Mentari memandangi mobil yang terparkir di depan rumah dengan kening berkerut. "Kenapa Kak Malia pinjamin mobilnya ke Mas?" Tanyanya.
Langit mengedikkan bahunya. Pura-pura tak mengerti. Ia memang terpaksa harus berbohong karena takut Mentari akan salah sangka lagi seperti dulu. Biarlah nanti saatnya tiba ia akan menceritakan yang sebenarnya.
"Mas yakin mau titip di rumah Kak Via?" Tanya Mentari lagi.
"Di mana lagi? Cuma rumah dia yang halamannya luas terus paling dekat sama rumah kita."
"Kalau Kak Malia tahu?"
"Ya, jangan sampai tahu. Mas kan, titipnya kalau malam aja. Kalau nanti dia ke sini Mas taruh lagi di depan rumah."
Mentari menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Diamatinya kembali mobil berwarna Army dengan lambang bertuliskan 'mini' itu. "Mobil mewah begini perawatannya juga pasti mahal ya, Mas?" Tanyanya.
Langit mengangguk. "Bahan bakarnya juga mahal," sahutnya.
"Terus kenapa Mas mau dipinjamin?"
"Kamu kan, tahu Malia kayak gimana orangnya?" Sahut Langit lagi.
Mentari menghela nafasnya. "Orang kaya itu memang suka aneh," gumamnya seraya masuk ke dalam rumah. "Berarti mulai besok Mas Lang berangkat kerja pakai mobil itu?" Tanyanya.
Langit mengangguk. "Besok bangunin Mas lebih pagi, ya?"
"Berarti kita bisa bareng dong, berangkatnya? Mas bisa anterin aku dulu ke sekolah!" Seru Mentari kegirangan.
Langit kembali mengangguk, lalu ikut tersenyum melihat kegembiraan di wajah Sang Adik. Ya, paling tidak mobil itu bisa membuat Mentari bahagia.
...
Pak Riswan tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya melihat Langit keluar dari dalam mobil. "Pagi, Mas Langit!" Sapanya.
"Pagi, Pak!" Sahut Langit seraya berjalan dengan cepat keluar dari area parkir. Ia tidak ingin orang-orang ikut melihatnya juga. Meski ia juga tahu lambat laun mereka akan mengetahuinya.
"Baru, nih Mas?" Tanya Pak Riswan sambil melirik ke arah mobil. Langit tersenyum. Ia mengerti rasa penasaran Pak Riswan, karena dia tahu pasti pemilik mobil yang sebenarnya.
"Motor saya rusak, Pak. Jadi dipinjamin sama Malia," sahut Langit.
"Ooh! Baik sekali Mbak Malia..." suara Pak Riswan terdengar masih penasaran. Diikutinya langkah Langit yang masuk ke dalam elevator.
"Pak Riswan baru selesai tugas malam?" Langit mencoba mengalihkan pembicaraan. Dan saat Pak Riswan mengangguk ia pun tersenyum gembira.
Sambil membantu Langit menurunkan kursi-kursi dari atas meja, Pak Riswan kembali memancing Langit dengan pertanyaan.
"Mas, orang-orang di gedung ini banyak yang penasaran loh, sama ceritanya Mas Langit dan Mbak Malia..."
Langit menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum. Dasar tukang gosip! Gerutunya. "Cuma teman... Pak," sahutnya.
"Ah, masaak... Teman tapi kok, mesra..." Seloroh Pak Riswan dengan nada menyindir.
Langit akhirnya tertawa. Tapi ia tetap tak mau terpancing. "Daripada gosipin saya, mendingan ngopi!" Sahutnya sambil mengulurkan segelas kopi yang baru dibuatnya kepada pria itu. Dan ia pun kembali melanjutkan pekerjaannya tanpa menghiraukan lagi ocehan Pak Riswan. Hingga akhirnya pria itu pun pamit pergi setelah menghabiskan kopinya.
Dan tak lama setelah cafe dibuka, Malia datang dengan membawa sekotak makanan di tangannya. Ia lalu mengecup pipi Langit dan menariknya ke meja di sudut ruangan. "Sarapan dulu. Aku bawain sandwich," ucapnya. Dan Langit mengikutinya dengan pasrah.
"Kamu gak perlu repot-repot bikinin aku sarapan tiap hari. Aku kan, bisa beli," ucap Langit.
Malia menggeleng. "Bikinnya kan, sekalian buat aku juga," sahutnya dengan mulut yang penuh.
Langit mengangkat kedua alisnya. "Kamu lapar?" Tanyanya melihat Malia yang begitu lahap menyantap sandwich-nya.
Malia mengangguk. "Aku belum makan dari semalam."
"Kenapa?"
"Aku kan, memang jarang makan malam. Tapi karena kemarin terlalu capek, jadinyanya pagi-paginya kelaparan."
Langit menggelengkan kepalanya. "Kamu sekarang udah kerja, makannya harus lebih banyak. Gak boleh makan malam di-skip," ucapnya dengan wajah serius.
Malia memandang Langit sambil terenyum. "Aku senang kamu lebih perhatian sama aku sekarang. Kayak sama pacar beneran," ucapnya sambil menghabiskan kopi Langit yang tinggal setengah.
"Hm, aku bikinin Latte, ya?" Langit mendadak salah tingkah. Ia lalu beranjak dari duduknya tanpa menunggu jawaban Malia.
"Nanti kita makan siang di luar, ya?"
Pertanyaan Malia membuat Langit berhenti sejenak, lalu mengangguk. Tentu saja sekarang ia harus menuruti apa pun keinginannya. Itu kan, memang tugas seorang 'teman bayaran.' Dan ia juga yakin itu juga yang menjadi alasan Malia memberikannya mobil. Agar ia bisa mengantarkannya ke mana saja yang dia inginkan. Tak ada pemberian yang gratis. Semua ada konsekuensi yang harus dibayarnya.
...
Dan siang itu Langit kembali harus menemani Malia. Menghabiskan waktu berjam-jam lamanya demi bisa menikmati makan siang di restoran pavoritnya. Membuat ia akhirnya terlambat kembali ke cafe.
Dan ia semakin merasa bersalah saat melihat antrian pengunjung yang mengular di depan konter. Dan Bima tampak kewalahan melayaninya.
"Sorry, Mas!" Ucap Langit seraya bergegas mengenakan apron lalu membantunya.
Dan Langit pun kemudian larut dalam pekerjaannya hingga tak terasa waktu sudah di penghujung sore.
Langit menghembuskan nafas lega saat pengunjung terakhir cafe akhirnya keluar juga. Dihempaskannya tubuhnya di atas kursi, lalu meluruskan kedua kakinya. Dari jendela kaca terlihat hari yang mulai gelap. Mas Bima sudah pulang sedari tadi. Meja konter sudah bersih dan rapi. Ia tinggal membersihkan lantai. Tak sabar rasanya untuk segera pulang dan berbaring di atas kasur empuknya.
Namun tiba-tiba pintu terbuka. Langit terkejut melihat Malia masuk dengan wajah yang kusut. Kini ia merasa tubuhnya semakin lemas. Ia sudah terlalu lelah untuk mengantarkannya pulang. Kedua kakinya sangat pegal karena terus berdiri melayani pelanggan sejak siang tadi. Saat ini yang diinginkannya hanyalah pulang secepatnya.
Malia menjatuhkan tubuhnya di kursi di samping Langit. "Pulang, yuk?" Ajaknya.
"Kamu gak bareng Papa?" Tanya Langit.
Malia menggeleng. "Udah pulang dari tadi. Gak ada yang nganterin aku pulang," sahutnya. Disandarkan kepalanya di bahu Langit.
Langit menghela nafas dengan lelah. Ia sudah menduganya.
Ok! Sepuluh menit lagi, ya," sahutnya. Ia pun buru-buru menyelesaikan pekerjaannya. Semakin cepat mengantarnya akan semakin baik. Sebelum jalanan menjadi terlalu macet, dan sebelum Malia berubah pikiran dan memintanya untuk menemani ke tempat lain.
Dan benar saja, kemacetan yang menggila di penghujung sore itu benar-benar menguji kesabaran Langit. Ia pun menghembuskan nafasnya dengan kesal. Namun, saat matanya melihat wajah Malia yang tertidur pulas di sampingnya, kekesalannya perlahan mencair. Dengan lembut diusapnya rambut gadis itu. Ah, dia pasti lelah sekali, gumamnya.
Akhirnya setelah menempuh dua jam perjalanan yang menghabiskan hampir seluruh energinya, Langit pun tiba di depan rumah Malia.
Malia terbangun saat mendengar suara pintu pagar yang terbuka. Dua orang satpam menyambut mereka, dan salah seorang diantara mereka mengetuk jendela kaca di samping Langit.
"Mas Langit, dibawa masuk aja ke dalam mobilnya. Sudah ditunggu Bapak dan Ibu untuk makan malam!"
Mendengar ucapan pria itu Langit hanya bisa menarik nafas panjang. Entah kenapa ia sudah tak terkejut lagi. Malia selalu saja punya rencana yang disembunyikannya.
Sementara itu, dengan sengaja Malia memalingkan wajah untuk menyembunyikan senyumnya. Ia tahu Langit kesal, tapi ia tak bisa membiarkannya pulang dalam keadaan lelah dan lapar.