“Sekarang apa lagi?” tukasku, saat baru masuk ke dalam ruangan Pak Reyan. “Kenapa Bapak suka banget suruh saya dateng ke ruangan Bapak sih? Nanti kalau orang lain curiga gimana? Bapak mau tanggung jawab kalau kehidupan kampus saya jadi suram?” Aku mengoceh seperti tak kenal rasa takut.
Tapi sumpah, aku benar-benar sudah lelah jika harus keluar masuk ruangan dosen satu ini. Bahkan rasanya aku sampai hafal tata letak isi ruangannya Pak Reyan.
“Kamu punya hubungan apa sama pria itu?” tanya Pak Reyan, sama sekali tidak menggubris ocehanku tadi. “Kamu pacaran sama dia?” lanjutnya, terlihat seperti tengah mendesakku untuk menjawab.
Pria itu? Maksudnya Farel?
Ah, apa dia cemburu karena Farel membelaku di depan semua orang?
Astaga, kalau benar Pak Reyan cemburu, biarkan aku tetap di sini, aku penasaran bagaimana wajahnya ketika cemburu.
Apakah wajahnya saat cemburu akan berubah menjadi badak bercula satu? Atau justru bertanduk dua seperti banteng?
Sepertinya aku harus menyiapkan kameraku, siapa tahu ini akan menjadi momentum yang paling terspektakuler sepanjang hidupku.
“Memangnya apa urusan Bapak kalau saya punya hubungan sama Farel,” kataku. “Bapak enggak berhak ikut campur sama kehidupan saya. Saya mau punya hubungan dengan siapa pun itu bukan urusan Bapak,” imbuhku dengan dagu terangkat, seperti tengah menantang pria di depanku itu untuk beradu argumen.
Hei, jangan terkejut kalau aku menjawab pertanyaannya dengan perkataan seberani itu. Aku memang sengaja memancing emosinya. Lagian siapa suruh dia sok ikut campur dengan urusanku, apalagi mengatur hidupku. Tentu saja seorang Alisa tidak akan tinggal diam.
“Lagian kalau saya pacaran sama Farel, Bapak sama sekali tidak memiliki hak untuk melarang saya,” lanjutku, masih terlalu asyik mengompori pria satu itu.
“Putusin dia,” suruhnya, dengan raut wajahnya yang terlihat tegas. Bahkan ekspresinya itu sudah terlihat seperti banteng yang siap mengamuk.
Demi apa, dia sungguh mengira kalau aku dan Farel pacaran? Ya Tuhan, aku rasanya ingin sekali menggaruk bokongnya kudanil, perutku benar-benar terguncang ingin tertawa usai mendengar titahnya barusan.
Siapa sangka kalau ternyata Pak Reyan adalah tipe orang yang cukup mudah untuk ditipu.
“Enggak mau,” tolakku, semakin gencar ingin membuat Pak Reyan dilanda api cemburu.
“Alisa,” tegasnya seraya melempariku dengan tatapan tajamnya.
Aku tahu maksud dari tatapannya itu. Dia tengah mengancamku, mengintimidasiku, dan secara tidak langsung menyuruhku untuk menuruti perintahnya.
Tapi ini adalah aku, si pemberontak nomor satu. Dan memberontak perintah seorang Reyan Prajaya adalah hobi baruku.
“Iya, Bapak?” jawabku, dengan suara mendayu, layaknya seorang mahasiswa tulen yang menyambut panggilan dosennya.
Melihat tingkahku itu, Pak Reyan terdengar mengembuskan napasnya berat. “Kamu sengaja mau buat aku marah?” tanyanya, menatapku semakin tajam.
“Eh, siapa yang mau buat Pak Reyan marah? Saya mana berani,” ucapku, beralibi.
Pak Reyan tampak memijat keningnya sesaat. Aku yang melihatnya hanya bisa tersenyum menahan tawa.
Aku tebak, pasti Pak Reyan sudah kewalahan menghadapiku.
Jadi bagaimana Pak Reyan? Apa masih mau lanjut mempersuntingku?
“Pokoknya saya enggak mau tahu, kamu harus putusin hubungan kamu sama Farel. Kalau enggak saya akan ....”
“Astaga!” seruku, sengaja menyela perkataan dosen termenyebalkan itu. “Saya harus pergi, Pak. Saya ada kelas pagi ini. Nanti kalau saya enggak masuk, nilai saya bisa bermasalah,” ujarku sembari menatap arlojiku yang saat ini sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.
Tapi, semua ini hanya aktingku. Ini adalah salah satu taktikku agar bisa kabur dari singgasananya singa posesif satu itu.
“Saya belum selesai bicara sama kamu, Alisa,” kata Pak Reyan, hendak mencegahku yang sudah jengah berada di dalam ruangannya.
“Nanti kalau saya telat masuk kelas dan saya dipanggil sama dosen, Pak Reyan memangnya mau tanggung jawab? Pak Reyan mau gantiin saya masuk ruang dosen dan minta maaf sama dosen yang bersangkutan?” tukasku.
“Memangnya siapa dosennya?”
“Aduh, Pak Reyan banyak tanya, pokoknya saya harus pergi sekarang, lagian Pak Reyan sendiri yang suruh saya untuk enggak cari masalah sama dosen di kampus ini demi nama baik Bapak,” kataku, sengaja mengingatkan ucapannya beberapa pekan lalu.
“Udah ya, Pak. Urusan kita selesai. Saya permisi.” Dengan segara aku melenggang keluar dari dalam ruangan tersebut, tak peduli dengan Pak Reyan yang masih belum merasa tuntas menceramahiku.
Jujur saja, sebenarnya aku memang berbohong soal ada kelas pagi ini, karena hari ini seharusnya aku memiliki jadwal kuliah pukul delapan pagi tadi, tapi kelas tiba-tiba dibatalkan karena dosennya berhalangan hadir, dan bisa dibilang hari ini aku sebenarnya tidak memiliki jadwal mata kuliah apa pun sampai pukul dua siang nanti. Sebuah kebohongan yang cukup berisiko bukan? Apalagi aku membohongi dosen di kampus tempatku kuliah.
Aku yakin, Pak Reyan enggak lama lagi bakal tahu kalau aku sudah membohonginya. Tapi masa bodoh dengan semua itu, yang terpenting sekarang aku bisa bebas dari ruangannya yang terasa sesak dan pengap itu.
“Lisa.” Saat aku baru keluar dari dalam ruangan Pak Reyan, tiba-tiba sebuah suara yang terdengar familier langsung menyambutku, membuat jantungku hampir meledak kaget.
“Farel?” Aku terkejut mendapati sosok Farel yang entah sejak kapan berdiri di depan pintu ruangan Pak Reyan. “Ke-kenapa kamu ada di sini?” tanyaku, menatap Farel dengan raut cemas, takut kalau pria itu mendengar hal-hal yang seharusnya tidak ia dengar.
“Aku khawatir sama kamu,” jujurnya.
“Aku baik-baik aja kok,” ujarku sembari tersenyum canggung karena sikapnya yang rasanya terlalu berlebihan padaku.
Farel tampak menganggukkan kepalanya pelan. “Iya, aku tahu kamu baik-baik aja, dan harusnya aku enggak perlu khawatir sama gadis pemberani seperti kamu,” cakap Farel.
Mendengar perkataannya itu, seketika aku merasa curiga, apakah Farel benar-benar mendengar obrolanku dengan Pak Reyan?
“Tapi, Lisa. Berbohong sama orang yang lebih tua itu tidak baik, kedepannya jangan lakukan itu lagi, ya?” ujar Farel.
Oh, god. Bahkan dia tahu kalau aku berbohong pada Pak Reyan, kalau begitu—sudah seberapa banyak yang Farel dengar?
“Ka-kamu ... kamu denger obrolan aku sama Pak Reyan?” tanyaku, yang sudah dilanda rasa penasaran dan cemas.
“Enggak semuanya aku denger, aku cuma denger pas kamu tolak perintah Pak Reyan yang suruh kamu buat putusin aku,” terangnya. “Jujur aja, pas aku denger penolakan kamu itu, entah kenapa aku jadi berpikir, apakah itu artinya kita ... pacaran?” tanya Farel kemudian.
Aku merasa tertohok mendengarnya. Kini aku menyesal karena sudah asal bicara pada Pak Reyan tanpa berpikir panjang.
Sekarang, setelah semuanya menjadi semakin rumit, aku harus bagaimana?
Ah, aku benar-benar ingin tenggelam saja.