Sudah empat hari Langit bekerja bersama Pak Johan. Tak banyak yang dilakukannya. Pak Johan sudah mempunyai tim yang sangat profesional. Ia benar-benar hanya belajar dan memperhatikan cara kerja mereka saja. Ia seperti mengulang kembali pelajarannya yang hampir terlupa. Mereka juga sangat menghormatinya. Entah karena Malia atau karena takut padanya.
Dan kini Langit tengah menikmati makan siang pertamanya bersama Pak Johan di kantin. Sedari pagi Langit belum bertemu dengan Malia. Ia masih berada di luar kantor bersama Pak Subagja. Sekarang dia sudah tak secerewet dulu. Dia juga tak lagi sering cemburu. Bagaimana mau cemburu, di kantor Pak Johan semua karyawannya laki-laki. Malia sudah menyingkirkan satu-satunya wanita di kantor itu, yaitu sekretaris Pak Johan dan menggantinya dengan seorang asisten laki-laki. Malia memikirkan segalanya.
"Bagaimana Mas Langit? Sudah empat hari, masih betah?" Tanya Pak Johan dengan senyumnya yang hangat.
Langit tersenyum. "Lumayan, Pak," sahutnya.
"Bertahan, ya Mas Langit. Pak Subagja itu orangnya sangat baik," imbuh Pak Johan.
Langit tersenyum. "Pak Johan sudah lama bekerja di sini?" Tanyanya.
"Hmm, saya sudah dua puluh tahun bekerja bersama Pak Bagja. Dulunya saya juga karyawan biasa seperti Mas Langit."
"Wah. Hebat, Pak Johan. Kok, betah, Pak?"
"Saya tidak bisa pindah ke lain hati." Pak Johan tertawa. "Saya banyak berhutang budi kepada beliau. Beliau sudah banyak membantu saya."
"Oh ya? Dibantu apa, Pak?"
"Ya, semuanya. Kebanyakan membantu biaya-biaya. Mulai dari pendidikan anak saya. Berobat istri saya. Bahkan sampai dibantu mencicil rumah."
Langit menatap Pak Johan dengan terkejut. "Baik sekali beliau, Pak?" Ucapnya.
"Beliau memang sangat baik. Tidak hanya dengan saya. Semua karyawan yang membutuhkan pasti akan dibantu oleh perusahaan. Meskipun kadarnya berbeda. Semakin lama masa kerjanya, semakin banyak bantuan yang diberikan."
Kini Langit terdiam. Mulutnya berhenti mengunyah. Tiba-tiba saja ada rasa bersalah di hatinya mendengar ucapan pria itu. Selama ini ia selalu berprasangka buruk dengan pemberian Pak Subagja dan Malia. Tapi ternyata mereka memang orang-orang yang tulus.
"Makanya di sini semua betah, Mas. Biar pun sekarang ada Mbak Malia yang sering marah-marah, tapi mereka tetap bertahan. Karena mereka merasa nyaman bekerja di sini. Tidak ada yang takut terkena PHK. Perusahaan ini sudah sangat mapan."
"Oh, tidak ada yang pernah dipecat. Pak?"
Pak Johan menggeleng. Tapi tiba-tiba ia terbatuk. Diteguknya air mineral dari dalam botol.
"Ya, mungkin hampir ada yang mau dipecat. Tapi kan, tidak jadi..." ujar Pak Johan mencoba menutupi sesuatu. Meski Langit tahu yang dimaksudkannya adalah Eva.
Kini Pak Johan memandang Langit dengan canggung. Mulutnya seperti ingin mengucapkan sesuatu.
"Maaf, ya, Mas Langit. Mungkin ini bukan urusan saya. Tapi... saya berharap Mas Langit bersabar."
"Maksudnya, Pak?"
"Ya... menghadapi Mbak Malia. Dia masih muda. Dan dia sudah banyak melalui masa-masa buruk dalam hidupnya. Jadi mohon dimaklumi kalau sikapnya terkadang suka... ya... Mas Langit paham apa yang saya maksud."
Langit mengangguk. Ditunggunya Pak Johan kembali bercerita, tapi rupanya dia enggan bercerita lebih banyak.
"Maksud Bapak, karena kematian adiknya?" Akhirnya Langit memberanikan diri.
Sesaat Pak Johan menatapnya. Lalu mengangguk. "Tadinya Pak Subagja berharap banyak pada Mario. Tapi sekarang satu-satunya yang diharapkan hanyalah Malia. Kalau seandainya Mas Langit sedang bertengkar dengan Mbak Malia, tolong pikirkan Pak Subagja, Mas. Kasihan dia. Kasihan sekali."
Kini Pak Johan sudah menghabiskan makanan di piringnya, dan bersiap beranjak dari duduknya. "Mas Langit, tidak apa-apa saya tinggal? Saya ada urusan sedikit," tanyanya.
"Oh, gak pa-pa, Pak. Tinggal saja."
Dan Pak Johan pun beranjak pergi meninggalkan Langit.
Sambil menyuap makanannya yang tersisa, Langit tersenyum. Ia merasakan kelegaan dalam hatinya, dan membuatnya percaya diri bahwa ia pantas untuk berada di sini, bersama Malia.
...
Langit terbangun ketika merasakan sebuah tangan meraba punggung telanjangnya. Ia pun membalikkan badan. Didapatinya sebuah wajah tersenyum memandangnya. Ditariknya tubuh pemilik senyum itu dalam dekapannya. "Kamu wangi banget," bisiknya.
"Langit! Lepasin! Kamu berat!" Jerit Malia seraya meronta-ronta, berusaha melepaskan diri.
Tapi Langit tak mau melepasnya. "Siapa suruh ganggu orang tidur," sahutnya dengan mata yang kembali terpejam.
"Heii! Ayo! Ayo! Pacarannya di luar!"
Tapi teriakan Mentari yang berdiri di ambang pintu memaksa Langit melepaskan dekapannya. "Huuh! Ganggu orang pacaran aja!" Gerutunya.
Malia tertawa, lalu mendaratkan sebuah kecupan di pipi Langit. "Katanya perginya mau pagi-pagi?" Ucapnya.
Langit tersenyum. "Sorry. Aku baru tidur jam tiga semalam."
"Kenapa?"
"Mikirin kamu!" Goda Langit.
Dan Malia pun mendaratkan cubitan gemasnya di tangan Langit yang membuatnya menjerit.
"Ayo! Tuan dan Nyonya Langit keluar! Sarapan sudah siap!" Teriak Mentari lagi. Membuat Malia menarik paksa tangan Langit keluar dari dalam kamar.
"Duh, De! Masa tamu di kasih sarapan mie instan?" Keluh Langit sambil menatap tiga mangkuk mie instan dengan telur rebus ceplok diatasnya.
"Justru karena Kak Malia jarang makan mie makanya aku buatin? Ya, kan Kak?" Sahut Mentari sambil memandang Malia yang hanya bisa tertawa.
"Bilang aja kamunya yang malas beli," sahut Langit sambil masuk ke dalam kamar mandi, dan kembali keluar dengan dengan wajah yang sudah segar.
"Sorry, aku gak sempat bikinin sarapan. Kamu suruh aku pagi-pagi ke sini," sesal Malia.
Langit menggeleng. "Gak pa-pa. Hari ini kan, tema pacaran kita 'wisata kuliner ala Langit'," sahutnya.
"Aku ikut, dong, Mas!" Mentari memandang Langit dengan wajah memohon.
"Anak kecil, ganggu aja!" Sahut Langit.
"Huh! Nanti aku juga mau pergi pacaran sendiri!" Sungut Mentari.
"Gak boleh! Bawa ke sini dulu pacar kamu biar Mas lihat!" Langit menatap Mentari dengan mata melotot.
"Uuuh! Biarin aku jomblo sampai tua. Gak ada cowok yang berani deketin aku. Semua takut sama Mas Langit!" Sungut Mentari lagi dengan bibir mencebik.
"Kamu boleh pacaran kalau udah selesai kuliah," sahut Langit lagi dengan wajah serius.
Mentari menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dulu waktu SMA juga Mas Langit pacarnya banyak. Tiap Minggu ganti pacar. Di setiap sekolahan punya pa...!"
Langit membekap mulut Mentari. "Bisa diam, gak?" Ucapnya dengan mata yang kembali melotot.
Dan Malia pun kembali tertawa melihat pertengkaran keduanya.
"Nanti aja, Kak. Kalau aku nginap di rumah Kak Malia, aku ceritain semua!" Bisik Mentari pada Malia.
"Jangan percaya!" Seru Langit. "Lagian, memangnya kamu ingat?" Sergahnya lagi.
"Aku ingat! Mau aku sebutin namanya? Ada Bella, Delia, Ti..." Mentari tak jadi meneruskan kalimatnya saat dilihatnya Langit kembali menatapnya dengan galak. Ia pun lalu terdiam dengan wajah cemberut.
...
"Jadi benar, dulu pacar kamu banyak?" Tanya Malia sambil menyuapkan es campur ke dalam mulutnya.
Langit tersenyum. Diletakkannya mangkuk es campur yang sudah kosong di atas jok motornya. "Hmm... aku gak ingat!" Sahutnya. "Kalau kamu?" Tanyanya kembali.
Malia menggeleng. "Aku cuma pernah pacaran dua kali."
"Oh ya?" Langit menatap Malia tak percaya.
Malia mengangguk. "Aku kan, bukan play boy kayak kamu."
Langit tersenyum malu. "Aku udah gak ingat mereka. Waktu itu pun aku sering lupa namanya."
"Gak ada satu pun yang berkesan?
Langit menggeleng. "Mereka hanya teman dekat. Tidak ada yang spesial. Mereka sering datang ke rumah. Malahan mereka lebih akrab dengan Ibu dan Mentari. Terkadang mereka di rumah sampai seharian. Sampai Ibu harus memaksa pulang karena takut orang tuanya akan mencari."
Malia tertawa. "Memangnya ada yang gak mau pulang?"
Langit kembali mengangguk. "Waktu itu ada yang gak mau pulang sampai satu minggu. Dia gak betah di rumahnya. Terus orang tuanya mencari dia ke rumahku sambil membawa polisi."
"O ya?"
Langit mengangguk. "Ada juga yang tiba-tiba datang sekeluarga memintaku bertanggung jawab karena anaknya hamil. Mereka pikir aku yang berbuat karena dia sering main ke rumah."
"Terus...?" Malia menatap Langit dengan wajah penasaran.
"Ya, aku suruh dia mengaku siapa yang hamilin dia. Ibu sempat syok. Dikira beneran aku yang bikin dia hamil. Sejak saat itu Ibu memintaku untuk menjauhi mereka."
Malia tersenyum. Langit selalu saja punya cerita yang membuatnya semakin mengaguminya.
"Kalau kamu?" Tanya Langit tiba-tiba.
"Aku... gak ada yang menarik dari ceritaku." Malia menjawab dengan enggan.
"Pasti cowok kamu ganteng-ganteng. Kaya, pintar, dari keluarga terpandang seperti kamu. Mereka pasti enggak pernah ngajak kamu naik motor tua kayak gini." Langit menepuk-nepuk Vesva tua kesayangannya itu.
Malia memandang Langit dengan hati yang teriris. Andaikan saja dia tahu yang sebenarnya, mungkin dia tidak akan memandang dirinya sebagai Malia yang sama.
"Sudah habis?" Langit melirik ke dalam mangkuk es yang dipegang Malia.
Malia mengangguk.
"Sekarang mau jajan apa lagi?"
"Aku mau cicipin semuanya!" Sahut Malia dengan wajah sumringah.
Langit lalu menggandeng tangan Malia menyusuri jalan kecil yang penuh sesak oleh pengunjung Pasar Kaget itu.
"Ada bakso enak langganannya Mentari di sini. Kita coba, ya?" ucapnya seraya menarik tangan Malia masuk ke dalam sebuah tenda penjual bakso yang sangat ramai.
"Kamu pasti sering ke sini sama Mentari?" Tanya Malia.
"Udah jarang. Sekarang Mentari lebih suka pergi sama teman-temannya."
Malia tersenyum. "Masa kecil kamu pasti bahagia seperti anak-anak di sana." Malia menunjuk sekelompok anak-anak kecil yang tengah berebutan naik ke sebuah wahana komedi putar.
Langit mengangguk. "Meski hidup sederhana, tapi masa kecilku cukup bahagia," sahutnya. "Kalau kamu?"
Malia hanya menjawab dengan senyuman.
"Mungkin waktu aku lagi bermain komedi putar di pasar kaget kamu juga lagi bermain yang sama di Disneyland."
Kini Malia tertawa. "Aku baru satu kali ke Disneyland. Waktu kecil sekali. Sudah gak ingat rasanya," sahutnya.
Langit menghembuskan nafasnya. "Setiap orang menjalani hidup yang hampir sama. Hanya tempatnya yang berbeda. Aku terbiasa berada di tempat ini karena aku mengenalnya sejak kecil. Tapi buat orang yang belum pernah mengalaminya dia mungkin enggak akan betah."
"Menurut kamu aku enggak akan betah?" Tanya Malia.
Langit menatap ragu. "Kita hidup di dunia yang berbeda," sahutnya.
"Dari mana kamu tahu aku gak akan betah kalau kamu gak pernah mengijinkan aku masuk ke dalam duniamu?"
"Karena terkadang aku juga merasa takut masuk ke dalam duniamu. Aku gak terbiasa. Terkadang aku bingung bagaimana harus bersikap. Aku gak tahu caranya."
Malia kembali tersenyum. "Aku akan mengajari kamu asal kamu gak marah-marah terus," ucapnya.
Dan Langit pun tertawa.