“Alisa.” Sebuah suara terdengar memanggil namaku saat aku baru saja masuk ke dalam kelas.
Saat menoleh, sosok Farel terlihat sudah berdiri di sampingku, pria itu tersenyum, menatapku dengan binaran matanya yang terlihat menawan seperti biasa.
Namun, saat menatap mata hitam pekat itu, aku kembali teringat dengan sikap Farel kemarin. Pria itu rasanya seperti mempunyai dua sisi yang di mana salah satu sisinya mampu membuatku merinding setiap kali berdekatan dengannya.
“Soal kemarin,” ucap Farel. Aku tersentak saat dia tiba-tiba membahas perihal kemarin, yang padahal saat ini juga tengah aku pikirkan.
“Aku minta maaf,” lanjutnya.
Sejenak aku diam, terpaku menatap pria itu dalam keheningan.
Sampai kemudian, suara Abel membuatku sadar dan seketika itu aku langsung memutus kontak mata dengan Farel.
“Lo enggak perlu minta maaf, gue enggak masalah kok,” cakapku, kembali menggunakan ‘lo’ ‘gue’ karena rasanya itu panggilan yang paling santai dan aman untuk menghilangkan rasa canggungku pada Farel.
“Em, gue duluan, ya. Abel udah nungguin,” timpalku seraya menatap ke arah Abel yang berdiri agak jauh dari kami.
Farel mengikuti arah pandangku, sejenak ia menatap Abel yang tampak tersenyum canggung.
Melihat Farel yang tidak memberikan respons apa pun, aku pun langsung melenggang pergi dari hadapannya tanpa berbicara apa-apa lagi.
Tapi, baru beberapa jengkal kaki ini melangkah, Farel tiba-tiba kembali memanggil namaku.
“Alisa, tunggu sebentar,” katanya.
Refleks, aku menoleh, kembali menatap ke arahnya.
“Iya?” tanyaku, menunggunya mengatakan apa yang ingin dia katakan.
“Aku sebenernya mau ajak kamu pergi ke suatu tempat yang mungkin kamu suka,” cakap Farel.
“Ke mana?” tanyaku, yang bodohnya malah penasaran.
“Vila Azura. Itu vila pribadi milikku,” kata Farel. “Jaraknya enggak jauh dari kota. Ya walaupun tempatnya agak terpencil, tapi aku jamin kamu bakal suka sama pemandangan yang ada di sana. Tempat itu bisa juga kamu jadiin sebagai tempat pelarian kalau kamu lagi ada masalah. Enam, enam, enam, enam, itu sandi pintu vilanya,” terang Farel, seperti mencoba menarik antusiasku yang memang menyukai sesuatu yang berhubungan dengan alam dan ketenangan dari hiruk pikuk ibu kota.
Namun tetap saja aku merasa heran. Untuk apa Farel mengajakku ke vila pribadi miliknya? Apalagi dia sampai memberitahuku sandi vila itu. Jika hanya ingin meminta maaf, dia bisa menggunakan cara lain, seperti mengajakku ke tempat-tempat umum yang bisa dijangkau dengan mudah. Tapi ini, dia mengajakku ke tempat terpencil.
Rasa heranku itu membuat pikiran burukku tentang Farel kembali merajalela. Apa Farel memiliki niat jahat padaku?
“Kamu tenang aja, kita ke sana enggak cuma berdua aja kok. Kalau kamu mau, kamu juga bisa ajak Abel atau temen kamu yang lainnya kok,” cakap Farel. “Jadi kamu enggak perlu khawatir kalau aku bakal punya niat jahat sama kamu,” lanjutnya.
Aku sedikit tersentak saat Farel seolah bisa membaca pikiran burukku tentangnya.
“Em ... gu-gue ... pikir-pikir dulu ya, soalnya nyokap sama bokap gue itu bukan tipe orang tua yang bisa kasih kebebasan penuh untuk anaknya, apalagi sekarang mereka lagi ada di Indonesia, jadi kebebasan gue bener-bener terbatas,” terangku, mencari cara untuk menolak ajakan Farel dengan halus.
“Oh gitu, ya udah, aku tunggu kabar dari kamu. Nanti kalau kamu mau ke vila itu, kamu hubungi aku aja, ya. Aku bakal jemput kamu di mana pun dan kapan pun,” cakap Farel.
Aku mengangguk pelan seraya tersenyum canggung pada pria itu.
Kemudian, aku kembali melangkah menuju Abel yang sejak tadi hanya diam menyimak obrolanku dengan Farel yang kuyakini dapat ia dengar walau samar-samar.
***
Suara ketukan pintu dari luar rumah pribadi milik Reyan membuat si empunya rumah itu langsung bergegas membukakan pintu.
Saat pintu terbuka, senyum hangat dari seorang wanita paruh baya terlihat menyapanya.
“Mama?” Kening Reyan berkerut saat mendapati sang ibu—Reya—kini tampak berdiri di depannya.
“Mama kok tahu aku ada di rumah?” tanya Reyan.
Reya—panggil saja Mama Reya—wanita paruh baya itu menghela napasnya pelan. “Suruh dulu kek Mamanya masuk, ini di luar mendung mau hujan, udara juga udah mulai dingin, kamu enggak kasihan sama Mama?” sungutnya.
Reyan meringis, lalu membuka pintu rumahnya lebar dan mempersilakan sang ibu untuk masuk ke dalam.
“Mama mau Reyan buatin teh?” tanya Reyan.
“Enggak usah, Mama ke sini cuma mau mampir bentar, nanti kalau kelamaan takutnya pas Papa kamu pulang terus Mama enggak ada di rumah, dia pasti bakal nyariin Mama. Tahu sendiri kan Papa kamu itu kalau bisa tiap jam nempel terus sama Mama,” cakap Mama Reya.
Reyan tersenyum tipis mendengar keluhan ibunya yang terkadang merasa kewalahan dengan sikap manja ayahnya.
“Jadi Mama ke sini mau apa? Apa ada yang mau Mama bicarakan sama aku?” Reyan bertanya.
“Em, sebenernya ada yang mau bicarain sama kamu,” cakap Mama Reya.
“Apa yang mau Mama bicarain?” kata Reyan seraya duduk di samping ibunya yang tampak menghela napasnya pelan.
“Kamu tahu alasan kenapa orang tua Ica minta kamu buat cepet-cepet nikahin Ica?”
Reyan mengangguk pelan dengan raut wajahnya yang berubah redup.
“Karena umur Om Sean udah enggak lama lagi,” terangnya.
“Mama pikir kamu belum tahu tentang penyakitnya ayahnya Ica.”
“Aku udah tahu kok, Ma. Om Sean udah ceritain semuanya ke aku kalau dokter vonis dia enggak akan punya banyak waktu lagi.”
Reya bernapas berat. Kemudian ia memegang tangan putranya itu dan menatap sang putra dengan raut seriusnya.
“Mama harap, kamu bener-bener bisa jagain Ica. Kamu harus tetap ada di samping dia apa pun yang terjadi. Apalagi pas nanti dia tahu soal penyakit ayahnya, Ica pasti bakal sangat terpukul. Mama mau di saat-saat terburuk Ica, kamu selalu jadi tempat untuk dia bersandar,” pesan sang ibu, yang langsung Reyan tanggapi dengan anggukan kepala.
***
“Bunda, Daddy,” seru Alisa, kakinya melangkah masuk ke dalam rumah dengan ekspresi wajahnya yang tampak sangat tidak bersahabat.
“Ica, kenapa teriak-teriak? Kalau pulang dari kampus itu pas masuk rumah ucap salam, salim sama orang tua, bukannya malah teriak-teriak,” nasihat sang ayah.
“Udahlah enggak usah sok nasihatin, aku udah capek pura-pura patuh di depan Daddy,” tukas Alisa. Perkataannya itu sontak membuat Sean dan Lala tampak terperangah kaget. Sosok putri mereka yang biasanya bersikap patuh, kini berubah menjadi seperti seseorang yang berbeda.
“Ica, jaga sikap kamu,” tegur Bunda Lala.
Alisa mendengus kesal, kemudian ia tampak mengambil ponselnya dan menunjukkan sebuah pesan dari sang ayah yang dikirimkan padanya beberapa saat lalu.
“Apa maksud pesan ini, Dad?” tanya Alisa. “Akad nikahku sama Pak Reyan bakal dilaksanain malam ini? Daddy bener-bener pengen lihat aku nangis darah, ya?” kesalnya.
“Ca, kamu tenang dulu ya, Sayang,” kata Bunda Lala. “Bunda bakal jelasin semuanya ke kamu,” timpalnya, mencoba merayu sang putri agar emosinya sedikit reda.
“Enggak ada yang perlu dijelasin, aku udah capek, aku enggak mau lagi nurutin kemauan kalian. Aku punya kehidupanku sendiri. Aku punya hak buat milih siapa laki-laki yang bakal jadi suamiku,” tegas Alisa, menatap ayah dan ibunya dengan tatapan sendu.
“Aku masih pengen ngejar impianku, masih banyak hal yang mau aku lakuin, aku belum siap mengemban kewajiban sebagai seorang istri. Kalian pikir pernikahan itu menyenangkan? Aku enggak bodoh, aku tahu pernikahan itu bukan sesuatu yang menyenangkan, banyak ujian dan beban dalam rumah tangga yang harus di hadapi, dan aku belum siap, aku belum siap!” timpal Alisa, terlihat sangat frustrasi dengan kabar mendadak dari sang ayah yang tiba-tiba memajukan akad nikahnya dengan Reyan.
“Ica.” Suara lain terdengar menyahut. Sosok Reyan dengan pakaian formalnya tampak berdiri di depan ayah dan ibunya—Reya dan Alan.
Alisa menghela napasnya berat, matanya sudah berbinar pedih, siap menangis histeris meratapi hidupnya yang rasanya sudah terikat dengan keputusan orang tuanya.
“Oke, kalau ini mau kalian. Aku lebih baik pergi dari rumah ini, dan kalau Bunda sama Daddy mau hapus nama aku dari kartu keluarga, silakan saja,” tukas Alisa.
Setelah itu Alisa langsung melangkah pergi keluar dari rumah, membuat semua orang teriris perih melihat sikap Alisa yang tidak tahu apa-apa soal pernikahan ini.
Reyan yang melihat Alisa pergi, dia langsung mengejar gadis itu, tapi sayangnya Alisa bergerak lebih cepat darinya.
Alisa masuk ke dalam sebuah taksi yang secara kebetulan melintasi rumah nenek Jessi.
“Ke Vila Azura, Pak,” ujar Alisa sembari menatap ke arah spion mobil yang memperlihatkan sosok Reyan yang tampak berdiri di depan gerbang—menatap kepergiannya dengan raut yang tak dapat dideskripsikan.
“Vila Azura, Mbak?” tanya si sopir taksi.
“Iya, Pak. Bapak tahu ‘kan jalannya?”
“Tahu kok, Mbak,” jawab si sopir taksi, tapi dari tatapan matanya—sopir taksi itu terlihat ragu. Entah apa yang membuatnya ragu.