Untung Ada Devia

1043 Kata
Langit selalu menyukai hari Jumat. Ia selalu bersemangat di hari itu. Bukan hanya karena Jumat adalah hari terakhir sebelum libur akhir pekan. Tapi juga karena Jumat adalah hari tersibuk cafe. Bahkan terkadang cafe harus tutup lebih lama dari biasanya. Dan itulah juga yang membuatnya selalu datang lebih awal dari hari lainnya. Seperti pagi ini. Cafe sudah disiapkannya sejak tadi. Ia sudah siap melayani para pelanggannya hingga sore nanti. Dan Malia tidak akan bisa mengganggunya lagi. Semalam ia sudah mengajaknya berbicara serius, memintanya berjanji untuk tidak mengganggu pekerjaannya di cafe. Atau ia akan membatalkan perjanjian itu dan mengembalikan mobil pemberiannya. Ia yakin kali ini Malia tidak akan berani lagi melanggar janjinya. Langit melirik jam tangannya. Masih ada waktu lima belas menit untuknya menyantap sarapan yang dibelinya tadi di jalan. Pintu cafe terbuka tiba-tiba. Dilihatnya Mas Bima masuk dengan... Malia? Langit mendadak lemas. Ia lalu berhenti menyuapkan bubur ayam ke mulutnya. Dan... siapa laki-laki itu? Dilihatnya seorang pria muda berpakaian hitam putih dengan tulisan trainee di dadanya. "Lang, kenalin ini Danar!" Bima melambaikan tangannya, meminta Langit untuk mendekat. Langit menyambut uluran tangan Danar. Dilihatnya Malia yang tersenyum tanpa berani memandangnya, membuatnya seketika menjadi curiga. "Danar ini baru dua minggu training jadi Office Boy di kantor Pak Subagja. Tapi beliau memintanya untuk incharge di sini sebagai bagian dari fasilitas yang diberikan manajemen kepada tenan." "Oh...ya?" Langit melirik Malia dengan mata membulat. Sejak kapan gedung ini memberi fasilitas OB kepada penyewa? "Iya!" Sahut Bima dengan yakin. Dan sejak kapan Mas Bima jadi sekutunya Malia? Gerutu Langit. "Dia... akan bantuin kita. Apa aja yang kita minta. Tapi terutama dia akan bertugas menjaga kebersihan cafe ini. Jadi lu gak perlu lagi ngerjain tugas bersih-bersih. Cukup Danar. Kerjaan lu cukup jadi Barista aja." Langit memandangi Malia menahan geram. Seharusnya ia memang tidak usah mempercayainya. Dia selalu saja punya rencana tersembunyi di otaknya. Pintar sekali dia menggunakan Mas Bima untuk kembali mengintervensi pekerjaannya. Ia tahu tujuan Malia yang sebenarnya. Dia berharap dengan adanya Danar maka ia akan bisa menemaninya lagi tanpa harus mengkhawatirkan cafe. Langit menarik nafas panjangnya. Entah bagaimana dia bisa membujuk Pak Subagja sehingga mau menuruti kemauannya itu. Langit mengeleng-gelengkan kepalanya yang mendadak pusing. Ia tak tahu lagi, berapa lama ia akan sanggup menghadapi Malia yang semakin hari kelakuannya semakin menjadi-jadi. "Ok! Mas Bima. Nanti Job Desk Danar tolong kirimin ke HRD aja, ya? ujar Malia seraya berbalik ke arah Langit lalu mengecup pipinya dengan cepat. Dan sebelum Langit tersadar ia sudah melenggang keluar dengan senyum yang lebar. Tampak Danar dan Bima sama terkejutnya dengan Langit mendapati kelakuan Malia. "Ehm. Danar tolong kamu isi formulir ini dulu ya di sana?" Suara Bima mengalihkan perhatian Danar. Disodorkannya selembar kertas pada Danar dan memintanya untuk mengisinya di dalam ruang kerjanya. Langit mengusap-usap noda lipstik Malia di pipinya dengan kesal, lalu menatap Bima penuh tanya. "Kok, lu mau aja terima, Mas?" Tanyanya sambil menunjuk Danar dengan dagunya. Bima tersenyum. "Rejeki masak ditolak? Apalagi gratis? Meringankan tugas lu juga, kan?" Sahutnya. "Pasti lu tahu tujuan dia sebenernya, kan, Mas?" Tanyanya penasaran. "Lu tuh, kalau sama Malia negatif aja pikirannya. Dia itu berniat baik, nolongin kita, nolongin lu biar gak capek. Dia gak suka lihat lu bersihin cafe." Langit menatap Bima dengan mata melotot. "Dia bilang begitu?!" Tanyanya tak percaya. Bima mengangguk. "Gue ngerti sih, perasaannya. Masak pacar pemilik Bagja Company kerjaannya bersihin lantai?" Seloroh Bima sambil menahan tawa. Langit tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Jelas sudah sekarang Mas Bima adalah sekutu Malia. Bahkan sekarang dia pun percaya kalau hubungannya dengan Malia itu sudah benar-benar serius. "Terserah lu, aja Mas," sahut Langit pasrah, lalu kembali ke meja dan meneruskan sarapannya. ... Waktu sudah menunjukan lewat pukul sembilan malam ketika Langit tiba di rumahnya. Didengarnya suara Mentari yang asik mengobrol dengan seseorang di dalam kamar. Langit lalu mengetuknya. "Oh, ada Devia?" Sapa Langit terkejut saat pintu kamar terbuka. Devia menjawab dengan senyum tersipu. "Aku udah bilang, Mas sama Kak Via. Katanya boleh titip mobil di rumahnya!" Seru Mentari. "Oh, ya? Baru juga Mas mau ke rumah Via besok, mau minta ijin sama Ibu? Numpang titip mobil kalau malam aja." "Boleh, Mas. Tadi aku udah tanya juga ke Ibu," sahut Via. "Makasih, ya!" Langit menyunggingkan senyum terima kasihnya. "Udah makan? Kalau belum, temanin Mas, yuk?" Tanyanya sedikit menggoda. "Sudah Mas... tadi bareng Mentari." Devia menjawab dengan tersipu. "Aku tadi masak sama Kak Vina. Cobain deh, Mas. Aku baru coba resep baru. Telur balado!" Ucap Mentari dengan bangga. Langit mengacak-acak rambut Mentari. "Telur balado aja pakai belajar!" Ledeknya. "Sama sayur lodeh juga kesukaan Mas Langit. Kak Via yang masakin, dijamin pasti enak!" Tukas Mentari lagi. "Oh ya? Makasih, ya!" Langit memandang Devia dengan wajah sumringah. "Aku pamit pulang dulu, Mas. Nanti kalau mau titip mobil, datang aja, pagarnya masih dibuka sampai jam sepuluh." Langit melirik jam tangannya. "Oh, kalau gitu sekarang aja. Biar sekalian ngantar kamu," sahutnya. Dan tak lama kemudian Langit pun sudah kembali ke rumah dengan perasaan yang lega. "Untung ada Devia!" Ucapnya seraya duduk di hadapan sepiring nasi hangat dengan telur balado dan sayur lodeh buatan Devia. Ah, baik sekali gadis itu. Ia dan Mentari berhutang banyak padanya. "Mas..." Mentari memandang Langit dengan ragu. "Kenapa? Minta uang jajan lagi?" Sahut Langit sambil mengaduk-aduk nasinya dengan sayur. "Iiihh. Bukaaan!" Sungut Mentari. Langit mengangkat wajahnya, menunggu Mentari bicara. "Hmm, Kak Via... katanya kepingin dilukis..." Kini Langit mengangkat kedua alisnya. "Dilukis? Sama Mas?" Tanyanya tak percaya. Mentari mengangguk. "Dia kan, lihat lukisan aku yang di kamar itu. Terus dia tanya siapa yang lukis. Aku bilang Mas Langit. Teruuus, dia bilang pingin juga ada yang ngelukis dia..." "Hmm..." Langit menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Ia sudah lama tak melukis orang lain. Terakhir kali yang ia lukis adalah wajah Mentari, dua tahun yang lalu. Ia lebih suka melukis pemandangan atau benda mati. "Ayo lah, Mas. Sebagai tanda terima kasih udah dibolehin titip mobil di rumahnya," rayu Mentari. Langit masih terdiam. "Kapan dia mau dilukis?" Tanyanya akhirnya. "Terserah Mas, kapan bisanya?" Langit mengernyitkan keningnya sambil berpikir. "Gimana kalau Minggu pagi?" Tanyanya. Mentari mengacungkan jempolnya dengan gembira. Tak lama kemudian ia beranjak dari duduknya lalu masuk ke dalam kamar. Terdengar suara riangnya menelepon Devia. Langit tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tak bisa membayangkan Devia sanggup duduk di hadapannya berjam-jam hanya untuk dilukis wajahnya. Dia pasti akan gugup.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN