Hidupku Di Tanganmu

1221 Kata
"Pak Riswan!" Dari halaman parkir Langit berlari dan memanggil Pak Riswan yang baru saja keluar dari dalam elevator. "Pagi, Mas Langit!" Sapa Pak Riswan dengan senyumnya yang ramah. "Pagi, Pak! Saya ada perlu sebentar, Pak!" ucap Langit dengan nafas tersengal. "Perlu apa, Mas?" Pak Riswan memandang Langit dengan penasaran. Langit menarik Pak Riswan ke sudut lobby. "Pak Riswan kenal sama yang namanya Eva itu, kan?" "Ya, kenal begitu saja, Mas. Kalau ketemu ya, nyapa. Gak kenal dekat. Ada apa toh, Mas?" Tanyanya semakin penasaran. "Saya mau minta tolong, Pak. Mintain saya nomor hape-nya." Pak Riswan memandang Langit dengan ragu. "Saya cuma mau minta maaf!" Sahut Langit menjawab keraguan di wajah Pak Riswan. "Tapi... gimana kalau ketahuan Mbak Malia, Mas? Saya bisa dipecat!" Sahut Pak Riswan dengan khawatir. "Ya, jangan ketauan, Pak!" Pak Riswan menggaruk-garuk kepalanya. "Begini, deh. Bilang aja, Pak Riswan minta nomor teleponnya buat data keamanan. Kalau terjadi keadaan darurat." Sejenak Pak Riswan bepikir. "Saya usahakan ya, Mas! Tapi gak janji loh. Kalau dianya gak mau ngasih, ya gak bisa dipaksa, toh?" Langit mengangguk. "Kalau dia gak mau ya, gak pa-pa. Saya minta nomornya Pak Riswan, nanti kita saling chat aja, Pak." Pak Riswan mengangguk dengan wajah terpaksa. Langit menepuk bahu pria itu sambil tersenyum. "Makasih, Pak!" Ucapnya. Lalu secepatnya masuk ke dalam elevator yang terbuka di hadapannya. Danar tengah merapikan meja konter saat Langit tiba di cafe. "Pagi, Mas Langit!" Sapanya. "Pagi, Nar!" "Ada kirimin paket Mas, dari Mbak Malia. Makanan kayaknya." Danar mengulurkan sebuah paper bag pada Langit. Dari Malia? Tumben dia kirim sarapan pakai kurir? Dikeluarkannya sebuah kotak makanan dari dalam kantong. "Pagi semua!" "Pagi, Mas!" Sapa Langit seraya memandang heran Mas Bima yang datang tanpa membawa boks roti. "Tumben, gak bawa roti, Mas?" Tanyanya. Bima menggeleng. "Gak sempat bikinnya. Semalaman gue bikin laporan keuangan cafe." Langit terkejut mendengar jawaban Bima. Selama tiga tahun ia bekerja bersamanya, Mas Bima tak pernah sekalipun absen bikin roti, kecuali di hari libur. Tapi sekarang ia tidak sempat membuatnya karena sibuk membuat laporan? Aah, jelas sudah! Ia pasti membuat laporan keuangan untuk partner bisnis barunya, Malia. "O ya, Lang. Malia ke Surabaya hari ini sama Pak Bagja. Dia hubungi lu tapi katanya hape lu mati," ujar Bima lagi. "Oh, ya?" Langit tersenyum senang. Pantas dia kirim sarapan pakai kurir. Sudah beberapa hari ini ia memang selalu mematikan ponsel saat tiba di rumah, karena tak ingin Malia mengganggunya. Lagipula tanpa kabar darinya pun, mata-mata yang tinggal satu atap dengannya itu pasti selalu mengabarkan keadaannya. Sebuah pesan masuk terdengar dari ponsel Langit. Ia tersenyum membacanya. Pak Riswan sudah berhasil mendapatkan nomor ponsel Eva. Dengan cepat ia lalu berjalan ke teras untuk meneleponnya. Langit merasakan jantungnya berdegup kencang saat ia mulai menekan nomor itu. Ia takut gadis itu akan marah padanya. "Halo? Eva, ini Mas Langit," sapanya saat mendengar sahutan di ujung telepon. Langit tersenyum lega saat Eva menyapanya dengan ramah. Bahkan Eva menanggapinya dengan tawa saat ia meminta maaf padanya. Dia sudah tidak mempermasalahkannya. Dan dia juga memintanya untuk tidak membahasnya lagi dengan Malia. Eva menceritakan seluruh kejadian itu. Tak ada kesedihan atau kemarahan dalam suaranya. Dia menganggap itu sebagai resiko dari sebuah pekerjaan. Dari Eva juga akhirnya Langit tahu, kalau sekarang tak boleh ada lagi yang delivery kopi dari Cafe Dewa. Mereka bahkan tak boleh lagi berkirim pesan padanya di sosmed cafe. Langit menutup ponsel dengan perasaan lega sekaligus geram. Ia lega karena masalah Eva sudah selesai. Tapi ia sangat geram dengan sikap Malia yang melarang karyawannya untuk berhubungan dengannya. Bahkan hanya untuk delivery kopi. Sungguh ia tak habis pikir dengan kecemburuannya yang semakin keterlaluan. Langit menyuap roti omelet yang dikirimkan Malia. Dan mendadak ia tertegun menatap makanan itu. Dari mana dia tahu ia suka omelet? Tapi akhirnya ia menggeleng-gelengkan kepalanya saat menyadari bahwa ia tiggal serumah dengan seorang mata-mata Malia. Dan kini mata-mata kedua datang dengan membawa dua cangkir kopi di tangannya lalu duduk di hadapannya. "Thank you, Mas. Lu udah sarapan?" Tanyanya seraya menyodorkan roti omelet ke hadapannya. Bima menggeleng. "Kemarin lu berantem sama Malia di tempat parkir?" Tanyanya tiba-tiba. Wajahnya terlihat penasaran seperti pembawa acara infotainment. "Salah paham aja, Mas," Sahut Langit dengan malas. Dasar mata-mata, sungutnya di hati. "Hati-hati, Lang, jangan main api." Bima menyeruput kopinya. "Video lu udah viral. Satu gedung tahu semua." Langit hanya diam. Ia enggan menanggapinya. Ia tahu saat ini Mas Bima pasti sedang menjalankan misi yang ditugaskan Malia. Bima lalu mencomot roti omelet di hadapannya dan menggigitnya. "By the way, Lu enggak mau nerusin kuliah lagi, Lang?" Pertanyaan Bima mengagetkan Langit. Ditatapnya pria itu dengan bingung. Ada apa ini? Tumben banget Mas Bima menanyakan kuliahnya? Tapi akhirnya ia menjawab dengan gelengan kepala. "Nanti aja, Mas. Kumpulin duit dulu," sahutnya. "Duit lu kan, masih ada di gue? Duit sewa cafe dari Pak Subagja itu?" Langit tersenyum. "Terus kalau gue kuliah, gue sama Mentari makan dari mana?" "Ya, gampang itu. Gue bisa bantu!" Langit kembali tersenyum. Ia yakin itu adalah rencana Malia. Dan dia memerintahkan Mas Bima untuk untuk membujuknya. "Lu kan, kuliahnya Arsitektur?" "Teruuus?" "Ya, lu bisa kerja di Bagja Company. Mereka kan, perusahaan kontraktor." Langit menatap Bima tak percaya. Jadi itu misi Malia? Agar ia bisa jadi orang kantoran seperti dirinya? Apa dia merasa malu dengan pekerjaannya sebagai Barista? Ya, Tuhan! Malia benar-benar keterlaluan. Setelah mengatur seluruh hidupnya sekarang dia juga ingin mengatur masa depannya? Merubahnya agar pantas bersanding dengannya? "Lu kan, gak mungkin selamanya jadi Barista? Suatu saat lu nikah, punya keluarga... Biaya hidup akan lebih banyak." Kini Bima memandang Langit dengan sungguh-sungguh. Langit menarik nafasnya. Bahkan orang yang selama ini selalu mendukungnya pun kini ikut-ikutan mengatur hidupnya. Ia bukannya tidak ingin berubah. Tapi ia ingin berubah dengan keinginannya sendiri dan atas jerih payahnya sendiri. Ia masih punya cukup harga diri untuk bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Dan ia tak perlu berubah karena orang lain. Masa depannya adalah urusannya. Langit menarik nafasnya dalam-dalam. Kini ia merasa terjebak dalam hidup yang tak diinginkannya. ... Langit sudah memakai jaketnya, bersiap untuk pulang. Mas Bima sudah pulang sejak tadi. Dan Danar juga sudah selesai membersihkan lantai. Ia ingin secepatnya pulang dan bersantai di rumah. Entahlah, kenapa sekarang ia merindukan hal yang dulu dianggapnya membosankan. Bersantai di rumah tanpa ada yang mengganggunya. "Hai!" Tapi tiba-tiba sebuah suara mengagetkannya. Malia sudah berdiri di hadapannya. Langit menatap dengan terkejut. Kenapa dia sudah pulang? Ia pun kembali terduduk dengan lemas. "Katanya kamu ke Surabaya?" Tanyanya. Malia mengangguk. Lalu mengecup pipi Langit. "Cuma temani Papa meeting sebentar. Aku langsung ke sini dari Airport," sahutnya sambil duduk di samping Langit. "Kenapa? Kamu gak suka ya, aku datang?" Malia menatap Langit dengan wajah cemberut. "Oh! Bukan... Aku kira kamu menginap di sana," sahut Langit seraya memaksa bibirnya untuk tersenyum. Ia tahu sebentar lagi Malia pasti akan memintanya untuk ditemani pulang. "Kamu udah mau pulang?" Malia menyandarkan kepalanya di bahu Langit. Wajahnya terlihat lelah. Langit mengangguk. Melihatnya kelelahan membuat hatinya sedikit melunak. "Tumben. Biasanya nunggu mau gelap?" Sahut Malia. Kini ia mengangkat kedua kakinya, lalu meluruskannya di atas kursi. "Aku lagi pingin aja pulang cepat. Tadi cafe lumayan ramai. Agak sedikit capek," dusta Langit. "Kamu gak pulang bareng Papa?" Malia menggeleng. "Papa pulangnya besok sore." Malia menarik tangan Langit ke pangkuan lalu mengusap-usapnya. "Temani aku makan di rumah, yuk? Aku sendirian... Mama lagi pergi." Langit menghela nafasnya. Benar saja dugaannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN