Dengan tergesa Malia menarik tangan Langit untuk berjalan mengikutinya. "Cepetan! Papa udah nunggu di mobil," ucapnya.
"Kita mau makan siang di mana, sih?" Tanya Langit sambil merapikan rambutnya.
"Di hotel," sahut Malia sambil berlari ke arah sebuah sedan hitam yang tengah menunggu mereka di depan lobby gedung.
Dan setengah jam kemudian mobil berhenti di depan lobby sebuah hotel bintang lima. Hotel yang sama saat Malia mengajaknya makan malam waktu itu.
Dan kini Langit sudah duduk di hadapan Pak Subagja dengan hati berdebar. Menunggunya berbicara.
"Saya mengundang kamu makan siang ini untuk merayakan Malia yang mulai bekerja." Pak Subagja memandang Malia dengan bangga. "Sudah dua tahun saya berusaha membujuknya tapi dia tidak pernah mau! Tapi kamu berhasil membujuknya hanya dalam waktu satu hari saja. Saya sangat berterima kasih sama kamu." Pak Subagja tak bisa menyembunyikan wajah haru dan bahagianya.
Langit menatap Malia dengan bingung. Tapi Malia pura-pura tak melihatnya. Ia tak mengerti mengapa Malia harus berbohong.
"Dan... sebelum makanan kita datang. Saya mau memberikan sesuatu sebagai ungkapan rasa terima kasih saya dan Malia." Kini Pak Bagja mengeluarkan sebuah amplop tebal dari dalam tas kerjanya.
"Kamu tidak boleh menolaknya," ucapnya seraya menyerahkan amplop besar itu.
Langit membuka amplop itu dan mengeluarkan isinya, tampak sebuah kunci mobil beserta surat kepemilikannya. Langit terkejut menatapnya. "Buat saya...?" Tanyanya dengan ragu.
Pak Subagja mengangguk.
"Tapi ini..."
"Ingat! Kamu sudah berjanji, Nak!" Pak Subagja memotong ucapan Langit.
Langit memandang Malia. Kini ia mengerti alasannya membohongi Sang Ayah.
"Ini mobil Malia. Dia ingin kamu memilikinya. Dia tidak berani mengatakannya langsung karena takut kamu menolaknya. Mobilnya sudah ada di parkiran gedung," ucap Pak Subagja lagi.
Langit tak bisa berkata-kata lagi. Ini terlalu berlebihan buatnya. Ia tak pernah membayangkan memiliki mobil semewah itu dalam hidupnya. Tentu saja ia senang. Tapi di mana ia harus menaruhnya? Ia tidak punya tempat untuk menaruh mobil di rumahnya yang kecil.
"Aku kasih mobil itu biar kamu ingat aku terus," ucap Malia dengan senyum yang lebar.
"Terima kasih!" Ucap Langit. Seharusnya ia bahagia mendapatkan hadiah sebesar itu. Karena kini ia tak harus kepanasan dan kehujanan lagi di atas motornya. Dan ia juga tak perlu lagi memikirkan motor tuanya yang sering mogok. Tapi masalahnya.... di mana ia harus meletakkan mobil itu? Tidak mungkin ia menaruh mobil semewah itu di pinggir jalan. Langit menghela nafasnya. Kali ini kejutan Malia malah membuat masalah baru.
"Dan satu lagi, Langit..."
Suara Pak Subagja membuat jantung Langit semakin berdebar. Inilah saat yang ditunggunya. Hadiah sudah diberikan, sekarang saatnya pemutusan kontrak kerja.
"Saya berterima kasih karena kamu sudah membantu saya menemani Malia sampai ia bisa berubah seperti saat ini. Tapi..." Sesaat Pak Subagja memandang Malia yang tersenyum, lalu kembali menatap Langit. "Malia ingin hubungan kalian tetap berlanjut."
Langit terpaku di tempatnya. Ditatapnya Pak Subagja dan Malia bergantian. "Maksudnya, Pak..." Tanyanya ragu.
"Aku masih butuh kamu buat menemani aku," sahut Malia.
Langit mendorong punggungnya ke sandaran kursi. Ia tak tahu harus berkata apa. Ditatapnya Malia dengan bingung. Untuk apa ia memintanya menemaninya lagi? Tapi ia tahu Malia selalu punya rencana tersembunyi.
Dan setelah mereka kembali dari makan siang Langit menarik tangan Malia masuk ke teras belakang cafe. Lalu mendudukkannya di atas kursi panjang. "Ok, sekarang kamu jelasin sama aku," ucapnya sambil berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan d**a.
Malia mengedikkan kedua bahunya. "Apa yang harus dijelasin lagi? Semuanya kan, sudah jelas? Kamu cuma meneruskan apa yang selama ini diminta Papa," sahutnya dengan wajah tanpa dosa.
"Ya, tapi buat apa, Mal? Kamu gak perlu meminta Papa hanya untuk berteman denganku. Itu berlebihan!"
"Tapi aku enggak mau kita cuma sekedar teman. Hubungan kita itu spesial!"
"Tapi kamu enggak perlu mengikatku dengan sebuah perjanjian. Buat apa, Mal?"
"Karena kalau tidak terikat, kamu belum tentu mau menemani aku kayak kemarin-kemarin? Kamu pasti akan banyak alasan untuk menolak aku nantinya."
Langit menatap Malia tanpa kata. Sekarang ia mengerti maksudnya. Dia mengikatnya agar bisa kembali mengaturnya. Kenapa semakin lama dia semakin posesif? Langit menghela nafasnya yang mendadak sesak. Kemarin ia menerima tawaran Pak Subagja dengan tujuan yang jelas. Tapi kini ia tak mengerti dengan tujuan Malia. "Mau sampai kapan aku harus menemani kamu?" Tanyanya.
Kini Malia menarik nafasnya dalam-dalam. "Sampai kamu mencintaiku..." lirihnya.
Langit tertegun. Tak percaya apa yang didengarnya. "Tapi enggak harus begini, Mal. Cinta enggak bisa dipaksa. Biarkan itu berjalan dengan sendirinya," sahutnya.
"Tapi perasaan kita enggak sama, Lang. Kita tidak satu arah. Kalau kita membiarkannya jalan sendiri-sendiri, aku takut hati kamu akan berbelok. Kita harus menjalani ini dengan satu tujuan. Aku mencintai kamu. Tapi kamu masih ragu. Bukankah jalan terbaik adalah dengan membuat kita mencoba?"
"Tapi kamu enggak bisa memaksa aku..."
"Karena cuma itulah caranya. Aku enggak tahu cara yang lain."
Langit kembali terdiam. Ia tidak mengerti jalan pikiran Malia. Mengapa dia begitu bersusah payah untuk membuatnya mencintainya? Tidakkah dia melihat ada begitu banyak laki-laki yang lebih baik darinya yang bisa ia pilih? Kenapa harus dia? Dan apakah Pak Subagja tahu tentang rencananya ini? Ia yakin, Malia merahasiakannya.
"Lang..."
Langit kembali menatap Malia. "Bagaimana kalau ternyata di tengah jalan kita tidak bisa melanjutkannya?"
"Kalau itu terjadi karena kamu tidak bisa mencintaiku... aku bisa menerimanya. Aku akan menyerah. Tapi, kalau itu karena hal lain, aku akan berjuang. Bukankah kamu yang bilang kita harus mencari kebahagiaan kita sendiri?"
Kini Langit tertunduk diam. Ia tak tahu lagi harus berkata apa.
....
Mentari mengibaskan-ngibaskan tangannya di depan wajah Langit. "Mas!!" Teriaknya.
Dan Langit pun segera tersadar dari lamunan. Di hadapannya sudah tersaji sepiring nasi goreng yang mengepul.
"Lamunin Kak Malia lagi, ya?" Sungut Mentari sambil meletakan telor ceplok di atas nasi goreng Sang Kakak.
"Enggak!" Elak Langit. Diaduk-aduknya nasi gorengnya dengan sendok.
"Ngaku aja... dari pulang kerja Mas Langit ngelamun terus," kejar Mentari.
"Katanya ada yang mau kamu omongin ke Mas. Mau ngomong apa?" Tanya Langit mengalihkan ocehan Mentari.
"Kak Malia, kemarin kirimin aku formulir beasiswa dari kantor Papanya. Beasiswa kuliah, Mas. Di seluruh Indonesia. Daftarnya mesti dari sekarang."
"O ya?" Langit tercenung. Kenapa Malia tak bicara dulu padanya? "Terus kamu mau?" Tanyanya lagi.
"Ya, mau, lah! Rejeki masa ditolak? Rejeki anak yatim!" Sahut Mentari dengan senyum sumringah.
"Emang pasti dapat? Bukannya kalau beasiswa banyak syaratnya" Tanya Langit ragu.
"Syaratnya cuma satu!" Kini Mentari menahan senyumnya.
Langit mengangkat alisnya. Menunggu jawaban.
"Syaratnya cukup Mas Langit aja. Aku jaminkan Mas ku untuk beasiswaku." Kini Mentari tertawa kencang.
Dan Langit pun menggeleng-gelengkan kepala mendengar jawaban adiknya itu. Malia benar-benar keterlaluan. Sekarang ia memanfaatkan adiknya juga.
"Makanya jangan putus dulu ya, Mas. Sampai aku selesai kuliah," pinta Mentari dengan wajah sungguh-sungguh.
"Sekarang kamu benar-benar jadi pendukung Malia, ya?"
"Aku mendukung siapa aja yang bermanfaat buat hidup kita. Hidup ini sulit, Mas. Kalau ada yang ikhlas bantuin, kenapa gak? Kan, lumayan Mas Langit bisa sedikit beristirahat. Gak mikirin aku terus. Mas bisa mulai mikirin masa depan sendiri. Lanjutin kuliah... menikah... punya keluarga sendiri..."
Langit memandang adiknya dalam diam. Terkadang ia baru sadar, Mentari sudah bukan adik kecilnya lagi. Dia sudah mulai beranjak dewasa. Malah sering pikirannya jauh lebih dewasa darinya. Sepertinya ia memang harus berdamai dengan Malia. Menerimanya kembali dengan lapang d**a, menjalaninya dengan ikhlas, dan biarkan takdir yang berbicara.