Posesif

1288 Kata
Dari kursinya Langit mengamati Mentari dengan curiga. Sudah setengah jam makanan di piring adiknya itu belum habis juga. Sedari tadi dia sibuk berkirim pesan entah kepada siapa. Sesekali dia tersenyum-senyum sendiri. Dan sesekali mencuri pandang ke arahnya. "Sini, Mas liat hape kamu. Dari tadi Mas perhatiin kamu main hape terus sampai gak dimakan makanannya!" Omel Langit. Diulurkannya tangan untuk meminta paksa ponsel Sang Adik. Mentari mengangkat wajahnya dengan terkejut. Lalu dengan reflek menjauhkan ponsel dari Sang Kakak. "Iiih. Apaan sih Mas Lang. Gak boleh! Itu namanya melanggar privasi!" Ucapnya. "O ya? Bukannya kamu yang udah melanggar privasi Mas dari kemarin-kemarin?" Langit menatap Mentari sambil melotot. Mentari memandang Langit sambil mengernyitkan keningnya. Pura-pura tak mengerti. "Gak usah pura-pura, deh! Mas udah tahu kamu jadi mata-matanya Malia. Kamu pasti tadi lagi laporin Mas ke Malia, kan? Dia pasti tanya, makanan pesanan dia udah Mas makan apa belum? Ya, kan?" Tanya Langit lagi dengan gemas. Kentara sekali Mentari menutupi rasa terkejutnya. "Enggaaak, kok! Aku enggak bilang apa-apa!" Sahutnya membela diri. Diletakannya ponsel di samping piringnya, lalu buru-buru menyuap makanannya. Langit mengamati ponsel itu. Keningnya berkerut. Ada yang aneh... kenapa ponsel Mentari kelihatan berbeda? Direbutnya dengan cepat ponsel itu sebelum Mentari menyadarinya. "Ini baru?" Tanyanya terkejut saat menatap ponsel di tangannya. Mentari pun mendadak gelagapan. Uuh! Kenapa Mas Langit bisa tahu? Gerutunya. Padahal ia sudah menutupinya dengan casing yang baru. Ditelannya makanannya yang kini terasa serat. "Aku tukar tambah sama hape yang lama," sahutnya. Tapi Langit tak percaya. Ditatapnya wajah Mentari dengan tajam. Menunggunya berkata jujur. Dan Mentari akhirnya menyerah. Ia memang tidak bisa membohongi Sang Kakak, karena kalau sampai ketahuan berbohong, Langit akan menyita ponselnya. Dan dia pernah melakukan itu sebelumnya. "Iya, itu baru. Hadiah dari Kak Malia," sahutnya sambil tertunduk. Langit mendorong punggungnya ke belakang. Digeleng-gelengkan kepalanya seraya menatap adiknya tak percaya. "Kapan dikasihnya?" Tanyanya lagi. "Seminggu yang lalu!" Langit mencoba mengingatnya. Itu tepat sehari setelah ia mengajak Devia nonton film. Pantas saja sekarang Mentari sudah tidak minta ditemani Devia lagi di rumah. Kini Langit membuka ponsel itu. Dibacanya percakapan dalam aplikasi perpesanan antara Malia dan Mentari. Ia pun kembali menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan kembali menatap adiknya itu dengan gemas. "Kamu sampai kasih tahu ukuran baju dan celana Mas ke Malia, buat apa, De?" Tanyanya sambil terus membacanya. Pantas saja Malia tahu segala hal tentang dirinya. Langit mengusap wajahnya. Lalu meremas rambutnya. Malia keterlaluan sekali. Ternyata selama ini dia hanya berubah di depannya saja. Tapi di belakangnya diam-diam dia menggunakan cara lain untuk mengontrolnya. "Kamu tahu gak, apa artinya ini buat, Mas?" Dengan wajah kesal Langit menunjukan isi percakapan itu pada Mentari. "Itu namanya Kak Malia perhatian! Berarti dia pacar yang baik," sahut Mentari dengan entengnya. Langit memandang adiknya dengan putus asa. Ya, Tuhan! Malia sudah mencuci otak Mas Bima, dan sekarang dia mencuci otak adiknya juga? "Kalau kamu perlu hape baru, kamu bisa minta beliin sama Mas, De. Gaji Mas sekarang udah naik!" "Tapi itu kan, hasil kerjaku juga, Mas," sahut Mentari membela diri. Dan Langit kembali menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia sudah kehabisan kata-kata. "Ok! Cukup kali ini aja. Kalau Mas tahu kamu terima barang-barang mahal lagi dari Malia, Mas akan balikin ke orangnya," ancam Langit. "Aaah! Benar kata Kak Malia. Mas Langit orangnya ribet. Yang enak dibikin gak enak. Yang gampang dibikin susah. Huh!" Mentari merengut. Dilahapnya sampai habis makanannya. "Kamu masih ingat kan, De? Pesan Ayah dan Ibu? Jangan sampai kita punya hutang budi. Susah untuk balasnya." "Mas Langiiiiit. Ini tuh bukan gratisan. Hape ini tuh imbalan dari kerjaku. Kan, Mas Langit juga kerja dapat imbalan? Mas Langit ngajar les lukis juga dapat imbalan. Kak Devia baik sama kita juga kan mengharap imbalan, biar Mas Langit mau jadi pacarnya. Iya, kan? Kalau Kak Malia baik sama kita terus dia minta imbalan yang bisa kita kasih, kenapa enggak? Kan, Mas Langit juga suka sama dia?" Langit mengangkat kedua alisnya. Mulutnya terbuka lebar. Sejak kapan adiknya jadi pintar bicara seperti itu? "Tapi kamu mestinya ngomong dulu sama, Mas!" Geramnya. "Loh! Mana ada kerja jadi mata-mata pakai ngomong dulu? Mas Langit juga suka gak jujur. Dikasih mobil sama Kak Malia bilangnya cuma dipinjamin?" Langit kembali memandang adiknya tak percaya. Ia kembali tak bisa berkata-kata. Ia merasa dikhianati oleh adiknya sendiri. Mentari memang mirip sekali dengan Malia. Selalu menganggap sesuatu bisa diselesaikan dengan materi. Langit melihat jam di ponselnya. Sudah hampir pukul sepuluh malam. Matanya sudah mengantuk. Ia memang berniat akan tidur lebih awal. Dilihatnya Mentari sudah menghabiskan makanannya. Dan sudah kembali merebut ponselnya. Pasti sebentar lagi dia akan membuat laporan pada Malia. Dasar mata-mata! Rutuk Langit seraya beranjak bangun, lalu masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya. ... Kantin mulai ramai saat Langit tiba di sana. Ia duduk sendirian, menunggu makanan datang. Matanya menyapu seluruh area kantin, mencari-cari perempuan yang kemarin duduk makan bersamanya. Ia akan membalas Malia. Ia akan membuatnya kesal. Mulai hari ini ia akan melakukan apa yang tidak disukai Malia. Dan ia juga tak akan lagi menceritakan apa pun pada sekutunya, Mas Bima dan Mentari. Oh, itu dia! Aduh! Siapa namanya? Langit melambaikn tangan pada perempuan itu, mengajaknya untuk makan bersamanya. Namun, perempuan itu malah mengibaskan tangan, menolak menghampirinya. Dicobanya memanggil kembali, tapi dia malah pergi. Membawa bungkusan makanan yang dipesannya. Meninggalkan Langit dengan pertanyaan di kepalanya. Langit kembali memperhatikan orang-orang di dalam kantin. Rasanya ada yang aneh? Ia tahu orang-orang sering membicarakannya, tapi kali ini mereka seperti tak ingin melihatnya. Bahkan mereka enggan untuk sekedar membalas sapa dan senyumnya. Ditatapnya dua kursi kosong di hadapannnya. Ia bertambah heran karena tak ada satu pun orang yang mau duduk satu meja dengannya. Padahal mereka saling berhimpitan di meja lainnya. Langit mengernyitkan kening. Kenapa orang-orang ini? Mereka bahkan berkasak-kusuk dan memandanginya seolah ia telah melakukan sebuah kesalahan besar? Langit memeriksa pakaiannya. Tidak ada yang salah. Ada apa dengan mereka? Tanyanya bertambah bingung. "Mas, Langit!" Sebuah suara mengagetkan Langit. Pak Riswan tersenyum padanya. Di tangannya ada segelas kopi panas. Ia lalu menarik kursi dan duduk di hadapan Langit. "Apa kabar, Pak Riswan! Kok, udah jarang ke cafe lagi?" Sapa Langit. "Ah, gak enak, Mas. Sekarang Mbak Malia kan, sering ke sana," sahut Pak Riswan sambil mengambil sebatang rokok yang disodorkan Langit. "Mas, Langit kok, tumben sering makan di sini lagi?" "Ya. Ganti suasana, Pak," sahut Langit sambil menyalakan rokoknya. "Kejadian kemarin itu benar toh, Mas?" Langit mengernyitkan keningnya. "Kejadian apa, Pak?" "Itu, waktu Mas Langit bertengkar sama Mbak Malia di parkiran?" Pak Riswan mendekatkan wajahnya. Langit tersenyum. "Ooh. Biasa lah, Pak! Udah baikan, kok. Cuma salah paham aja," sahutnya. Sejenak ia terdiam, Jangan-jangan itu yang membuat sikap mereka jadi aneh? "Gara-gara Mbak Eva, ya Mas?" "Siapa?" Langit menoleh dengan terkejut. "Mbak Eva, Mas. Itu loh, cewek yang kemarin makan siang bareng Mas Langit?" Langit kembali terdiam. Jadi namanya Eva? Kini ia semakin kebingungan. "Hmm... kayaknya mereka salah paham. Saya sama Eva cuma ngobrol biasa aja. Saya malah gak sempat tanya namanya," sahutnya. "Tapi Mbak Eva keliatannya suka, tuh? Pakai cubit-cubit Mas Langit segala?" Seloroh Pak Riswan. Kini Langit bertambah bingung. "Kok, Pak Riswan tahu?" Tanyanya. "Loh, kan ada video-nya, Mas. Ada yang merekam. Terus dikirimkan ke Mbak Malia. Mas Langit gak tau, toh?" Pak Riswan menatap Langit dengan terkejut. Langit menggeleng. Ditunggunya Pak Riswan bercerita kembali. "Walah! Habis, Mas! Mbak Eva dimarahi sampai nangis. Sampai mau dipecat!" Sahut Pak Riswan dengan berapi-api. "Ya, mungkin kalau tidak ditenangkan oleh Pak Bagja, Mbak Eva sudah dipecat beneran. Lha, dia kan, anak buahnya Mbak Malia. Anak baru lagi!" Langit menatap Pak Riswan tak percaya. Ia terpaku lama di kursinya. Kini ia mengerti semuanya. Tatapan mereka. Kasak-kusuk mereka. Malia sudah benar-benar melampau batas. Sifat posesifnya sudah membuatnya tak waras. "Saya duluan, ya, Mas. Mau balik ke pos!" Suara Pak Riswan menyadarkan Langit. Ia lalu mengangguk. Dan sesaat kemudian ia pun beranjak pergi dengan hati yang berkecamuk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN