu. Apalagi waktu Mas sakit kemarin." "Ah, tetangga kan, harus saling menolong, Mas," sahut Devia. Kini ia berani menatap Langit. "Udah sampai. Mas tunggu sampai kamu masuk," ucap Langit saat akhirnya mereka sampai di depan rumah gadis itu. Devia mengangguk. Lalu ditatapnya Langit dengan ragu. Membuat jantung Langit kembali berdebar. Ia takut gadis itu akan mengungkapkan isi hatinya. "Hmm... Aku senang malam ini kita bisa pergi bersama." Langit tersenyum lega. "Mas juga!" Sahutnya. "Sekali lagi, terima kasih!" Ucap Devia, lalu melangkah masuk ke dalam rumah. Langit kembali tersenyum. Ditunggunya hingga gadis itu menutup pintu sebelum kemudian ia berbalik pergi. Dari tirai jendela yang sedikit terbuka, Devia memandangi punggung Langit hingga menghilang dari pandangannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN