Semua pasang mata menatap ke arahku.
Tatapan mereka itu membuatku diam tak berkutik.
Aku bingung harus bagaimana, apalagi sosok Gisela—si cantik primadona kampus itu masih memandangiku lekat, menunggu jawaban atas pertanyaan yang ia lontarkan padaku tadi.
“Siapa yang bilang kalau Alisa mau menikah?” Sebuah suara tiba-tiba menginterupsi di tengah-tengah keheningan yang mencengkam.
Berkat suara itu semua pasang mata yang tadinya memandang ke arahku kini telah beralih pandangan pada sosok Farel yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu ruang kelas.
Aku sedikit bernapas lega.
“Farel.” Gisela bersuara. Raut wajahnya yang sebelumnya terlihat mengintimidasiku, sekarang berubah bak malaikat yang turun dari langit. Sungguh kamuflase yang memuakkan. Pantas saja banyak laki-laki yang tergila-gila padanya, tapi sayangnya dari sekian banyak laki-laki yang menggilainya, Gisela justru jatuh hati dan sibuk mengejar cinta seorang pria yang bahkan tidak pernah peduli padanya.
Yap, tidak ada yang tidak tahu kalau Gisela sudah sejak lama menyukai Farel. Bahkan tidak sedikit dari banyak mahasiswa yang mendukung mereka untuk bersatu.
Namun sayangnya ... bagaimana aku harus mengatakannya ya?
Em, begini, Farel menyukaiku, tentunya tidak ada orang lain yang tahu tentang fakta ini, kecuali aku dan Farel. Bahkan Abel yang notabenenya adalah sahabat dekatku saja belum tahu tentang perihal Farel yang menyukai diriku.
Dan pasti, tidak ada yang menduga kalau Farel menyukai wanita biasa sepertiku ini.
Entah kenapa aku jadi penasaran, bagaimana reaksi Gisela kalau dia tahu pria yang disukainya sejak semester satu itu ternyata menyukai wanita biasa sepertiku? Ah, memikirkannya saja membuat sisi jahatku menggila, mulutku bahkan sudah gatal ingin membeberkan pada Gisela kalau beberapa waktu lalu Farel mengungkapkan perasaannya padaku.
Tapi untungnya aku masih punya nurani. Jadi, Gisela. Hatimu saat ini masih aman, belum tercabik-cabik karena fakta besar itu.
“Alisa enggak akan menikah dengan siapa pun,” ujar Farel kemudian.
Gisela yang masih berdiri di sampingku tampak mengernyit bingung. Perempuan itu bingung karena sikap Farel terlihat jelas seperti tengah membelaku.
Sedangkan para mahasiswa yang lain, mereka semua tampak menatap Farel penuh tanya.
Dan aku, aku merasa cemas sendiri, seketika perasaanku tidak enak, aku mewanti-wanti Farel akan mengatakan hal gila yang mungkin sebelumnya tidak pernah terbayangkan olehku.
“Kecuali denganku,” tukasnya sembari memandang ke arahku.
What the ...!
Apa yang dia katakan?!
Astaga, Farel.
Aku sudah berusaha bungkam tapi pria itu justru membeberkannya dengan sangat gamblang.
Sekarang, aku harus bagaimana? Semua orang kembali menatap ke arahku, bahkan tatapan mereka ada yang sangat tajam hingga membuatku merasa ingin sekali pindah ke planet Mars.
“Ma-maksud kamu apa, Farel?” tanya Gisela, dia adalah salah satu perempuan yang ikut menatapku tajam. Bahkan tadi aku sempat berpikir kalau bola matanya itu akan lepas dari tempatnya, benar-benar melotot bulat.
“Alisa milikku, jadi jangan sekali-kali kamu ganggu dia,” tegas Farel, membuat semua orang semakin ternganga mendengarnya.
Sedangkan aku, aku semakin menciut dan ingin sekali lekas pergi dari tempat ini.
Tenggelamkan saja aku.
“Siapa yang menjadi milik siapa?” sahut suara lain, terdengar tegas dan mengintimidasi.
Oke, tenang.
Aku tahu suara ini.
Aku mengenali suara ini.
Dan karena aku tahu dan mengenali suara ini, sekarang jantungku berdetak histeris, semakin tak karuan.
Sial.
Hari ini aku benar-benar sial.
“Mampus, Sa. Pak Reyan ada di sini,” bisik Abel di sampingku.
Aku tak menanggapinya. Bahkan tanpa dia beritahu pun aku sudah tahu lebih dulu bahwa ini adalah suara Reyan Prajaya alias Pak Reyan.
Tak lama setelah suara Pak Reyan terdengar, pria itu muncul dan kini tampak berhadapan langsung dengan Farel. Hebatnya, Farel sama sekali tidak goyah dengan kehadiran Pak Reyan yang terlihat mengintimidasi dirinya.
Wah, mental Farel benar-benar luar biasa.
Di saat mahasiswa lain meleyot ketika berhadapan langsung dengan Pak Reyan, pria itu justru masih terlihat tangguh dan seolah menantang sosok Pak Reyan yang saat ini tengah menatapnya dengan sorot penuh ketidaksukaan.
“Tadi kamu bilang apa?” tanya Pak Reyan.
“Pak Reyan sudah mendengarnya, ‘kan? Jadi untuk apa bertanya lagi? Dan lagian itu bukan urusan Bapak, sekalipun Bapak adalah seorang dosen, tapi bukan berarti Bapak bisa ikut campur urusan pribadi mahasiswa Bapak,” cakap Farel.
Astaga, apa Farel sungguh tidak kenal rasa takut? Aku yang mendengarnya saja sudah merasa panas dingin.
Pasalnya, walaupun Pak Reyan terkenal sebagai sosok dosen yang ramah dan murah senyum, tetapi tidak ada satu pun mahasiswa yang berani menyinggungnya, karena sekali Pak Reyan marah, maka dunia ini bisa hancur lebur. Isunya, demage yang ditimbulkan dari kemarahan Pak Reyan bisa melebihi bom atom yang pernah jatuh di tengah kota besar di Jepang.
“Kamu tahu Alisa itu siapanya saya?” ujar Pak Reyan, setelah beberapa saat diam menatap Farel tajam.
“Dia hanya mahasiswa Bapak,” jawab Farel, penuh percaya diri dengan keyakinannya yang tak tergoyahkan.
“Bodoh,” cibir Pak Reyan. “Dia adalah—”
“Aaa ...!”
Siapa yang berteriak?
Tentu saja aku.
Dan aku tidak peduli dengan tatapan orang yang memandangku aneh. Atau bahkan mungkin saat ini mereka sudah mengira bahwa aku sudah tidak waras lagi.
Persetan juga dengan rasa maluku yang sudah hilang entah ke mana.
Aku sungguh tidak tahu harus berbuat apalagi selain berteriak keras agar Pak Reyan mau menghentikan perkataannya.
“Sa, lo kenapa?” Abel yang berdiri di sampingku tampak kebingungan. “Lo kesurupan, ya?” tanyanya.
Abel, andai saja situasinya tidak segenting ini, gue pasti udah mukul otak tahu bulatmu itu. Astaghfirullah.
Aku memilih untuk tidak menggubris pertanyaan menyimpang Abel. Pikiranku saat ini sibuk mencari cara agar Pak Reyan lekas pergi dari sini.
“Alisa, kamu baik-baik aja?” Farel turut bertanya. Aku tahu dia juga bingung dengan tingkahku yang tiba-tiba berteriak tanpa ada hujan badai topan halilintar.
Aku tersenyum kikuk. Lalu pandanganku terpaku pada Pak Reyan yang juga menatapku dengan raut dinginnya.
Sesaat, aku mencoba mengumpulkan keberanianku, lalu aku melangkah mendekat ke arah Pak Reyan dan Farel, sesampainya di sana aku langsung menatap ke arah Farel dengan senyumku yang sebenarnya kuukir palsu.
“Em, Farel. Sebenarnya Pak Reyan adalah saudara angkatku, orang tua kami berteman baik sejak lama, dan kami sudah saling kenal sejak kami kecil,” terangku, terpaksa menipu semua orang. Tapi, hei, aku tidak sepenuhnya berbohong, orang tuaku dengan orang tua Pak Reyan memang berteman baik. Hanya saja ... aku dan Pak Reyan bukanlah saudara.
“Kamu bisa tanyakan semuanya pada Abel, dulu Pak Reyan adalah seniorku dan Abel saat kami SMA,” lanjutku.
Farel tanpa curiga mengurai senyumnya padaku.
“Ah, jadi dia kakak angkatmu,” lirih Farel sembari tersenyum simpul. “Sebenernya kamu enggak perlu jelasin semuanya ke aku, tapi aku seneng kamu mau jelasin tanpa aku minta,” imbuhnya.
Tunggu, kok obrolanku dengan Farel terdengar seperti sepasang kekasih yang hampir marahan karena salah paham?
“Ikut ke ruanganku,” titah Pak Reyan kemudian.
Dan setelah berkata seperti itu, dia langsung melangkah keluar dari dalam kelas dengan raut masamnya yang tampak terukir jelas.
“Mampus,” gumamku, merasa sial bertubi-tubi.
“Mau aku temenin?” tawar Farel tiba-tiba.
“Eh, enggak usah,” tolakku, halus. “Aku bisa pergi sendiri,” ujarku, kemudian melangkah cepat, keluar dari ruang kelas.