Nasibku Di Tanganmu

1464 Kata
Langit memandangi peralatan lukisnya dengan ragu. Ia sebenarnya masih kesal dengan sikap Malia sejak di acara Gathering itu. Tapi dia terus-terusan menagih janji untuk mengajarinya melukis. Melihat sikapnya yang semakin hari semakin keterlaluan ia takut Malia akan datang tiba-tiba ke rumahnya dan kembali membuat keributan. Dan akhirnya Langit pun memasukkan peralatan lukisnya itu ke dalam sebuah tas besar lalu beranjak pergi. "Aku kirain kamu gak jadi datang," sapa Malia begitu Langit tiba di rumahnya. Ditariknya tangan Langit menuju kamarnya. "Mal, gak bisa di luar aja?" Langit melangkah ragu saat mereka sudah berada di depan pintu kamar Malia. Ia merasa sungkan. Tapi seperti biasanya, Malia tak perduli. Dipaksanya Langit masuk ke dalam kamar pribadinya yang luas dan mewah layaknya kamar suite hotel bintang lima itu. "Di kolam lagi ada temannya Papa Mama." Malia membuka pintu balkon dan menunjukannya pada Langit. Tampak Pak Subagja beserta Istri tengah berbincang bersama dua orang tamu mereka di teras samping kolam renang. Dan ia pun membalas senyum sapa mereka dengan lambaian tangan. "Lukisan dari kamu aku taruh di kamar tidur." Malia menarik tangan Langit ke sebuah ruangan lain yang terletak di balik dinding ruang kerjanya. Dan di sana tampak lukisan itu menggantung di atas tempat tidurnya yang besar. "Aku ingin kamu melukis aku lagi." Malia memeluk punggung Langit dengan manja. Langit berbalik menatap Malia. Ya, Tuhan kenapa dia selalu saja berubah? Keluhnya. "Aku gak perlu belajar melukis. Aku mau kamu melukis aku. Tapi kali enggak pakai air mata," ujarnya lagi. Langit menghembuskan nafas panjangnya. Ia tak bisa berkata-kata lagi. Ia tak punya pilihan lain selain menuruti permintaannya. Dan ia pun lalu mendudukkan Malia di atas sofa dan mengatur posisinya. Ia akan membuat lukisan wajahnya dari samping agar tak perlu menatap kedua matanya. Ia yakin Malia akan terus bertingkah aneh untuk mengganggunya. Dan benar saja, sedari tadi Malia tidak bisa duduk diam. Tubuhnya terus bergerak. "Kenapa kamu lukis aku dari samping?" Protesnya. Ia pun lalu membalikkan tubuhnya kembali dan memandang lurus wajah Langit. Langit meletakkan kuasnya. Diusapnya wajah dengan kedua tangannya. Digantinya kanvas lukis yang sudah tergores warna. Lalu ia mulai melukis kembali. Dan kini Malia menatap Langit tak berkedip. Ia tahu Langit tak akan tahan menatapnya berlama-lama. Tapi ia tak perduli. Karena hanya dengan cara ini ia bisa berlama-lama memandangi wajah tampannya. Dengan bentuk rahangnya yang kuat, bibirnya yang terkatup rapat dan mata kelam nan tajam yang seperti ingin menantang siapa saja yang berani mengganggunya. Dia seperti dilahirkan sebagai seorang jagoan. Tapi siapa pun tak akan menyangka, jika dia mempunyai hati selembut kapas. Dia menghormati wanita seperti dia menghormati Ibunya. Dia menjaga adiknya seperti dia menjaga jiwanya. Dan ia menjaga harga dirinya seperti ia menjaga benda paling berharga dalam hidupnya. Ia tak pernah bertemu dengan seorang laki-laki yang merasa terhina dengan materi yang didapatnya tanpa keringat. Ia ingin mengetahui apa yang tersembunyi di dalam mata kelam itu. Ia tahu, ada sesuatu yang masih disimpannya rapat-rapat. Yang tak ingin dibagikannya kepada siapa pun. Tapi ia yakin suatu saat ia akan mengetahuinya. Langit akan bercerita lagi padanya. Karena ia percaya dia adalah laki-laki yang telah dikirimkan Tuhan untuknya. Dan dia akan terus berjuang sampai ia mendapatkan cintanya. Ia lebih baik mati saja dari pada harus berpisah dengannya. Dan kini laki-laki itu menatapnya dengan matanya yang kelam. Lalu berjalan mendekatinya, membungkuk di hadapannya, dan mengusap air matanya dengan jemarinya. "Jangan menangis lagi," bisiknya. ... Langit menatap Bima dengan terperangah. "Jadi sekarang Malia udah beneran jadi pemilik cafe juga?" Tanyanya. Bima mengangguk. Langit menggeleng-gelengkan kepalanya. Meski ia sudah menyadarinya sejak lama tapi jawaban Bima itu tetap saja membuatnya terkejut. "Kok, lu mau, Mas?" Tanyanya lagi. Bima tertawa. "Dari pada kita diusir, gak boleh sewa lagi? Repot gue! Pelanggan kita udah banyak di sini." Langit lalu terdiam. Dipandanginya kembali Bima yang tengah menyulut rokoknya. "Lu beneran udah ngerokok lagi?" Tanyanya keheranan. Bima menghisap rokoknya lalu dihembuskannya ke udara. "Memangnya cuma lu aja yang pusing sama Malia?" Jawabnya, yang disambut dengan gelak tawa Langit. "Sekarang dia minta gue cari barista lagi." Ucapan Bima membuat Langit hampir saja menumpahkan kopi yang tengah diminumnya. Ditatapnya pria itu dengan mata terbelalak. "Serius?" Tanyanya tak percaya. "Dia gak mau lu jadi barista lagi." "Hah?!" "Katanya lu mau kerja di perusahaannya?" Langit menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi bersamaan dengan hembusan kencang nafasnya. Ternyata Malia belum menyerah. Pintar sekali dia memaksanya untuk menerima tawaran itu dengan cara mengusirnya dari cafe. "Gak tau, Mas. Kuliah gue aja belum selesai," sahutnya. "Loh, katanya empat bulan lagi lu mau lanjutin kuliah? Bareng Mentari?" Langit menggeleng. "Gue jadi gak yakin sekarang." "Jangan menolak rejeki, Lang. Lu kan, bisa kuliah sambil kerja, biar gaji tetap jalan." "Ini terlalu berlebihan buat gue, Mas." "Mungkin buat kita berlebihan. Tapi kalau buat mereka mungkin gak ada artinya. Apalagi, mereka merasa kehutangan budi yang besar sama lu. Hutang nyawa gak bisa dibayar dengan apa pun." Langit tersenyum, disesapnya kembali kopinya. "Kalau memang takdirnya dia belum saatnya mati waktu itu. Pasti ada orang lain juga yang menyelamatkan dia." "Tapi, masalahnya gak ada orang lain selain lu. Lu sama dia emang ditakdirkan untuk ketemu. Mungkin sebenarnya dia yang menyelamatkan lu, Lang. Tuhan mengirim dia buat membantu hidup lu. Pernah gak lu berpikir, beberapa bulan yang lalu lu masih pusing mikirin biaya kuliah Mentari. Lu juga gak pernah ngebayangin bisa lanjutin kuliah lagi. Tapi lihat sekarang? Mungkin itu cara Tuhan menjawab doa-doa lu." Langit kembali terdiam. Dilayangkannya pandangan ke angkasa. Ke langit yang terlihat cerah pagi itu. Kini hatinya mulai bertanya-tanya, rahasia apalagi yang disembunyikan langit di atas sana. ... Langit mengetuk pintu ruangan itu. Seketika semua orang memandang ke arahnya. Terlihat Pak Johan tergopoh-gopoh menghampirinya, dan mengajaknya masuk ke sebuah ruangan lebih kecil. Di sana sudah ada seorang wanita yang sangat dikenalnya tersenyum padanya. "Mas Langit sudah kenal Bu Chyntia, kan? Langganan cafe nya Mas Langit juga," ujar Pak Johan. Langit mengangguk sambil bertanya-tanya dalam hati. Ia tahu Bu Chyntia adalah Manager HRD Bagja Company. "Begini Mas Langit. Pak Subagja meminta saya untuk mengajak Mas Langit membantu saya. Ya, sambil menunggu Mas Langit melanjutkan kuliah. Jadi Mas Langit bisa sambil belajar dulu di sini." Langit menatap Pak Johan dengan bingung. Apa maksudnya? Mengapa mendadak sekali? Bagaimana dengan cafe? Tapi dilihatnya Pak Johan seperti enggan untuk menjawab pertanyaan di wajahnya. Ia yakin Pak Johan pun sama bingungnya dengan dirinya. Tapi ia memang tidak punya pilihan lain. Hidupnya saat ini benar-benar ada di tangan Malia. Bu Chyntia lalu meminta Langit untuk menandatangani surat-surat pengangkatannya sebagai karyawan baru. Langit melakukannya tanpa bertanya sedikit pun. Ia sudah benar-benar pasrah. "Selamat, Mas Langit! Selamat bergabung di Bagja Company. Mas Langit bisa mulai kerja Senin besok di kantor ini sama saya. Nanti saya siapkan mejanya. Soalnya perintahnya itu dadakan, Mas! Baru semalam saya dikabari," ujar Pak Johan dengan ramah. Langit tersenyum. Siapa lagi yang suka punya rencana dadakan selain Malia? Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Setelah mengucap pamit, Langit berjalan ke ruangan lain yang berada di seberangnya. "Hai!" Malia mengangkat wajah dari monitor komputer di depannya. Langit ingin sekali melampiaskan emosinya. Tapi melihat ia memandangnya tanpa rasa bersalah sedikit pun, Langit tahu Malia tidak akan perduli perasaannya. Malia akan tetap menjalankan rencananya. "Sudah ketemu, Pak Johan?" Tanyanya, sambil mengecup pipinya. Ia bahkan tak perduli lagi jika seluruh anak buahnya melihatnya lagi dari dinding kaca ruangannya yang terbuka. Langit mengangguk tanpa senyum. "Sementara kamu di sini dulu." "Maksudnya?" "Kamu belum ada meja kan, di kantor Pak Johan? Jadi kamu sementara di sini dulu sama aku." "Terus aku ngapain?" "Ya, temanin aku aja." "Ya, kalau begitu aku mendingan bantuin Mas Bima, sambil nunggu barista yang baru." Malia menggeleng. "Kamu udah bukan barista lagi." "Tapi kasihan Mas Bima, Mal!" "Kamu selalu mikirin orang lain." Langit terdiam. Percuma ia berdebat, Malia tidak akan mau mengalah. "Kalau kamu udah mulai kuliah, waktu kamu kan, gak cukup buat aku. Jadi sekarang kita akan menghabiskan waktu bersama terus." Malia menyandarkan kepalanya di bahu Langit. "Kita kan, sudah hampir setiap hari ketemu, Mal." "Gak cukup buat aku mengenal kamu." Langit menatap Malia. "Kamu mau tahu apa lagi?" "Yang kamu sembunyikan." "Kamu juga selalu punya rahasia di belakangku. Kamu selalu punya rencana untuk ku, kan?" Sahut Langit. "Aku hanya melakukan apa yang orang lain akan lakukan juga kalau mereka jadi aku." "Tapi kamu berlebihan." "Aku gak berlebihan. Kamu yang selalu menganggapnya begitu." Langit menghela nafasnya. Ia sudah lelah berdebat. "Aku boleh gak tiduran di sini?" Tanyanya. Malia mengangguk dengan senang. Langit lalu menyandarkan punggungnya di sofa, dan mencoba memejamkan mata. Ia memang sangat mengantuk. Tapi bukan itu yang membuatnya ingin terpejam. Ia hanya ingin sejenak menikmati waktu untuk merenungi nasibnya. Perlahan ia merasakan kedua matanya semakin berat. Dan akhirnya ia pun terlelap. Malia menatap wajah Langit dari dekat. Perlahan disentunya wajah laki-laki yang semakin hari semakin membuatnya jatuh cinta itu. Lalu dibaringkannya di atas Sofa, dan ditutupnya tirai kaca. Ia lalu keluar, membiarkan Langit terlelap sendirian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN