Langit membuka mata ketika di dengarnya suara gemericik air yang mengalir dan ramainya suara burung yang berkicau. Tubuhnya terasa hangat, dan matanya silau oleh cahaya matahari yang seperti sengaja menyorot wajahnya. Sesaat ia merasa berada di tempat asing, hingga kemudian didengarnya sebuah suara.
"Hei, jagoan!"
Kini ia menyadari tengah berada di teras belakang rumah Malia. Dilihatnya gadis itu tengah duduk di ujung kakinya sambil memegangi secangkir teh di tangannya. Ia pun beranjak bangun dari sofa. "Jam berapa sekarang?" Tanyanya.
"Tenang! Aku udah bilang Mas Bima supaya jangan pecat kamu. Kamu bisa tidur seharian di sini," jawab Malia.
"Aaargh! Kamu kok, gak bangunin aku?" Langit menatap jam di ponselnya. Sudah pukul sembilan pagi.
"Kamu baru tidur jam tiga. Ketiduran di sini. Gak ada yang bisa angkat kamu ke dalam. Dan gak ada juga yang berani bangunin Naga tidur," seloroh Malia.
Langit tersenyum malu. Ia ingat semalaman mereka mengobrol lama, sejak selesai makan malam hingga lewat dini hari. "Mentari? Apa dia telepon kamu?" Tiba-tiba ia teringat Sang Adik.
"Aku udah kabarin dia. Semalam dia ditemani teman-temannya di rumah. Nanti siang mau ke sini katanya, mau berenang."
"Thanks! Terus kamu, gak kerja?" Langit memandangi Malia yang masih mengenakan baju rumah.
Malia menggeleng. "Itu enaknya jadi bos," sahutnya.
Langit kembali tersenyum. Namun kemudian ia menatap Malia dengan ragu. "Apa Papa Mama kamu sudah lihat video itu?" Tanyanya.
Malia mengangguk. "Katanya bagus tatonya."
"Argh!" Langit menutupi wajahnya dengan malu.
Dan Malia pun tergelak. "Gak perlu malu. Video kita kan, udah viral. Sekarang semua orang di Bagja Tower udah tahu siapa kamu."
Langit menghempaskan tubuhnya kembali ke sofa. Ditutupinya wajahnya dengan bantal. "Gara-gara kamu. Tutup pintu tapi gak tutup kaca!" Gerutunya dari balik bantal.
Malia kembali tergelak.
"Dari pada aku tutup tirai mereka malah lebih curiga, disangka kita melakukan yang aneh-aneh."
"Aku malu!" Sergah Langit.
"Aku mesti gimana? Pecat mereka semua? Nanti kamunya yang marah!"
Langit membuka bantal yang menutupi wajahnya. Dihelanya nafas. "Kamu gak malu?" Tanyanya.
Malia menggeleng. "Aku bangga punya pacar jagoan." Dikecupnya pipi Langit.
Langit kembali terbangun dengan panik. "Mal..!"
Malia kembali tertawa. "Gak ada orang! Papa Mama udah pergi!" Sahutnya.
"Aku berangkat kerja deh. Kasihan Mas Bima."
Malia mengangguk. "Ok, tapi kamu sarapan dulu."
Langit meraih tangan Malia, lalu menatapnya. "Makasih, ya. Udah mau menerima masa laluku," ucapnya.
Malia mengangguk. Keduanya matanya berbinar menatap Langit. "Kalau aku tahu dari dulu kamu adalah si Naga Langit yang hilang itu. Mungkin aku sudah datangin cafe dari tiga tahun yang lalu."
"Kamu gak takut?"
"Takut sama jagoan paling ganteng dan paling terkenal di kota ini?" Malia menggeleng.
Langit lalu tertawa. Ia sangat lega ternyata hal yang ditakutinya selama ini tak terjadi. Ia tak mengira jika ternyata Malia sudah mengenal namanya sejak lama. Hanya saja ia tak mengenali wajahnya.
...
Langit memandang heran cafe yang sangat ramai siang itu. Ada apa ini? Padahal sudah hampir waktunya makan siang. Namun kemudian ia tersadar saat melihat mereka menatap dan menyapanya dengan cara yang berbeda. Ia pun mencoba tersenyum. Mulai saat ini ia harus terbiasa menghadapi perubahan sikap itu. Tapi ia sudah tak perduli lagi. Ia sudah merasa cukup bahagia karena Malia sudah mau menerima masa lalunya yang kelam itu.
Langit baru saja selesai melayani pelanggan terakhirnya saat Bima menepuk bahunya
"Makan dulu. Malia kirimin kita makan siang," ucapnya sambil menenteng sebuah paper bag bertuliskan nama sebuah restoran.
Langit mengangguk, lalu kembali tersenyum saat membayangkan wajah gadis itu. Sejak semalam sikap Malia sangat manis. Dia sama sekali tak merasa takut, atau memandang rendah dirinya. Dan itu sangat berarti baginya. Kini ia percaya Malia benar-benar mencintainya dengan tulus. Dan ia menyesal karena pernah berprasangka buruk padanya.
"Mas Langit. Boleh minta foto bareng, gak?"
Tiba-tiba saja Danar datang menghampiri Langit dengan ponsel di tangannya.
"Memangnya kamu kenal, Nar?" Tanya Bima.
"Kenal, Pak! Waktu saya sekolah sering dengar. Genk Naga Langit itu terkenal sampai ke kampung saya di Jawa," jawab Danar dengan bangga.
"Kamu dengar apa aja?" Tanya Langit.
"Mas Langit kebal sama senjata tajam... Mas Langit bisa melawan dua belas orang sekaligus dengan tangan kosong... Mas Langit juga suka nolongin orang...!"
Langit tak bisa menahan tawa mendengar ucapan Danar. "Kamu dibohongin! Itu bukan saya. Itu John Wick!" Selorohnya.
...
Sore itu Malia datang bersama Mentari yang langsung sibuk berfoto-selfie di teras cafe.
"Makasih, ya!" Ucap Langit.
"Buat apa?" Tanya Malia.
"Mentari."
Malia mengangguk. "Tadi Mentari cerita, ternyata teman-teman dia sudah tahu siapa kamu dari dulu. Makanya mereka sengaja les lukis biar ketemu kamu."
Langit menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mentari itu memang gak bisa menyimpan rahasia," ucapnya.
Malia tersenyum. "Karena dia sangat bangga menjadi adik kamu. Meskipun katanya enggak ada cowok yang berani dekatin dia."
Langit tertawa.
"Dulu aku sering mendengar cerita tentang kamu dari teman-teman sekolahku."
"Apa kamu percaya semua cerita itu?"
Malia terdiam sejenak. "Hmm... ada yang aku percaya sepenuhnya. Cerita tentang kamu menyeret seorang cowok pakai motor ke kantor polisi karena memperkosa orang yang kamu kenal."
Sesaat Langit terdiam, mencoba mengingat kembali kisah itu. "Waktu itu Ibu perempuan itu datang menemuiku, menangis meminta tolong untuk menemukan orang yang sudah memperkosa anaknya. Karena laki - laki pengecut itu melarikan diri. Aku dan teman-teman berhasil menemukannya. Tapi aku gak menyeretnya. Aku mengikatnya di punggungku. Tapi dia lalu terjatuh. Dia bukan luka-luka karena terseret. Tapi karena aku memukulinya." Langit menghela nafasnya. Dipandanginya kembali wajah Malia. Seolah ingin memastikan bahwa ceritanya tidak membuatnya takut atau membencinya.
Tapi Malia malah menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. "Andai saja aku bertemu kamu waktu itu," lirihnya.
Langit mengernyitkan keningnya. "Maksud kamu?"
Malia menggelengkan kepalanya. Buru-buru diusapnya air matanya yang akan jatuh. "Gak apa-apa. Aku kagum sama kamu," imbuhnya lagi.
"Cerita apa lagi yang kamu mau tahu? Sudah semalaman kamu dengerin ceritaku."
Malia tertawa. "Apa kamu benar-benar kebal senjata?"
Kini Langit tertawa. "Pertanyaan kamu sama kayak Danar. Aku gak kebal senjata. Aku hanya pintar mengelak. Aku belajar bela diri sejak usia lima tahun. Kakek yang mengajariku. Kata Ayah, Kakek dulu seorang jawara di kampungnya. Tapi Kakek melarangku berkelahi dengan senjata tajam. Dan Kakek juga yang memberiku nama Nagara Langit. Tapi orang-orang lebih suka memanggilku Naga Langit. Karena aku punya tato naga."
"Kamu yang gambar sendiri naga itu?"
Langit mengangguk. "Waktu aku kecil Kakek sering menceritakan kisah tentang Naga raksasa jelmaan raja yang bijaksana, yang melindungi sebuah gunung agar tidak dirusak oleh orang - orang jahat. Aku suka sekali dengan cerita itu. Aku sering menggambarnya. Membayangkannya jadi naga itu. Dan saat aku masuk SMA, aku meminta orang untuk menggambarnya di punggungku."
"Dan saat itulah Ibumu memukulimu?"
Langit kembali tertawa. "Ibu sangat marah. Sapunya sampai patah dipakai memukuli punggungku."
"Untung Ayahmu gak ikut mukul."
"Karena Ayah takut dengan Kakek. Kalau Ayah memukulku, Kakek akan memukul Ayah. Aku kan, cucu kesayangan." Langit mengerlingkan sebelah matanya.
Malia tergelak. "Sayang Kakek kamu sudah tiada."
Langit menghela nafasnya dengan berat. Mencoba mengingat-ingat kembali masa kecilnya. "Sedari kecil aku selalu menyusahkan orang tuaku. Sejak usia dua belas tahun aku sudah sering berurusan dengan polisi. Aku selalu berkelahi dan sering membuat orang terluka. Entah kenapa mereka selalu saja menantangku berkelahi. Aku lulus SMA di usia dua puluh tahun. Karena aku sering membolos dan selalu membuat masalah dengan sekolah lain. Kata orang aku diluluskan karena aku menculik anak perempuan kepala sekolah. Padahal itu adalah ide anak perempuannya. Dan kami berteman baik. Dia bertengkar dengan Ayahnya lalu mengajakku melarikan diri. Kami menghilang selama satu minggu, bersembunyi di rumah Kakek. Dan setelah kejadian itu akhirnya aku diluluskan. Mungkin dia takut aku akan membawa lari anaknya lagi."
Malia kembali tertawa. "Waktu itu pasti semua anak perempuan di sekolah rela kamu culik."
Langit tersenyum. "Dulu aku memang punya banyak teman perempuan. Mereka sering mengikutiku ke mana saja. Mereka bahkan sering datang ke rumah. Tapi, saat aku mulai kuliah Ibu memintaku untuk berhenti bermain-main dengan mereka. Kata Ibu, kalau aku tidak mau adik perempuanku di sakiti oleh laki-laki. Aku juga tidak boleh menyakiti mereka. Karena Ibu sangat percaya karma."
"Kamu juga percaya?"
Langit mengangguk.
"Itu sebabnya kamu selalu bingung mengambil sikap? Kamu takut menyakiti mereka."
Langit kembali mengangguk. Ditatapnya wajah Malia. Disentuhnya lembut dengan tangannya. "Sulit sekali memahami perempuan. Dan kamu perempuan paling payah yang aku kenal."
Malia mengangkat alisnya.
"Payah memilih cowok!" Sahut Langit lagi.
Malia mengedikkan kedua bahunya. "Aku juga gak ngerti kenapa aku bisa tertarik sama kamu. Mungkin... karena kita memang sama-sama payah?"
Langit tertawa kencang. "Kamu jangan suka cemburuan lagi, ya?" Ucapnya.
Malia mengangguk ragu.
"Maaal...?!" Langit menatap tajam.
"Iya... aku janji!" Sahut Malia dengan terpaksa.