Naga Langit Yang Hilang

1187 Kata
Langit membuka apron-nya. Bersiap-siap menunggu Malia datang untuk makan siang bersama di kantin. Tapi tiba-tiba saja Malia mengirimkan pesan singkat yang meminta untuk menjemputnya di kantor? Bukankah kantin itu jaraknya lebih dekat dari cafe? Langit menggeleng-gelengkan kepalanya. Dasar manja, keluhnya. Bukan masalah jarak yang tidak disukainya. Tapi ia tak suka menjadi pusat perhatian di kantor itu. Ia risih dengan tatapan mereka yang membuatnya merasa terintimidasi. Dengan malas Langit akhirnya melangkahkan kakinya. Dan ternyata benar yang dikatakan Eva. Sekarang tak ada lagi yang berani menyapanya seperti biasa. Mereka hanya tersenyum kaku menyambutnya. Bahkan Eva pun tak berani menatapnya. Malia keluar dari sebuah ruangan berdinding kaca lalu menarik Langit masuk ke dalam dan menutup pintunya. "Kita makan di sini?" Tanya Langit saat dilihatnya Malia mengeluarkan boks-boks makanan dari sebuah kantong besar bertuliskan nama Restoran Jepang pavoritnya. Dan saat Malia mengangguk ia pun kembali menggeleng-gelengkan kepalanya. Kenapa dia selalu saja merubah rencananya? Keluhnya. Sambil duduk di atas sofa empuk, Langit memandangi sekeliling ruangan itu. Ruang kerja yang besar dan nyaman. Dengan furnitur serba kayu dan wallpaper berwarna lembut, membuat siapa pun betah berlama-lama berada di sana. Tiba-tiba saja ia ingin kembali memejamkan mata. "Kamu pasti betah kerja di sini?" Langit menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Malia tersenyum. "Kadang bosan," sahutnya. "Kalau bosan aku bisa temanin." "Beneran?" "Mmm... maksudku sekali-sekali," sahut Langit tergagap. Malia tersenyum. Diulurkannya sepiring sushi pada Langit. Langit lalu menatap Malia. "Kamu beruntung," ucapnya. "Beruntung?" Malia mengangkat kedua alisnya. "Kamu punya segalanya," imbuh Langit. "Maksud kamu materi?" Langit mengangguk. "Paling tidak kalau mau seharian tidur pun kamu gak takut dipecat." Malia tertawa. "Memangnya kamu takut dipecat?" Tanyanya. Langit mengedikkan kedua bahunya. "Banyak orang-orang yang menggantungkan hidup di sini. Mungkin banyak juga yang menjadi tulang punggung keluarga seperti aku," sahutnya. "Maksud kamu seperti Eva?" Langit terdiam. Mulutnya berhenti mengunyah. Ditatapnya Malia kembali. Ia bahkan tak tahu jika Eva seorang tulang punggung keluarga. "Aku tahu semua latar belakang anak anak buahku," ucap Malia lagi. "Dia pasti sudah cerita banyak sama kamu, kan? Kalau Ayahnya sudah meninggal dunia, dan dia harus menghidupi Ibu dan adiknya?" Kini suaranya terdengar cemburu. Langit menggelengkan kepala sambil menatap Malia dengan bingung. "Aku gak tahu. Dia gak cerita apa-apa," sahutnya. Malia menatap Langit dalam-dalam. Seolah ingin memastikan ia tidak berdusta. Langit mengusap wajahnya sambil menghela nafas. Sungguh ia sudah lelah untuk memulai pertengkaran lagi "Kamu masih mau bahas soal dia?" Tanyanya. Malia menggeleng pelan. "Kamu tahu gak apa makanan kesukaanku?" Tanyanya tiba-tiba. Langit menatapnya dengan bingung, lalu menggeleng. Ia sama sekali tak tahu. Yang ia tahu Malia selalu menyantap makanan yang berbeda setiap hari. "Kamu ingat apa yang dimakan Eva waktu makan siang denganmu?" Ada apa ini? Langit semakin gusar. Tentu saja ia masih ingat. Tapi apa maksudnya? Ia pun lalu mengangguk. Kini Malia meletakkan piringnya. "Kamu gak tahu apa-apa tentang aku. Tapi kamu ingat makanan perempuan yang baru saja makan sekali denganmu?" "Aku gak ngerti maksud kamu?" Sahut Langit semakin bingung. "Aku gak mau jadi Sandra. Aku gak mau cuma jadi bayangan kamu!" Suara Malia mulai meninggi. Kini Langit menatapnya tak percaya. Kenapa dia menyebut nama itu? Dari mana dia tahu? Malia menarik nafasnya dengan berat. "Aku gak mau setelah dua tahun menunggu, aku baru sadar ternyata kamu gak mencintaiku, karena kamu enggak pernah berusaha." Langit terpaku menatap Malia. Diletakkannya piring dan sumpit di atas meja. Ia sudah kehilangan selera makannya. "Sandra meninggalkanku saat aku sedang dalam masa sulit. Orang tuaku baru meninggal dunia. Dan dia ingin perhatian yang lebih. Tapi saat itu aku gak bisa, karena aku benar-benar dalam kondisi terpuruk." Akhirnya keluar juga kata-kata itu. Langit benci sekali mengingatnya. "Mungkin dia hanya ingin mempertanyakan kehadirannya. Karena mungkin kamu gak pernah membagi rasa padanya. Kamu seperti hidup sendiri. Berjalan sendiri. Kamu gak pernah menanyakan kabarnya, lelahnya, makanan pavoritnya, ulang tahunnya..." Langit kembali menatap Malia. Jadi ini maksudnya? Jadi semua ini tentang dia? "Kalau aku gak ada. Kamu juga gak akan merasa kehilangan, kan?" Kini Suara Malia terdengar bergetar. "Aku sampai harus menanyakan segala hal tentang kamu pada Mentari dan Mas Bima. Karena kamu bahkan gak memberi tahu aku waktu kamu sakit. Kamu gak pernah mau berbagi." Langit kembali mengusap wajah dengan kedua tangannya. "Kamu gak tahu siapa aku..." "Bagaimana aku bisa mengenalmu kalau kamu tidak mengijinkanku masuk ke dalam hidupmu?" "Kamu akan membenciku kalau tahu masa laluku," lirih Langit sambil tertunduk. "Apa yang kamu sembunyikan?" Malia mendekatkan wajahnya. Kini Langit mengangkat wajahnya. "Aku... gak seperti yang kamu bayangkan. Yang orang-orang kira selama ini. Orang melihatku sebagai contoh kakak yang baik dan bertanggung jawab. Berjuang menafkahi adiknya dan menyekolahkannya. Mereka gak tahu apa yang aku lakukan saat ini tidaklah sebanding dengan apa yang telah aku lakukan dulu. Sewaktu orang tuaku masih hidup." Langit menghembuskan nafasnya. "Tidak ada yang bisa dibanggakan dariku... Masa laluku sangat kelam. Kasar. Aku bukan orang baik. Dunia kita sangat jauh berbeda. Kamu tidak akan bisa menerimanya. Kamu salah pilih aku... Aku bukan orang yang pantas." Kini Langit beranjak dari duduknya. Ia ingin secepatnya pergi. Tapi tangan Malia menahannya dan mencengkram kuat bahunya. Dan semakin kuat saat Langit berusaha melepaskan tangannya. Saat itulah Malia melihat sesuatu di balik kausnya yang sedikit tersingkap. "Maal!" Langit membalikkan tubuhnya. Lalu melangkah mundur. "Apa yang kamu sembunyikan?" Perlahan Malia mendekati Langit. Langit menggeleng. Ia semakin melangkah mundur. Tapi Malia semakin mendekat, hingga akhirnya langkah Langit terhenti, tepat saat punggungnya menyentuh dinding kaca. "Apa yang kamu sembunyikan di punggungmu?" Malia meraba punggung Langit. Langit menggeleng. "Kamu gak akan suka melihatnya," ucapnya pelan. "Buka..." Pinta Malia lirih. "Mal..." "Aku bilang buka!" Jerit Malia. Langit menatap Malia dengan ragu. Namun akhirnya dengan perlahan ia membuka kausnya hingga bertelanjang d**a. Memperlihatkan apa yang selama ini disembunyikannya. Dan Malia menatap gambar besar itu di punggung Langit. Sebuah gambar naga hijau bersayap. Dengan taring-taringnya yang panjang. Mulutnya yang berapi dan kedua sayap yang mengepak hingga ke bahu. Perlahan Malia menyentuhnya. Ditelusurinya gambar tato itu dengan tangan yang bergetar. Terdengar nafasnya yang tertahan. Ia mengenalinya. Ia tahu cerita di balik gambar itu. Naga Langit! Nama yang lama menghilang. Nama yang dulu ia sebut di setiap doanya. Nama yang pernah sangat ia harapkan untuk datang menolongnya. Nama yang tanpa ia sadari akhirnya benar-benar datang menyelamatkannya. Tidak, ia tidak salah pilih. Ia tahu Langit adalah jawaban dari doanya. Ia hanya tidak menyadari bahwa Langit yang selama ini berada begitu dekat dengannya adalah Naga Langit. Langit tertunduk. Matanya terpejam. Ia tidak malu. Ia tidak takut Malia akan meninggalkannya. Ia hanya takut untuk mengulang kembali cerita itu. Cerita yang tak dibanggakannya. Cerita yang membuat orang tuanya selalu menangisinya setiap malam. Cerita yang susah payah disembunyikannya selama tiga tahun. Dan kini harus terungkap kembali. "Maaal..." Langit memanggilnya lirih. Tapi Malia tak menyahut. Dan tiba-tiba saja ia merasakan punggungnya hangat dan basah. Terdengar isakan Malia. Kepalanya bersandar di punggungnya. Kedua tangannya melingkari dadanya dengan kuat. Langit membiarkan Malia menangis di sana. Membiarkan air mata membasahi seluruh punggungnya. Didekapnya kedua tangan gadis itu dalam dadanya. Tubuhnya bergetar. Matanya berkaca-kaca. Ia merasa lega, kini ia tak perlu takut lagi. Tanpa mereka sadari. Dari dinding kaca dengan tirai yang tak tertutup sempurna, orang-orang itu menatap mereka. Ada yang menitikan air mata, ada yang terperangah, tapi banyak yang mengabadikan dalam kamera ponselnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN