Karena Aku Mencintaimu

1002 Kata
Malia terpaku menatap Langit yang terduduk di ruangannya. Pakaiannya masih seperti yang dikenakannya kemarin sore. Wajahnya pucat, rambutnya kusut, dan kedua matanya tampak sangat lelah. Ia seperti tak tidur berhari-hari. "Kamu di sini semalaman?" Tanyanya. Langit mengangguk. "Kenapa?" "Di rumah pun aku gak bisa tidur." Suara Langit terdengar hampir tak bertenaga. Malia menghela nafasnya. Disentuhnya wajah Langit yang dingin. "Apa kamu harus selalu begini kalau kita bertengkar?" "Kita sudah berjanji enggak akan ada pertengkaran lagi." Malia terdiam. "Aku enggak mau bertengkar denganmu lagi. Aku capek." Mata Langit kini berair. "Kamu mau aku bagaimana?" "Percaya aku. Aku ... mencintaimu." Langit menatap Malia dengan sorot mata putus asa. Malia tak bisa menahan air matanya yang tiba-tiba saja keluar. Ia pun lalu memeluk Langit. Ia sudah menunggu lama kata-kata itu keluar dari mulutnya. Kata-kata tulus yang benar-benar keluar dari dalam hatinya. Bukan karena terpaksa atau karena hanya ingin menyenangkannya. "Jangan marah lagi, ya?" lirih Langit. "Aku udah gak marah," sahut Malia seraya tersenyum. Dikecupnya pipi Langit. "Aku juga lelah bertengkar dengan kamu," ucapnya. "Janji enggak akan ada drama lagi?" Malia mengangguk. "No more drama!" Sahutnya sambil mengangkat telapak tangannya. Langit tersenyum lega. Sejak kemarin sore Malia telah membuatnya hilang akal. Ia tiba-tiba saja tak bisa dihubungi. Dan tak mau ditemui. Dan semalaman ia mencoba berpikir apa yang salah dengan dirinya. Tapi ia tak berhasil menemukannya. Hingga kemudian ia tersadar sikap Malia adalah cerminan perasaannya. Dia selalu cemburu karena ia merasa tak yakin dengannya. Ia merasa tak cukup dicintai. "Kamu tidur dulu, ya? Kamu kan, belum tidur?" Malia beranjak dari duduknya. Tapi tangan Langit menahannya. Dan ia pun kembali duduk dan membiarkan kepala Langit berbaring di pangkuannya. Malia menatap wajah Langit yang terpejam, lalu membelai rambutnya. Wajah yang begitu galak dan tak kenal takut itu kini tertidur seperti bayi yang lelah menangis. Tangan yang pernah membuat darah orang mengalir itu kini menggenggamnya dengan lembut. Mana mungkin ia rela membiarkannya direbut oleh perempuan yang dulu pernah menyia-nyiakannya, dan meninggalkannya saat dia terpuruk. Tidak, ia tidak marah padanya. Ia hanya takut Langit akan meninggalkannya, dan membuat ia kembali ke masa kelam itu. ... Malia tersenyum lebar melihat Langit yang kini tampak segar dengan rambutnya yang setengah basah, wajahnya yang lembab dan pakaian yang sudah berganti. Langit mengamati dirinya dalam pantulan kaca. "Kapan kamu belinya? Kok, aku gak tahu?" Dirapikannya setelan pakaian baru yang diberikan Malia. "Tadi siang, waktu kamu tidur." "Mestinya kamu bangunin aku. Aku kan, bisa antar," sesal Langit. "Kamu udah gak tidur dua hari. Nanti kalau pingsan di mall gimana?" Seloroh Malia. Langit tersenyum. "Makasih, ya. Aku belum pernah beliin apa-apa buat kamu." "Kamu kan, udah ngajak aku wisata kuliner seharian." "Ahh! Tapi itu kan biaya dokternya lebih mahal." Malia tertawa. "Asal kamu bikin aku tertawa terus itu sudah cukup." Langit kini berbalik memandang Malia dengan ragu. "Apa kamu sudah benar-benar melupakan masalah..." "Sandra?" Langit mengangguk. "Tenang saja, dia enggak akan mengganggu kamu lagi." Langit mengernyitkan keningnya. "Maksudnya?" Malia tak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis. "Kamu enggak usah pikirin dia lagi." Langit masih memandang Malia tak mengerti. "Maksud kamu apa, Mal?" Tanyanya curiga. Malia menggeleng. "Maksudku, kita gak perlu bahas dia lagi, ok?" Akhirnya Langit kembali mengangguk. Ditepisnya rasa curiga yang sempat menyelinap di benaknya. "Ok! Aku udah siap. Kita ke rumah sekarang?" Ucapnya. "Dinner-nya bukan di rumah. Mereka menunggu kita di hotel." Langit mengeleng-gelengkan kepalanya. Kenapa untuk yang satu ini dia tidak pernah berubah? Gerutunya. Dan kini Langit sudah berhadapan dengan Pak Subagja dan Sang Istri yang ternyata sudah menunggu mereka sejak tadi. Ia pun menyalami keduanya seraya meminta maaf atas keterlambatannya. "Tidak apa. Kalau masih pacaran memang begitu. Sering bertengkarnya. Apalagi Malia orangnya cemburuan," ucap Pak Subagja seraya melirik Malia yang duduk di hadapannya. Malia memandang Sang Papa dengan malu. "Makanya, diseriuskan saja..." Suara Bu Subagja membuat Langit terkejut. "Kalau kamu memang serius sama Malia. Ya, paling tidak tunangan dulu biar Malia tenang," timpal Pak Subagja. Malia memandang kedua orang tuanya dengan salah tingkah. "Paaah! Kita baru saja..." "Saya terserah Malia saja, Pak. Saya siap kapan saja," Sahut Langit tiba-tiba. Pak Subagja dan Sang istri tak bisa menyembunyikan rasa gembiranya. Kebahagiaan tampak memancar dari wajah keduanya. Sementara Malia tertegun menatap Langit. Ia seolah tak percaya. "Kamu serius?" Lirihnya. Langit mengangguk. "Kamu percaya sama aku, kan?" Ucapnya. Malia mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Ia tak percaya akhirnya takdir akan menyatukan mereka lebih cepat dari yang dibayangkannya. Segala tangis, sakit, dan lelahnya sebentar lagi akan terbayar Dan Langit memandang Malia dengan perasaan yang lega. Hatinya terasa begitu ringan, seperti ada yang mengambil sebongkah batu besar dari atas punggungnya. Ah, rasanya aneh. Beberapa hari yang lalu ia bahkan masih bimbang dengan hubungan mereka, tapi tiba-tiba saja hari ini ia merasa begitu yakin. Semua terasa mengalir begitu saja. Dan semuanya kini terasa masuk akal baginya. Pertemuan mereka yang tak terduga, drama-drama yang menguji kesabaran dan kedewasaannya. Orang-orang yang tak pernah terpikirkan akan menjadi bagian penting dalam hidupnya, kini nyata di depan mata. Ia tak menyangka semua yang terjadi begitu cepat dalam hidupnya ternyata mengantarkannya pada satu takdir, Malia. .... Bima menatap Langit dengan sungguh-sungguh. "Lu serius?" Tanyanya. "Tuh, gue serius lu gak percaya," sahut Langit. Bima tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Gue cuma gak nyangka aja lu bakal secepat ini ngambil keputusan." "Kata lu gue harus jalanin apa kata hati gue?" Bima tersenyum. "Ok, gue tersanjung lu minta gue ngelamarin Malia. Hari Minggu depan, kan?" Langit mengangguk. "Terus urusan Sandra udah benar-benar beres?" Langit kembali mengangguk. "Malia udah percaya sama gue. Ya, paling gue minta tolong aja, Mas, kalau dia ke sini lagi, lu bilang aja gue gak bisa temuin dia." "Nanti gue akan bilang kalau lu udah mau tunangan," sahut Bima seraya terus memandangi Langit dengan sorot mata tak percaya. "Gue gak nyangka hidup lu bakal berubah sedrastis ini. Jadi calon menantu Prawira Subagja. Nasib lu memang bener-bener bagus," ucapnya. Ditepuk-tepuknya bahu Langit dengan bangga. "Bagus juga buat bisnis lu, kan?" Seloroh Langit, membuat Bima kembali tertawa. Dan Langit kembali tersenyum. Ah, ternyata benar yang dikatakan Mas Bima, jika sebenarnya Malia-lah yang telah dikirimkan Tuhan untuk menyelamatkan hidupnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN