Kepalaku tertunduk, sama sekali tak berani menatap ke depan.
“Kamu tahu ‘kan kalau kita enggak lama lagi bakal nikah, kenapa kamu masih belum putusin pacar kamu itu?” tukas Pak Reyan, menatapku dengan sorot tajamnya yang begitu lekat.
“Putusin dia,” lanjut pria itu.
Aku sontak mendongak. “Untuk apa saya putusin dia?” tukasku. Aku bahkan tidak memiliki hubungan apa pun dengan Farel. Jadi untuk apa aku memutuskannya?
“Untuk apa?” ucap Pak Reyan, menatapku dengan helaan napas beratnya. “Kamu masih bertanya untuk apa?” sungutnya.
“Kan saya sudah bilang sama Bapak. Selama Bapak masih belum sah menjadi suami saya, Bapak enggak punya hak untuk ngatur hidup saya. Lagian kalau Bapak enggak suka sama sikap saya ini, ya udah, Bapak batalin aja rencana pernikahan kita,” tegasku seraya mengalihkan pandangan darinya. Tak berani menatap manik matanya yang terasa semakin membulat tajam.
Sesaat berlalu, Pak Reyan hanya diam, sibuk menatapku dalam keheningan.
Sampai akhirnya, pria itu terdengar mengembuskan napasnya berat.
“Kamu tahu kenapa aku masih kekeh mau nikah sama kamu walaupun sikap dan sifat kamu yang seperti ini?” katanya kemudian.
Aku diam tak menanggapinya, bahkan menatapnya saja aku enggan.
“Itu karena aku mencintaimu,” lanjut Pak Reyan, yang sontak langsung membuatku menatapnya tak percaya.
Untuk beberapa detik, aku membeku. Sampai kemudian, senyum miringku terukir di depannya.
“Mencintai? Saya ragu Pak Reyan benar-benar mencintai saya atau hanya terobsesi dengan saya,” balasku, menetapnya tegas.
Aku bukan lagi sosok Alisa lima tahun yang lalu. Alisa yang sekarang tidak akan mungkin baper hanya karena ungkapan cinta seperti itu.
Faktanya, sebelum Pak Reyan ada beberapa pria lain yang juga mengungkapkan perasaannya padaku, contohnya seperti Farel.
Tapi sampai detik ini, aku masih setia menyandang status sebagai seorang perempuan lajang.
Karena saat ini, mencintai diriku sendiri adalah poin utama untuk menikmati masa lajangku. Dan itu adalah jalan ninjaku untuk hidup bahagia tanpa beban.
“Apa kamu bener-bener udah lupain aku demi pria lain? Ica, kamu bahkan belum tahu seperti apa dan bagaimana latar belakang pria itu,” ujar Pak Reyan, menatapku dengan binaran matanya yang tampak menggelap.
Aku diam tak menanggapinya. Karena menanggapi pria itu hanya akan memperpanjang perdebatan kami.
Tak lama kemudian, Pak Reyan terdengar menghela napasnya panjang. Lalu ia tampak memakai helmetnya, siap untuk pergi menggunakan motornya yang baru kusadari terparkir di halaman samping rumah nenek Jessy.
“Sekalipun kamu enggak cinta sama aku. Tapi suka enggak suka, kamu tetep bakal jadi milik aku, Ca,” tegas Pak Reyan, tatapannya tampak menyalang tajam, seperti elang yang sudah mengunci mangsanya untuk siap dia tangkap.
***
Farel menatap dirinya dari pantulan cermin di kamarnya itu dengan tatapan penuh kebencian.
Dia terus menatap dirinya hingga rasanya kaca di depannya itu hampir retak karena tatapannya yang terasa sangat tajam.
Kemudian, embusan napas berat terdengar. Tak lama dari itu, Farel tiba-tiba tersenyum, kini tatapannya terlihat berbeda, ia seperti tengah menikmati betapa indah dan rupawan wajahnya yang tampak sempurna.
“Bukankah wajah ini terlalu sempurna untuk dimiliki para wanita sialan itu?” ujar Farel seraya menyentuh pelan setiap inci wajahnya.
“Tapi ....” Sosok Farel tiba-tiba berubah marah, tangannya terkepal kuat, seperti siap menghantam sesuatu yang mengganggu dirinya.
“Kenapa wanita itu tidak menyukai kita? Harusnya dia menyukai kita. Tidak ada yang tidak boleh menyukai kita. Kita harus mendapatkannya bagaimanapun caranya,” kata Farel, diiringi seringaiannya yang terlihat menakutkan.
Tapi kemudian, Farel tiba-tiba mengerang kesakitan. Pria itu bahkan memegangi kepalanya kuat. Untuk beberapa saat ia merintih, sampai kemudian pandangannya kembali tertuju pada cermin yang ada di depannya.
“Kamu pikir, kamu bisa menguasai diriku sesuka hatimu?” lirih Farel. Kemudian dengan emosi ia meninju cerminnya hingga pecah. Karena tindakan cerobohnya itu, tangan Farel terluka dan meneteskan darah segar.
“Aku akan membunuhmu jika kamu berani melakukannya lagi. Jangan ganggu dia,” ujar Farel, dengan napas yang memburu. “Dan jangan pernah satu kali pun kamu sentuh dia. Kalau sampai dia terluka karenamu, aku tidak akan segan-segan membunuhmu,” lanjutnya, menatap dirinya sendiri dengan raut penuh kebenciannya.
Kemudian, suara ketukan pintu dari luar kamar Farel tiba-tiba terdengar, membuat Farel tampak terlonjak kaget.
Seolah mengetahui siapa yang datang, kini tatapan Farel berubah, pria itu tiba-tiba menjadi sosok pengecut. Bahkan tubuhnya sudah bergetar ketakutan saat ia membuka pintu kamarnya itu perlahan.
Dan ketika pintu terbuka, terlihatlah sosok wanita paruh baya yang merupakan ibunda Farel. Dia adalah seorang dokter psikologi yang cukup mumpuni dan dikenal oleh banyak kalangan. Apalagi beberapa tahun ini dia sudah menjadi seorang direktur utama di rumah sakit jiwa swasta yang sangat berpengaruh di kota Jakarta Pusat.
“Siapa kali ini yang ada di depan Mama?” tanya wanita paruh baya itu dengan senyum simpulnya.
Farel mundur perlahan, tubuhnya masih tampak gemetar ketakutan. Dia bahkan benar-benar mirip seperti anak kecil yang ketakutan karena ketahuan berbuat nakal di depan ibunya.
“Ah, biar Mama tebak, pasti sekarang yang ada di depan Mama adalah Viko,” ujar wanita paruh baya itu. “Benar, ‘kan?” tanyanya dengan senyum yang merekah sempurna, tapi senyum itu justru terlihat sangat menakutkan di mata Farel.
“Di mana Farel? Biarkan Mama bertemu dengannya. Mama ingin bertanya, kenapa dia melukai tangannya yang berharga itu,” ujar wanita paruh baya itu—Ines Klaudia, yang sering sekali membanggakan namanya karena memiliki arti wanita suci.
“Farel—”
“Untuk apa kamu mau bertemu dengannya?!” Suara Farel tiba-tiba berubah, kini terdengar lebih berat, dan bahkan ia melangkah maju mendekati ibunya dengan sangat berani. Tak ada lagi ketakutan yang singgah di wajahnya.
“Oh, astaga, Jhon. Kamu memang selalu datang di saat yang tepat. Karena itu aku sangat membencimu. Katakan pada Farel untuk segera menyingkirkanmu,” ujar Bu Ines, sama sekali tidak gentar dengan tatapan Farel yang terlihat seperti ingin membunuhnya.
Kemudian, Bu Ines menghela napasnya pelan, lalu ia memilih untuk keluar dari dalam kamar Farel, tanpa hirau lagi dengan tangan Farel yang terluka dan masih meneteskan darah segar.
Setelah Bu Ines keluar dan pintu kamar tertutup, sosok Farel tampak mendengus kesal.
“Harusnya aku sudah dari dulu membunuhnya,” gumam Farel, dan detik itu juga suara erangan tiba-tiba terdengar kembali dari diri Farel. Dan tak lama kemudian, tatapan Farel lagi-lagi berubah.
“Dia ibuku! Jangan berani-berani menyentuhnya,” seru Farel pada dirinya sendiri.
Lalu, pria itu duduk bersandar di dekat tempat tidurnya, dia menangis dalam diam.
Farel terus menangis hingga ia seolah lupa dengan tangannya yang masih meneteskan darah segar.