Intervensi Malia

1102 Kata
Langit membuka pesan yang masuk ke ponselnya dengan kening berkerut. Sebuah foto selfie Malia tengah memegang sekotak makanan dengan sebuah kalimat, "Kita sarapan bareng ya, sebelum cafe buka. Otw..." Langit merasakan kepalanya mendadak pusing. Bagaimana bisa sepagi ini dia sudah mengganggunya? Keluhnya. Diliriknya jam di tangannya. Lalu dipandanginya semangkuk bubur ayam yang sudah disiapkan Mentari di atas meja makan. Langit menghela nafas panjang. Ditutupnya kembali bubur itu dengan penutup makanan lalu keluar meninggalkan rumah. Melajukan motornya ke jalan raya di pagi yang masih dingin itu. "Hai...!" Malia tiba-tiba muncul dari dalam mobilnya yang terparkir ketika Langit baru saja keluar dari halaman parkir. "Kamu dari tadi di sini?" Tanya Langit yang dijawab Malia dengan anggukan. Langit menggelengkan kepala. Ia sudah menduga Malia pasti sudah menunggunya sejak ia masih berada di rumah. "Yuk, kita langsung ke cafe!" Ia pun buru-buru menarik tangan Malia masuk ke dalam elevator. Ia tak ingin orang-orang melihat mereka berduan lalu dijadikan bulan-bulanan gosip warga gedung itu. Apalagi ia sudah melihat beberapa orang yang mulai kusuk-kasuk saat mereka berpapasan dengannya. "Kamu pagi-pagi ke sini cuma mau sarapan bareng aku?" Tanya Langit sesampainya di cafe. Malia kembali mengangguk. Dikeluarkannya sebuah kotak makanan dari dalam kantong yang dibawanya. "Aku bikinin kamu banana chocolate pancake," ucapnya dengan bangga. Langit akhirnya tersenyum. "Thank you! Kamu repot banget bikinin ini buat aku?" ucapnya sambil duduk di hadapan Malia. Malia menggeleng. "Gak repot. Aku memang senang bikin kue." Langit memasukan kue itu ke dalam mulutnya. "Hm! Kok, enak?" Pujinya. "Kamu suka?" Malia tak bisa menyembunyikan wajah sumringahnya. Langit mengangguk. Ia tidak berbohong. Kue itu memang benar-benar enak. Apalagi Malia sengaja membuatkan untuknya. Ia merasa tersanjung. Rasa kesalnya bahkan langsung meleleh seperti cokelat lumer dalam kue yang di makannya. "Nanti aku bikinin lagi buat kamu," sahut Malia kegirangan. Sejenak Langit berhenti mengunyah. Duh, kenapa jadi salah bicara? Bisa-bisa Malia datang setiap pagi untuk sarapan bersamanya. "Kenapa?" Malia menatap Langit dengan curiga. Seketika Langit pun tersadar. "Oh! Enggak apa-apa. Aku cuma ngerasa enggak enak bikin kamu repot," dustanya. "Aku kan, udah bilang enggak merepotkan sama sekali. Aku memang suka bikin kue." Sebuah pesan masuk terdengar dari ponsel cafe. Bergegas Langit berlari ke konter untuk membukanya. Berharap pesanan kopi yang datang. Dan benar saja. Pesanan dua belas kopi dan roti untuk meeting pukul sembilan. Langit melirik jam tangannya. Setengah jam lagi ia harus membuka cafe. Ia pun mulai menyalakan mesin kopi dan menyiapkan meja konter. "Sorry, Mal. Aku enggak bisa temani kamu lama-lama. Sebentar lagi cafe buka, dan aku juga harus siapin pesanan delivery kopi orang-orang kantor. Jadi, kamu sarapan sendiri dulu, ya?" Ucapnya. "Kamu sendiri yang mengantar kopi-kopi itu?" Malia memandang Langit dengan wajah tak suka. Langit mengangguk. "Kenapa mesti dianterin? Kan, biasanya juga mereka beli langsung di sini?" Sungut Malia lagi. "Ini servis tambahan aja. Karena aku mesti bantuin Mas Bima ngejar omzet. Tiga bulan lagi kan, harus bayar sewa cafe. Dan uangnya masih kurang." Malia menghentikan suapannya. Dilipatnya kedua tangannya di depan d**a. "Kalau sudah bayar sewa kamu gak perlu lagi kan, ngantar-ngantar kopi ke mereka?" Langit menggeleng. "Ya, mungkin enggak," jawabnya dengan ragu. Bukannya ia tak yakin dengan jawabannya. Tapi ia hanya ingin tahu apa yang akan dilakukan Malia. Dan Malia pun beranjak dari duduknya lalu masuk ke dalam konter. Dibukanya ponsel cafe. Seketika wajahnya memerah. "Kamu merayu mereka beneran apa demi omzet?" Terdengar nada cemburu dalam suaranya. Langit menghentikan pekerjaannya. Dipandangnya Malia tanpa kata. Ia tahu lambat laun Malia akan mengetahuinya, tapi ia tak menyangka akan reaksinya yang sangat berlebihan seperti ini. "Demi uang sewa, Malia... Semua itu cuma marketing!" Kini Langit menjadi bingung. Kenapa ia harus merasa bersalah? "Aku pulang!" Tiba-tiba saja Malia berbalik, membanting pintu lalu keluar begitu saja. Dan Langit pun terpaku manatap punggung Malia yang menghilang. Ya, Tuhan! Miss Drama Queen ini benar-benar menguji kesabarannya. "Pagi!" Langit menoleh. Dilihatnya Mas Bima datang tergopoh-gopoh. "Ada orderan lagi?" Tanyanya. Langit mengangguk. "Baru mau dianterin," sahutnya sambil menyiapkan kopi yang akan diantarnya. "Sama ada yang pesan roti juga nih," imbuhnya lagi. "Oh ya? Rayuan Dewa Langit memang dahsyat!" Puji Bima membuat Langit tergelak. Pagi itu tak disangka cafe dibanjiri oleh pengunjung yang datang tanpa henti. Langit dan Bima bahkan tak sempat meluruskan kakinya barang sejenak sejak pagi. Dan baru menjelang makan siang mereka akhirnya bisa beristirahat. "Kalau begini terus sebulan juga bisa ketutup kekurangan sewa cafe," ucap Bima dengan wajah sumringah. "Gue yakin, bisa Mas!" Sahut Langit sambil memberikan secangkir espresso kepada Bima. Sedari pagi mereka bahkan belum sempat menikmati secangkir kopi. "Lu, gak janjian makan lagi sama Malia?" Bima menyeruput kopinya dan meluruskan kakinya di bawah meja. "Tadi pagi sebelum cafe buka dia datang. Ngajak sarapan bareng di sini," sahut Langit dengan malas. Bima mengangkat kedua alis tebalnya. "Pagi-pagi?" Tanyanya keheranan. Langit mengangguk. "Gue masih di rumah dia udah nungguin," sungutnya. Bima tersenyum. "Sabaaar!" Ucapnya sambil mengangkat ponselnya yang tiba-tiba berdering. Sesaat ia terdiam mendengarkan suara si penelepon. Lalu masuk ke dalam ruang kerjanya dan menutup pintu. Namun, tak berapa lama kemudian, Bima kembali keluar dengan wajah kebingungan. "Kenapa Mas?" Tanya Langit. Bima duduk kembali di hadapan Langit lalu menatapnya. "Lu cerita sama Pak Subagja kalau kita lagi kekurangan dana buat bayar sewa cafe?" Tanyanya. Langit menggeleng. "Tadi yang telepon itu Pak Bagja?" Tanyanya kembali. Bima mengangguk. "Dia ngasih kita gratis biaya sewa selama setahun." Langit hampir saja menumpahkan kopi dalam cangkir yang di pegangnya. Mulut dan matanya terbuka lebar. "Kok, bisa?" Tanyanya tak percaya. "Dengan syarat!" Kali ini Bima menatap Langit dengan ragu. "Lu gak boleh lagi aktif di sosmed Dewa Cafe, nganterin kopi ke kantor-kantor, dan... merayu cewek-cewek kantor!" Langit terbengong di tempatnya. Lalu menggeleng-gelengkan kepala. "Malia!" Sahutnya. "Tadi dia marah begitu lihat pesan-pesan di ponsel cafe. Dia tanya kenapa gue harus nganterin kopi ke mereka. Ya, gue bilang alasannya." Bima menghela nafasnya. "Gue sih, belum bilang iya ke Pak Bagja. Terserah lu, mau apa enggak. Karena bayar sewa itu kan, urusan gue. Dan gue enggak berhak ikut campur urusan lu sama Malia." "Terima aja, Mas!" Sahut Langit. "Lu serius?" Bima menatap Langit sungguh-sungguh. Langit mengangguk. "Gini deh. Gue terima tawaran Pak Bagja. Tapi gue enggak akan pakai uang yang sudah terkumpul. Lu nanti bisa pakai itu buat bayar kuliah Mentari." "Gak perlu, Mas," sahut Langit. "Kalau lu gak mau, gue gak jadi terima tawarannya." Dengan perasaan tak enak, akhirnya Langit pun mengangguk. Paling tidak sekarang ia sudah lega. Mas Bima sudah tidak perlu pusing lagi memikirkan biaya sewa. Dan Mentari bisa langsung kuliah tanpa harus bekerja dulu. Tapi kini Langit membayangkan hari-hari suram yang akan dilaluinya bersama Malia. Ia merasa seperti telah menggadaikan dirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN