Kakiku berhenti tepat di depan pintu vila milik Farel. Sesaat aku memandang sekitar, suasana di sekitar terasa sangat sunyi, bahkan taksi yang tadi mengantarku sudah melaju pergi.
Aku menghela napas sejenak, sekali lagi memperhatikan sekelilingku sembari berpikir kembali, apakah tindakanku ini benar atau tidak.
Masalahnya, aku sama sekali tidak memberitahu Farel kalau aku akan datang ke sini. Aku langsung datang begitu saja saat ingat perkataan Farel yang menawarkan vilanya untuk menjadi tempat singgahku ketika diriku sedang tidak baik-baik saja.
Dan entah kebetulan atau bagaimana, saat ini suasana hatiku benar-benar sedang buruk. Kepalaku pening memikirkan orang tuaku yang sangat egois, mereka tanpa peduli dengan perasaanku memaksaku untuk menikah tanpa rencana.
Aku memang menyukai Pak Reyan, bahkan jauh sebelum Pak Reyan sukses seperti sekarang—aku sudah menyukainya.
Tapi, bukan alur seperti ini yang aku harapkan. Sekalipun aku menyukai pria itu, tetap saja aku tidak mau mengorbankan masa mudaku begitu saja. Apalagi aku paham betul bagaimana sifat Pak Reyan, dia akan mengekangku dalam aturan tak berujungnya,
Aku—mungkin—memang ingin menikah dengannya, tapi tidak secepat ini. Tidak sekarang.
Aku bernapas berat. Kepalaku menggeleng pelan. Aku harus berhenti memikirkan tentang masalah pernikahan paksa itu.
Lagi pula, aku datang ke tempat ini bukan untuk merenungkan masalah, tetapi untuk membebaskan kepalaku dari rasa gatal karena masalah perjodohan yang sangat membuatku kesal.
Setelah cukup lama terdiam di depan pintu, tanganku mulai bergerak menekan angka sandi pintu vila. Usai menekan empat digit sandi yang Farel bocorkan padaku, akhirnya pintu vila itu terbuka.
Awalnya, aku ragu melangkah masuk ke dalam, mengetahui suasana vila yang terasa sunyi, apalagi tempat itu berada jauh dari keramaian, vibes-nya benar-benar membuatku merinding.
Rasanya seperti mendatangi vila horor yang banyak dihuni makhluk halus.
Tapi, karena emosiku lebih mendominasi. Aku menepis ragu dan langsung masuk begitu saja.
Saat masuk, terdengar bunyi denting jam besar yang terpajang di pojok tengah ruang tamu.
Sesaat tubuhku diam mematung, menatap interior vila yang rasanya banyak sekali barang-barang antik di dalamnya.
“Siapa kamu?”
Deg.
Jantungku rasanya berhenti bekerja.
Seketika aku merasa seperti seorang maling yang tertangkap basah mencuri.
Aku pun bergerak perlahan memutar tubuhku ke arah sumber suara itu berasal.
“Alisa?” Suaranya kembali terdengar, tepat saat aku sudah menghadap ke arahnya.
Keningku berkerut, aku menatap sosok pria yang aku yakini adalah Farel.
Tapi ... anehnya penampilan Farel sangat berbeda. Penampilannya sangat dewasa. Apalagi kacamata bulat yang melingkar di di depan matanya, cukup menambah kesan seperti sosok pria pekerja keras yang berwibawa.
“Farel, gue ....”
“Aku tahu kamu pasti bakal datang ke sini,” sela Farel, mengumbar senyumnya seraya melangkah mendekatiku.
Aku tersenyum kaku. Rasanya aku sangat malu menampilkan wajahku di depan Farel. Pasalnya, tadi pagi aku berlagak menolak tawarannya, tapi kini ... aku seperti tikus kecil yang mengendap-endap masuk ke dalam tempat tinggal pria itu.
“Maaf, gue dateng ke sini tanpa kasih tahu lo,” lirihku. “Tapi, sumpah. Gue enggak bermaksud apa-apa,” terangku, mencoba menjelaskan agar pria itu tidak salah paham denganku.
“Tak apa,” kata Farel, tersenyum di depanku. “Aku justru senang kamu datang kemari tanpa memberitahuku. Rasanya seperti diberi hadiah oleh pemilik alam ini. Benar-benar sebuah kejutan yang tidak terduga,” komentarnya.
Aku meringis mendengar kalimatnya yang terasa seperti deretan kata di dalam n****+ terjemahan. Sangat baku tapi lugas.
“Jadi, apa tujuanmu datang kemari?” tanya Farel kemudian. “Mau menginap?” tanyanya lagi.
Aku terdiam memikirkan kata ‘menginap’ yang ia tawarkan.
“Ini udah mau malem, enggak mungkin kan kamu ... pulang malem-malem?” kata Farel, yang sontak langsung membuatku menoleh keluar jendela vila, dan saat itu aku sadar kalau langit sudah mulai menggelap, matahari bahkan hanya tampak sepenggal.
Perjalananku dari rumah menuju tempat ini ternyata memakan banyak waktu. Aku bahkan tidak sadar kalau aku sampai di sini pukul enam sore, menjelang magrib.
Tapi memang sih, saat sampai di sini tadi, langit sudah berubah jingga, burung-burung juga terlihat berterbangan seperti hendak kembali pulang ke rumah mereka.
“Aku siapkan kamar untukmu,” ujar Farel, padahal aku belum berkata apa-apa padanya.
Kemudian, Farel pergi begitu saja dari hadapanku. Dia terlihat naik ke lantai atas dan lenyap di balik dinding.
***
Semua orang tampak berdiri cemas di depan ruang gawat darurat.
Selang beberapa saat kemudian, seorang dokter keluar dari dalam ruang tersebut.
Lala, si wali dari pasien yang tergeletak di dalam ruang gawat darurat tampak langsung mendekat. Wajah wanita paruh baya itu tampak sembab dan penuh dengan jejak air mata.
“Bagaimana keadaan suami saya, Dokter?” tanyanya.
Dokter itu menggelengkan kepalanya. Lalu menatap sendu ke arah Lala yang sudah ambruk ke lantai.
Reya yang saat itu menemani langsung mendekat, menopang Lala yang terlihat lemas tak berdaya.
“Sean jahat, Re. Dia bilang bakal selalu ada di samping aku dan akan menua bersamaku. Tapi ... kenapa dia malah pergi tinggalin aku? Kenapa?” lirih Lala, menangis dalam kepiluan yang menyayat batinnya.
Alan yang berdiri tak jauh dari mereka merasa iba. Kemudian ia menatap ke arah Reyan yang berdiri di sampingnya.
“Apa sudah ada kabar dari Ica?” tanya Alan.
Reyan menggelengkan kepalanya. “Belum, nomornya bahkan enggak aktif,” terang Reyan.
Alan menghela napasnya berat, pria itu kemudian memilih melenggang pergi, tak kuasa melihat para wanita di depannya itu menangis berpelukan.
Reyan yang masih berdiri di tempatnya hanya diam memandang ibu dan calon ibu mertuanya yang tampak larut dalam duka.
***
Aku menatap keluar jendela, pemandangan dari kamar yang singgahi ini terlihat sangat sempurna.
Aku bahkan bisa melihat binaran bintang yang bergelantungan menemani rembulan. Sungguh teduh dipandang mata.
“Kamu suka sama pemandangannya?” tanya sebuah suara dari arah belakangku.
Aku terlonjak kaget. Lalu dengan siaga menatap sosok Farel yang entah sejak kapan masuk ke dalam kamarku.
“Farel, lo harusnya ketuk pintu dulu sebelum masuk. Kalau tadi gue pas lagi enggak pakai baju gimana?” tegurku.
“Gue tahu ini vila milik lo, tapi tetep aja harus ada jarak dan privasi di antara kita. Apalagi gue sama lo bukan mahram,” timpalku.
Farel diam tak menanggapi. Aku sampai berpikir kalau pria itu mungkin tidak peduli dengan perkataanku barusan.
Tapi selang beberapa saat kemudian, Farel tampak mengangguk pelan.
“Oke, aku minta maaf,” katanya. “Maaf udah buat kamu enggak nyaman,” lanjutnya.
Aku bernapas pelan. “Iya, enggak pa-pa. Tapi lain kali tolong jangan diulangi lagi,” pesanku, yang kemudian menutup jendela dan tirai jendela kamar itu.
Farel tersenyum tipis, lalu ia mendekat ke arahku, kemudian secangkir teh ia sodorkan padaku.
“Minum, biar kamu enggak kedinginan,” suruhnya.
Aku yang tidak memiliki pikiran buruk apa pun tentang Farel, langsung mengambil secangkir teh itu dan meminumnya habis.
“Gue mau tidur, bisa tolong lo keluar dari kamar ini?” pintaku, usai menghabiskan secangkir teh yang Farel bawakan padaku.
Tapi anehnya, saat aku memintanya pergi, Farel tampak hanya diam saja, dia malah menatapku lekat. Dan yang membuatku merasa risih adalah ... tatapannya itu terasa seperti tengah menelanjangi tubuhku yang saat ini hanya mengenakan handuk kimono lantaran aku yang tidak memiliki baju lain, selain baju yang aku pakai saat datang ke sini.
“Rel? Lo ngapain natap gue kayak gitu?” tanyaku, mencoba terlihat tenang walaupun aku mulai merasa ada yang tidak beres dengan tatapan Farel.
“Lisa, kamu pernah tidur bareng cowok enggak?” tanya Farel tiba-tiba.
Otakku hampir meledak saat ditanya seperti itu.
“Maksud lo apa, Rel?”
“Belum pernah, ya?” Dia kembali bertanya tanpa menghiraukan tanggapanku.
Kemudian, Farel melangkah maju semakin mendekatiku.
Tubuhku dengan cepat merespons sinyal bahaya. Aku langsung bergerak mundur. Otakku bahkan mulai berpikir cepat, mencari celah agar aku bisa kabur dari Farel.
“Farel, lo mau apa? Plis, lo jangan bercanda deh, lo buat gue takut,” tukasku.
“Lisa, kamu tahu enggak? Aku udah lama banget suka sama kamu. Aku juga udah dari lama deketin kamu. Aku juga udah berusaha ungkapin perasaan aku ke kamu. Tapi, kamu selalu tolak aku. Emangnya apa yang kurang dari aku?”
“Farel, lo tenang dulu, ya. Kita bicarain masalah ini baik-baik,” anjurku.
“Kita enggak perlu bicara baik-baik. Tapi, aku bakal selasain semua ini baik-baik. Kamu tenang aja, aku enggak mungkin sakitin kamu,” kata Farel.
Pikiranku mulai kacau, suara Farel terdengar parau. Tubuhku mulai bergetar cemas saat Farel sudah berdiri tepat di depan mataku. Jarak kami sangat dekat.
Detik selanjutnya, aku merasa kepalaku tiba-tiba terasa berat, pandanganku perlahan mulai mengabur.
Ada apa denganku?
Apa yang terjadi padaku?
Alisa, kamu harus menjaga kesadaranmu dan kabur dari sini.
Tapi, perjuanganku melawan pening yang menyerang kepalaku berujung sia-sia.
Rasa pening ini semakin terasa pekat.
Sebelum semuanya menjadi gelap, aku melihat Farel tampak tersenyum padaku sembari membuka kancing kemejanya satu demi satu.
Senyum Farel sangat tampan tapi juga terlihat sangat menakutkan. Seperti senyum seorang psikopat yang menemukan mangsanya.
Denting pecahan cangkir teh yang terlepas dari tanganku menjadi akhir dari kesadaranku. Setelah itu, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku.