Gedung Biru
Sandra mengetuk pintu ruangan itu perlahan. Dan saat terdengar sahutan dari dalam, ia pun melangkah masuk. "Ibu panggil saya?" Ucapnya kepada seorang wanita berkaca mata yang tengah menatapi layar komputer di mejanya.
Wanita itu lalu mengangguk dan memberi isyarat kepada Sandra untuk duduk di hadapannya.
Dan Sandra pun duduk dengan jantung berdebar. Bu Widya adalah pimpinan tertinggi di perusahaannya. Dia tidak akan memanggil karyawan biasa seperti dirinya kecuali untuk hal yang sangat penting. Sandra menghela nafas perlahan, mencoba menenangkan hati. Ditunggunya wanita itu mengucap kata.
Bu Widya melepas kaca matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursinya yang tinggi. Dipandanginya Sandra dengan wajah yang tenang. "Semalam saya mendapat telepon dari Pak Subagja... Kamu pasti kenal, kan?"
Jantung Sandra terasa copot mendengarnya. Wajahnya tiba-tiba saja terasa kaku, dan lidahnya terasa kelu. Sekuat tenaga ia berusaha untuk mengangguk.
"Pak Subagja itu teman baik saya. Dan partner bisnis yang paling banyak memberikan kita proyek. Dan, biasanya kalau dia menelepon, hanya ada dua kemungkinan. Kabar baik atau kabar buruk. Dan... semalam saya mendapatkan kabar yang buruk."
Sandra merasa tubuhnya lemas seketika. Ia tertunduk dalam. Ia sudah tahu apa yang akan diucapkan wanita itu selanjutnya.
"Kamu pasti sudah bisa menebak apa yang akan saya katakan..."
Sandra tak berani menjawab. Ia bahkan tak berani memandang wanita itu.
"Saya tahu saya tidak berhak ikut campur urusan pribadi kamu. Tapi karena ini menyangkut nama baik perusahaan, saya harap kamu bisa mengerti." Kini Bu Widya mendekatkan wajahnya, memaksa Sandra untuk kembali memandangnya.
"Maaf, Bu... tapi saya tidak bermaksud mencemarkan nama baik perusahaan."
Wanita itu lalu tersenyum. "Saya tahu. Tapi terkadang dalam dunia bisnis itu benar dan salah dinilai berdasarkan kepentingan. Dan, perusahaan kita menganggap Bagja Company itu sangat penting. Jadi, apa pun yang mereka katakan itu menjadi penting. Lebih penting dari urusan pribadi kamu."
Kata-kata yang diucapkan wanita itu mengguncang batin Sandra. Ia pun hanya bisa mengangguk. "Saya mengerti, Bu, ucapnya."
"Beliau meminta kamu untuk tidak lagi mendekati kekasih anaknya. Mereka akan segera bertunangan."
Kini Sandra menatap Bu Widya dengan terkejut. Tunangan? Jadi mereka akan bertunangan?
"Dan kalau kamu masih melakukannya, kamu tahu konsekuensi yang akan kamu terima dari perusahaan ini, kan?" Bu Widya menatap Sandra dengan sungguh-sungguh.
Dan Sandra kembali mengangguk."Iya, Bu. Saya mengerti," ucapnya.
"Ok, karena kamu sudah mengerti, sekarang kamu boleh kembali ke ruanganmu," ucap Bu Widya seraya kembali mengenakan kaca matanya dan menatap layar komputer di hadapannya.
Dan Sandra pun mengucap pamit sambil tertunduk malu, lalu keluar dari ruangan itu dengan wajah penuh amarah. Matanya berkaca-kaca dan bibirnya bergetar. Ia tak pernah merasa semalu ini seumur hidupnya. Ia bukan pelakor. Ia bahkan tak melakukan apa pun kecuali bicara. Tapi dia dianggap mencemarkan nama baik perusahaan? Keterlaluan sekali perempuan manja itu memfitnah dirinya. Apakah Langit tahu tentang ini? Ia yakin Langit tak mengetahuinya. Karena kalau sampai dia tahu, dia akan marah besar. Karena biar bagaimana pun mereka pernah punya hubungan spesial. Langit pernah mencintainya. Dan ia yakin Langit masih mencintainya. Karena Langit tidak mungkin mencintai perempuan manja penuh drama itu. Dia bukanlah tipenya.
Kini dibukanya ponsel, lalu ditekannya sebuah nomor. Namun sesat kemudian ia menutupnya kembali. Dia bahkan sudah memblokir nomornya? Sandra menghela nafasnya dengan berat, lalu berjalan ke jendela kaca ruang kerjanya. Dipandanginya gedung bertuliskan 'Bagja Tower' yang menjulang tinggi di hadapannya. Air matanya lalu menetes.
...
Langit menatapi lukisan yang baru saja dipasangnya di dinding sambil tersenyum. Dirabanya perlahan bekas sobekan yang sudah ia perbaiki. Setelah sekian lama lukisan itu hanya menjadi tempat curhatnya, akhirnya kini ia berani meletakkannya di tempat semestinya.
"Akhirnya... dipasang juga!"
Tiba-tiba saja Mentari sudah berada di sampingnya. Memandangi lukisan keluarga mereka dengan sumringah. Dia memang sudah memintanya sejak lama untuk memasang lukisan itu di ruang tamu. Katanya biar sama seperti rumah teman-temannya yang memasang foto keluarga mereka. Dan biar dia juga bisa merasakan kehadiran Ayah dan Ibu seperti dulu. Alasan yang justru membuatnya tak kuasa menuruti permintaannya.
"Udah sama kan, kayak rumah teman-teman kamu?" Ucap Langit.
Mentari mengangguk seraya tersenyum gembira. "Lagian... Mas Lang pasang lukisan aja nunggu mau tunangan dulu," sungutnya, membuat Langit tak bisa menahan tawa. Diacak-acaknya rambut Sang Adik.
"Besok kamu sama Malia jadi belanja untuk seserahan?" Tanya Langit.
"Jadi doong! Mas Lang gak usah nyusul juga enggak apa-apa. Ke bengkel aja biar lama. Kata Kak Malia dia mau belanja banyak," ucap Mentari dengan antusias.
Langit menggeleng-gelengkan kepalanya seraya tersenyum. Sejak ia memberitahu Mentari tentang niatnya untuk melamar Malia, dia sangat bahagia. Bahkan mereka berdua semakin akrab layaknya kakak adik. Sampai-sampai Malia memintanya untuk menemaninya mempersiapkan acara lamaran mereka.
"Mas, kalau udah tunangan, terus nikahnya kapan?" Kini Mentari bergelayut manja di bahu Langit.
"Ya, kalau Mas sudah selesai kuliah."
"Kata Kak Malia, kalau sudah menikah nanti Mas Langit akan pindah ke apartemennya?"
Langit menatap Sang Adik. "Dia bilang begitu?" tanyanya terkejut.
Mentari mengangguk.
Dan Langit pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Sekarang ia harus bersiap seluruh hidupnya diatur oleh Malia. Dasar bossy, gerutunya.
"Mas, aku boleh gak nanti ikut tinggal bareng Mas Lang dan Kak Malia?"
Pertanyaan Mentari membuat Langit tertegun. Kenapa dia harus bertanya? Tentu saja ia akan membawanya ke mana pun ia pergi. Ia tak akan membiarkan Mentari hidup sendirian sampai dia mempunyai pendamping nanti. "Ya, pastilah! Kalau nanti ditinggal kamu bisa enak-enakan bawa teman ke rumah. Dan bisa-bisa setiap hari kamu jalan-jalan seharian!" Sahut Langit.
Mentari memandang Langit dengan bibir mencebik.
"Kalau udah mulai kuliah nanti, kamu harus berhemat karena Mas udah enggak kerja lagi."
"Tapi kata Kak Malia, Mas Langit udah jadi karyawan Bagja Company?"
"Iya, tapi kalau nanti mulai kuliah, Mas berhenti kerja dulu. Dan hidup kita benar-benar cuma mengandalkan tabungan."
Ia memang memutuskan untuk berhenti sementara dari Bagja Company saat mulai kuliah nanti. Karena ia malu mendapatkan gaji dari perusahaan itu sementara ia belum berkontribusi apa-apa. Ia tidak ingin dianggap memanfaatkan hubungannya dengan Malia. Ia akan kembali bekerja setelah mendapatkan gelar sarjananya.
Langit kembali memandangi lukisan itu. Sudah tak ada lagi kepedihan yang menyesakkan dadanya. Rasa itu tiba-tiba saja menghilang. Kini ia ingin kedua orang tuanya tersenyum bangga melihat ia dan Mentari bisa melanjutkan hidup dengan bahagia. Dan sebentar lagi ia juga akan membuat mereka bangga dengan gelar sarjana seperti impian mereka. Langit menghapus air matanya yang tiba-tiba saja menetes.