Cinta Memang Begitu

1201 Kata
Bima mengamati Langit sedari tadi. Keningnya berkerut. "Lu kenapa? Dari pagi uring-uringan terus?" Tanyanya. "Gak pa-pa, Mas" jawab Langit tanpa menoleh. Tapi Bima tak percaya. Dipandanginya Langit dari dekat. "Lu berantem lagi sama Malia? Kemarin sore lu tiba-tiba menghilang begitu aja. Ada apa, sih?" Kejarnya. Langit memandang Bima. Lalu menggeleng. "Gak ada apa-apa, Mas! Gak penting!" Elaknya lagi. "Gak penting tapi lu pikiran! Gak biasanya lu kayak gini?" Langit tetap tak menjawab. "Gue ijin ke kantin dulu, Mas. Makan siang!" Pamitnya kemudian. Ia sengaja ingin menghindari Bima yang terus mengejarnya dengan pertanyaan yang malas untuk dijawabnya. Di kantin, Langit menghisap rokoknya. Ia sudah selesai makan sejak tadi. Tapi Mas Bima membuatnya malas untuk cepat-cepat kembali. Kenapa dia sekarang cerewet sekali? Dia selalu saja mau tahu semua urusannya, dan mengawasi semua gerak-geriknya. Dasar mata-mata, gerutunya. Ia merasa kehabisan energi hari ini. Semalaman ia tak bisa tidur. Bahkan ia tak menyantap makan malam yang dikirim Devia. Devia... Langit merenungi nama itu. Apa ini yang dirasakan Malia saat melihat ia bersamanya? Ah! Kenapa ia jadi seperti dia? Tapi ia melihatnya dengan mata kepala sendiri, bagaimana mesranya mereka. Dan pagi ini dia bahkan tak datang ke cafe. Dia pasti sibuk menemani laki-laki itu dari pagi. Atau mungkin dari semalam? Langit menghembuskan asap rokoknya dengan kesal. "Mas Langit... aku boleh duduk di sini, ya?" Seorang perempuan manis menyapa Langit. Ia membawa sepiring gado-gado di tangannya. Langit mengangguk sambil tersenyum. "Tumben, Mas, makan di kantin?" Tanya perempuan itu sambil menarik kursi di hadapan Langit. Langit mematikan rokoknya. "Ah, sering, kok. Kamu kali yang jarang lihat saya? Kalau saya sih, sering lihat kamu," goda Langit. Ia memang jarang sekali makan siang di kantin. Ia lebih sering pesan antar atau membeli online lalu menikmatinya sendirian di teras belakang. Meski sekarang ia tak bisa benar-benar sendirian lagi sejak teras beralih fungsi. Perempuan itu mengernyitkan keningnya. "Masak, sih?" Sahutnya bingung. Dan akhirnya Langit tak bisa lagi menyembunyikan kebohongannya. Ia pun lalu tertawa. "Tuuuh, kan... Mas Langit bohong!" Perempuan itu pun dengan gemas mencubit tangan Langit. Dan pun Langit pura-pura meringis kesakitan sambil mengusap-usap tangannya. Tanpa diketahui Langit, dari kejauhan Malia memandanginya dengan wajah memerah menahan amarah. Dan tak lama kemudian ia berbalik pergi. ... Langit cepat-cepat membereskan pekerjaannya. Ia harus segera pulang. Langit mendung sedari tadi membuatnya khawatir. Ia tak ingin menerobos hujan. Kondisinya sedang tidak fit saat ini. Ia kurang tidur dan makan. Ia tak mau jatuh sakit lagi. Ia ingin secepatnya tiba di rumah dan tidur sampai pagi. Tapi tiba - tiba pintu terbuka. Malia masuk dengan wajah yang masam. "Aku mau bicara!" Ucapnya. Langit menarik nafasnya. Ada apa ini? Kenapa dia selalu saja membuat drama saat ia akan pulang? Namun akhirnya ia mengikuti langkah Malia yang berjalan ke teras cafe. Dan kini Malia menatap Langit tanpa ekspresi. Ia menghela nafasnya dalam-dalam sebelum mulai mengeluarkan kata. "Aku tahu, kamu masih menganggap hubungan kita ini enggak jelas. Tapi tolong hargai aku... kalau kamu mau menggoda perempuan lain, jangan di sini! Dan jangan dengan anak buahku!" Mulut Langit terbuka lebar. Matanya membulat. Apa lagi ini? Dicobanya mengingat-ingat kesalahannya. Ya, Tuhan! Apakah perempuan di kantin itu? Apakah Malia juga berada di sana tadi siang? Langit kembali menghela nafasnya. Ia berusaha untuk tetap tenang. "Aku enggak menggoda dia. Kebetulan dia lagi cari meja untuk makan," sahutnya. "Dari sekian banyak meja kosong dia memilih meja kamu?" Malia menatap Langit tak percaya. "Ya, Tuhan, Malia! Aku gak kenal. Aku bahkan gak tahu namanya! Dan aku sama sekali gak berniat menggodanya. Itu hanya bercanda!" "Tapi kamu menanggapinya, kan?" Langit mengembuskan nafasnya. Ia sudah terlalu lelah untuk bertengkar dengannya lagi. Ia harus segera pergi dari hadapannya. "Aku bukan kamu! Sahutnya kesal seraya mengenakan jaket. "Maksud kamu?" Malia beranjak mengikuti langkah Langit. Tapi Langit tak mau menjawabnya lagi. Dengan cepat ia melangkah keluar meninggalkan Malia. "Maksud kamu apa?" Malia mengejarnya hingga ke tempat parkir. Akhirnya Langit menghentikan langkah. "Aku bukan kamu, yang gampang pindah ke lain hati," ujarnya, lalu naik ke atas motor dan menyalakannya. Malia mengernyitkan kening. Ditariknya tangan Langit turun dari motor. "Apa maksud kamu?" Tanyanya dengan bingung. Langit mendekatkan wajahnya dengan mata melotot. "Bryan itu pacar baru kamu, kan?!" Sahutnya lagi dengan kesal. Dan tiba-tiba saja Malia tiba-tiba tertawa dengan keras. Membuat semua orang yang berada di parkiran sontak menoleh. Langit menutup mulut Malia dengan tangannya. "Jangan berisik!" Omelnya. Malia menarik tangan Langit dari mulutnya. "Jadi itu yang bikin kamu bersikap aneh dari kemarin? Marah-marah gak jelas. Terus menghilang entah ke mana? Sampai gak mau makan? Gak bisa tidur?" Sahutnya sambil terus tertawa. Langit terbelalak menatap Malia. Dari mana dia tahu? Tapi ia lalu teringat. Pasti Mentari. Aaah! Kenapa sekarang dia ikut-ikutan jadi sekutu Malia? Gerutunya dengan kesal. Pantas saja sekarang Malia tahu segala hal kecil tentangnya. "Kamu cemburu sama Bryan?" Malia berusaha menyembunyikan sisa tawanya. Dicubitnya dengan gemas pipi Langit dengan kedua tangannya. "Aku suka kamu cemburu," ucapnya membuat Langit bertambah kesal. "Jadi benar?!" Langit kehilangan kesabarannya. Malia menggeleng. "Dia naksirnya sama kamu!" Langit menatap Malia dengan bingung. "Maksud kamu dia...?" Malia mengangguk seraya berusaha menahan tawa melihat ekspresi terkejut di wajah Langit. "Bryan itu mantannya Kak Leon. Dia baru balik dari Amerika. Dia bawain aku oleh-oleh titipan Kak Leon." Kini Langit menatap Malia dengan mulut yang kembali menganga. Aah, Sialan! Dari semalam dia tak bisa tidur karena memikirkannya, ternyata dia gay? Gerutunya. Pantas saja cara dia memandang dan menjabat tangannya terasa aneh. Langit menggeleng-gelengkan kepalanya. "Maafin aku!" Ucapnya dengan salah tingkah. Malia melipat kedua tangannya di d**a sambil mencebikan bibir. "Padahal kamu gak harus menyiksa diri seharian. Kamu kan, bisa langsung tanya aku? Atau Mas Bima?" Sindirnya. Langit mengangguk. "Iya... Aku..." "Sekarang kamu tahu rasanya cemburu, kan?" Malia kembali menatap Langit. "Itu yang sering aku rasakan," ucapnya. "Sorry..." Ucap Langit dengan malu. "Hmm... aku duluan, ya. Aku harus buru-buru pulang sebelum hujannya deras," ucapnya lagi saat melihat gerimis mulai turun. "Aku antar, ya?" Langit menggeleng. "Gak usah!" Tapi tiba-tiba saja Malia sudah berdiri di depan motornya. Menghadangnya sambil bertolak pinggang. Langit menatap Malia tak percaya. Astaga! Kenapa dia jadi kumat lagi? Gerutunya. Sambil menahan kesal akhirnya Langit mematikan mesin motor lalu mengikuti Malia dengan pasrah. Ia tak punya energi lagi untuk berdebat dengannya. Dan kini Langit sudah berada di belakang kemudi. Menatap putus asa deretan kendaraan di depannya yang tak bergerak. "Sampai di rumah kamu harus langsung makan. Aku sudah pesankan makan malam buat kamu dan Mentari. Habis itu langsung tidur," ujar Malia sambil menutup ponselnya. Langit memandang Malia sambil mengernyitkan keningnya. Kenapa dia semakin semena-mena mengatur hidupnya? "Kamu mau sakit lagi?" Tanya Malia saat melihat keberatan di wajah Langit. Dan Langit pun hanya bisa kembali pasrah. Ia sudah membiarkan Malia kembali masuk dalam hidupnya. Dan itu artinya ia harus menerima segala konsekuensinya. Entah kenapa semakin keras ia berusaha untuk menjauh darinya, mereka malah semakin dekat. Padahal saat bersama pun mereka lebih banyak bertengkar. Terkadang ia merasa Tuhan sengaja menakdirkan Malia sebagai ujian dalam hidupnya. Mungkin Tuhan menganggap hidupnya terlalu membosankan. Karena ia tak pernah sepusing ini berhadapan dengan seseorang seperti Malia. Bahkan lebih mudah baginya menghadapi musuh-musuh gank-nya dulu ketimbang menghadapinya. Tapi sekarang ia sudah lelah untuk terus menghindar. Ia akan berusaha saja untuk bersabar menghadapinya. Bukankah ia sendiri yang telah memilih takdirnya saat ia menyelamatkannya di malam itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN