Abel terdengar menghela napasnya kasar, aku yang berada di sampingnya pun sontak menoleh.
“Kenapa?” tanyaku.
Bukannya menjawab, Abel malah kembali menghela napasnya sekali lagi.
Aku mengernyit heran menatapnya. “Lo kenapa sih?”
“Harusnya gue yang tanya gitu ke lo,” sungut Abel. “Gue bener-bener kesel sama lo, Sa,” lanjutnya.
“Ha?” Aku bingung menanggapinya. Abel tiba-tiba marah padaku tanpa menjelaskan alasannya.
Memangnya aku salah apa?
“Lo salah minum obat, ya? Gue emang ada salah apa sama lo?” Aku bertanya langsung, tak mau ada kesalahpahaman di antara kami.
Abel mendesis, ia lantas menarik tubuhku hingga menghadap penuh ke arahnya.
“Kemaren malem kenapa lo enggak angkat telepon gue? w******p gue juga enggak lo bales, hilang ditelen bumi lo?” sungut Abel.
Aku terbengong, menatap Abel yang kini membuang mukanya dari pandanganku.
“Andai lo cowok, orang-orang pasti bakal mikir kalau lo pacar gue, Bel.” Aku berkomentar.
Abel tak menanggapi, wajahnya justru terlihat semakin masam karena aku berbicara seperti tengah mengalihkan topik pembicaraan yang seharusnya.
“Oke, gue bakal jelasin kenapa semalem gue enggak respons semua panggilan lo dan enggak bales w******p lo juga.” Aku mengalah, memilih untuk menceritakan apa yang terjadi semalam pada Abel yang memang selalu ingin tahu permasalahan hidupku.
Abel seperti itu bukan karena dia suka mencampuri urusanku. Tapi, karena aku dan Abel memang sudah terbiasa untuk berbagi suka dan duka bersama. Ya, itu karena pertemanan kami bukan hanya satu dua tahun saja, tapi hampir lima tahun lebih.
“Jadi?” Abel mulai menatapku dengan raut tak sabarnya. Dia siap menunggu ceritaku yang memang sejak kemarin sudah aku janjikan padanya.
Sebelum mulai bercerita, aku menatap ke sekelilingku terlebih dulu, memastikan tidak ada orang lain yang ada di sekitar kami.
“Sini lebih deket,” suruhku, memberikan kode pada Abel agak memajukan tubuhnya lebih dekat ke arahku.
Abel dengan antusias menuruti arahan dariku, dia maju semakin dekat dan kami pun benar-benar terlihat seperti dua orang yang siap bergosip.
“Semalem Pak Reyan dan orang tuanya dateng ke rumahku.” Aku mulai bercerita dengan suara pelan, hampir seperti seseorang yang tengah berbisik-bisik tetangga.
“Terus?” Abel terlihat semakin tak sabar untuk mendengar ceritaku lebih lanjut.
Aku menghela napas sejenak, sesaat melihat ke sisi kiri dan kananku, lalu menatap kilas ke arah belakangku juga.
Aku benar-benar harus memastikan tidak ada orang lain di dekatku selain Abel. Karena apa yang akan aku ungkapkan ini adalah rahasia besar yang jika bocor sedikit saja maka akan membuat heboh seantero kampus. Dan yang paling menyedihkan, sisa kehidupanku di kampus pun pasti akan berubah penuh drama.
“Lo tahu kenapa Pak Reyan sama orang tuanya dateng ke rumah gue?” lanjutku.
“Kenapa?” tanya Abel, pupilnya terlihat semakin membesar, perempuan ini sepertinya benar-benar sudah tak sabar menanti lanjutan ceritaku.
“Dia lamar gue,” ungkapku, berkata amat pelan.
Namun, sekalipun aku sudah berusaha berbicara lirih, tetapi Abel malah bereaksi melampaui batas.
“Apa?!” Respons Abel benar-benar menyebalkan, berkat suaranya itu para mahasiswa yang ada di dalam kelas langsung menoleh ke arah kami.
Aku menghela napas berat, lalu menatap Abel dengan tetapan tajamku, bahkan saking tajamnya tatapanku ini, aku sampai merasa bola mataku seolah hampir saja lepas dari singgasananya.
“Suara lo bisa tolong dikecilin dikit enggak?” sungutku, memandangnya dengan raut masam. “Kalau respons lo separah ini, mending gue enggak usah cerita dari awal,” imbuhku, berpura-pura marah padanya.
Abel meringis, lalu kedua tangannya tampak meraih kedua tanganku pelan, gadis itu menggenggam tanganku dan menatapku iba.
“Maaf,” rayunya.
Aku mendengus, menepis tatapan melas Abel dengan mengalihkan pandanganku darinya.
“Lisa ....” Abel mulai merengek kecil. “Maafin gue, ya? Gue ngaku salah, gue minta maaf sama lo,” rayunya sekali lagi.
Napasku berembus pelan, lalu sorot mataku kembali beradu pandang dengan Abel.
“Oke,” ucapku. “Tapi awas lo ulangi lagi.” Aku berkata penuh ancaman.
Abel dengan cepat mengangguk, menerima ancamanku dengan senang hati.
“Tapi, btw, omongan lo tadi itu ... beneran?” tanya Abel kemudian.
Aku diam menatapnya untuk waktu yang cukup lama, sampai Abel tampak sudah tidak sabar lagi menunggu jawaban dariku.
“Lo enggak lagi tipu gue ‘kan, Sa? Lo sama Kak Reyan beneran ... bakalan nikah?” bisim Abel, kembali bertanya, mendesakku untuk mengungkapkan lebih banyak.
“Iya, gue bakalan nikah sama dia,” jawabku seraya menghela napas berat dan seketika merasa lesu.
“Be-beneran nikah?” Abel lagi-lagi bertanya, sampai membuatku merasa jengah mendengar pertanyaannya itu.
"Lo bisa enggak sih jangan tanya terus, gue kan udah jawab. Iya, gue bakal nikah sama dia," tuturku, pelan tapi dengan nada kesal penuh emosi.
"Bukan cuma lo aja yang sulit percaya sama fakta ini, Bel. Gue sebagai orang yang bakal nikah sama Pak Reyan aja lebih enggak percaya lagi. Rasanya kayak mimpi buruk di siang bolong," imbuhnya, bernapas berat.
Abel menatapku iba.
Aku mendesah berat, merasa malas membahas perihal ini lagi. Karena membahasnya hanya akan membuatku sadar bahwa masa lajangku tidak akan lama lagi akan berakhir. Bahkan detik demi detik yang aku lewati saat ini rasanya berlalu cepat sekali.
“Oh, iya," ucapku ketika terlintas sebuah ide gila di dalam benakku. "Bel, lo pernah suka sama Pak Reyan, ‘kan?” tanyaku, menatapnya dengan penuh harap.
“I-itu dulu pas kita masih awal-awal masuk SMA, Sa. Lo kenapa tiba-tiba bahas perasaan gue ke Kak Reyan? Sumpah, Sa. Gue sekarang enggak ada perasaan apa-apa lagi sama dia, gue cuma kagum dan hormatin dia sebagai dosen gue, sebatas itu doang, serius,” kilah Abel.
Pikirnya aku ini sedang menginterogasinya, ya? Gadis itu terlihat kikuk di depanku.
Aku mendecih, lalu menjitak kepalanya pelan.
Namun, sepelan apa pun aku memukul kepalanya, Abel tampak meringis, seolah aku baru saja menganiayanya.
“Gue enggak bermaksud apa-apa,” ujarku. “Gue cuma mau bilang, kalau lo masih punya perasaan sama Pak Reyan ... lo bisa kok gantiin gue nikah sama dia? Gue ikhlas kasih dia ke lo,” paparku.
Abel seketika melotot, kini gantian gadis itu yang menjitak kepalaku, tapi nahasnya dia memukulku terlalu kuat. Bahkan aku merasa denyutan ringan di bagian ubun-ubun.
“Sakit, Bel,” keluhku.
“Sengaja, biar otak lo tuh bangun dari kegilaan,” sungut Abel. “Lagian lo itu aneh-aneh aja. Asal main nyuruh gue jadi istri penggantinya Kak Reyan. Emang lo pikir hidup gue kayak sinetron ikan terbang?” Abel mengoceh tanpa jeda. Untungnya dia berbicara dengan suara pelan.
Aku yang mendengarnya hanya bisa memberengut sebal.
“Emangnya lo enggak kasihan sama gue?” tukasku.
Abel mengernyit. “Kasihan kenapa? Hidup lo udah hampir sempurna. Gue inget dulu lo pernah bilang ke gue kalau salah satu impian lo itu mau jadi istrinya Kak Reyan, dan sekarang, impian lo itu udah terwujud.”
“Iya, tapi enggak secepet ini maksud gue.”
“Lah umur lo ‘kan udah mateng. Lo di kamar berduan sama Kak Reyan aja udah bisa menghasilkan bayi,” kata Abel, seenak jidatnya.
Aku memijat pelipisku pelan, tak habis pikir dengan isi kepala Abel yang menyederhanakan semua permasalahan.
“Tau ah, gue pusing ngomong sama lo,” ucapku.
“Dih, kenapa jadi gue yang jadi pelampiasan amarah lo.”
“Ya lagian lo itu sebagai seorang teman yang baik harusnya dukung gue, atau bantu gue buat nyari solusi gimana caranya biar gue enggak nikah sama—”
“Siapa yang mau nikah?” Sahut sebuah suara dari arah belakangku. “Lo mau nikah, Sa?” tanyanya.
Mampus.
Suara yang terdengar feminim ini ... tentu aku mengenalinya.
Aku pun sontak menundukkan kepala, merutuki mulutku yang berbicara tanpa ingat lagi untuk memelankan suaraku.