Suara gelak tawa terdengar membahana keras dari dua gadis yang tengah mengobrol bersama.
Namun, tawa itu tak berlangsung lama ketika seorang pria tiba-tiba menghentikan mobilnya di depan mereka.
“Alisa.” Sapaan itu membuat Alisa seketika diserang rasa canggungnya.
“Mau pulang, ‘kan? Aku anter, ya?” tawar pria itu, Farel.
Abel mengernyit heran, ini adalah sesuatu yang langka, seorang Farel mengajak sahabatnya untuk pulang bersama? Sungguh sesuatu yang sangat luar biasa. Apalagi Farel adalah seorang pria primadona di kampusnya.
“Gu-gue pulang sama Abel, lo duluan aja, Rel,” tolak Alisa, sehalus mungkin.
“Eh, gue masih ada urusan di kampus, lo duluan aja sama Farel,” suruh Abel.
“Urusan apaan sih? Perasaan lo tadi bil—”
“Eits ....” Abel dengan sengaja mencegah Alisa untuk tidak bicara. “Buruan lo masuk ke mobilnya Farel, sini gue bukain pintunya,” kata Abel, yang dengan jahilnya langsung membuka pintu mobil Farel dan mendorong tubuh Alisa agar masuk ke dalam mobil tersebut.
Setelah Alisa masuk, Abel bergegas menutup pintu mobil itu, kemudian ia memberikan aba-aba pada Farel agar lekas membawa Alisa pergi.
Alisa yang dipaksa masuk pun hanya bisa pasrah, ia tak henti-hentinya merutuki kejahilan Abel yang membuatnya ingin sekali mengumpati gadis itu sepanjang hari.
“Kamu udah makan belum?” tanya Farel sembari fokus pada kemudinya.
“Ya?” Alisa gelagapan ketika Farel tiba-tiba mengajaknya bicara di saat dirinya tengah sibuk menyumpahi Abel di dalam benaknya. “Ma-maaf, kamu tadi bilang apa? Aku enggak denger,” cicit Alisa.
“Kamu sudah makan belum?” ulang Farel.
“Oh, itu, udah kok,” jawab Alisa.
Kemudian, hening. Farel tampak diam tak menanggapi.
Tapi, selang beberapa saat kemudian. Farel terdengar mengembuskan napasnya berat. Sekilas Alisa melihat pria itu tampak memijat pelipisnya pelan.
“Farel, kamu enggak pa-pa?” tanya Alisa, takut kalau Farel sedang sakit dan tidak fokus mengendarai mobil tersebut.
“Harusnya kamu jawab belum,” kata Farel tanpa menoleh ke arah Alisa. “Aku mau ajak kamu makan bareng,” lanjutnya. Sebuah tanggapan yang terdengar aneh.
Alisa mengernyit heran, tapi dia masih berusaha untuk tetap tenang, karena itu Alisa hanya diam dengan perasaan canggungnya yang terasa semakin kental.
Sampai beberapa saat berlalu, tidak ada obrolan di antara keduanya, yang terdengar hanya deru suara mobil Farel dan juga kendaraan lain yang melintasi jalan yang sama.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, Alisa mulai merasa heran karena jalan yang mereka lewati semakin lama justru semakin terlihat asing, seolah dia berada di daerah lain yang sebelumnya belum pernah ia kunjungi.
Alisa pun menoleh ke arah Farel yang masih fokus pada kemudinya.
“Farel,” panggil Alisa. “Kita mau ke mana?” tanyanya.
Namun, pertanyaan Alisa seperti sebuah angin lalu yang tak dapat didengar oleh Farel. Pasalnya, Farel sama sekali tidak memberikan respons apa pun, pandangan pria itu bahkan terus menatap lurus ke depan.
Dan, yang membuat Alisa mulai gelisah, aura yang Farel pancarkan terasa sangat gelap, Alisa bahkan mulai merasa kalau Farel seperti orang asing.
Tapi, sekalipun dirinya dilanda rasa takut, Alisa masih berusaha untuk bersikap biasa. Dia bahkan kembali memanggil Farel.
“Farel.” Alisa memanggil seraya mengguncang pelan tubuh pria itu, berpikir kalau Farel mungkin saja tengah mengemudi sambil memikirkan sesuatu, hingga membuat pria itu tak mendengarkannya.
Tapi, walaupun Alisa sudah mengguncang pelan tubuh Farel, pria itu masih saja diam bergeming
Farel seolah sengaja diam dan tak menghiraukan perkataan Alisa. Dan yang membuat Alisa mulai cemas adalah ... senyum Farel yang tiba-tiba terukir, sebuah senyum seringaian yang membuat Alisa langsung bergerak mundur, menjauhkan tangannya dari tubuh laki-laki itu.
“Farel, kamu marah ya sama aku?” tanya Alisa, dan tentunya pertanyaannya itu sama sekali tidak mendapatkan respons apa pun.
Alisa akhirnya memilih diam, tapi tangannya tampak bergerak gelisah. Gadis itu seperti mencari sesuatu di dalam tasnya. Handphone, Alisa mencari benda itu, tetapi rasanya sulit sekali baginya menemukan benda yang padahal sebelumnya selalu ada di tangannya.
Sampai kemudian, mobil yang dikendarai oleh Farel tiba-tiba berhenti secara mendadak di tepi jalan raya yang cukup sepi.
Alisa sempat kaget, untung saja ia mengenakan sabuk pengaman, kalau tidak, mungkin sekarang kepalanya sudah berdarah terbentur dashboard mobil.
“Farel, kenapa kam—” Alisa terdiam saat ia melihat Farel tampak memegangi kepalanya. Pria itu memang tidak terdengar mengerang kesakitan, tapi dari raut wajahnya yang seperti tengah menahan rasa sakit, Alisa tahu kalau Farel sedang tidak baik-baik saja.
“Farel kamu kenapa?” tanya Alisa, tangannya secara refleks bergerak—hendak menyentuh kepala Farel yang terus dipegangi erat oleh pria itu.
Namun, baru beberapa detik Alisa menyentuh kening Farel, tiba-tiba saja Farel menepis tangan Alisa cukup keras.
“Keluar,” suruh Farel tanpa melihat ke arah Alisa.
“Tapi kamu ....”
“Aku bilang keluar,” tegas Farel.
Alisa akhirnya dengan ragu keluar dari dalam mobil tersebut. Dan tak lama setelah Alisa keluar, di dalam sana Farel terlihat menarik rambutnya kuat, ia bahkan terdengar mengerang dan meracau aneh.
Di luar mobil, Alisa hanya bisa diam memperhatikan Farel yang seperti tengah kesakitan. Alisa ingin menolong, tapi ia juga takut dengan sosok Farel yang sekarang.
“Apa yang sebenarnya terjadi,” lirih Alisa.
Setelah beberapa saat berlalu, Farel terlihat mulai tenang. Pandangan pria itu kemudian terarah pada sosok Alisa yang masih setia menunggunya di luar.
Melihat tatapan mata Farel yang sekarang, Alisa merasa sedikit tenang.
Tatapan teduh Farel yang mampu membuat para gadis luluh telah kembali lagi. Sosok Farel yang dia kenal seolah telah kembali merasuk ke dalam tubuh pria itu.
“Farel, kamu baik-baik aja?” Alisa mencoba mengajak Farel untuk bicara. Tapi, bukannya menanggapi perkataan Alisa, Farel justru terlihat menghela napasnya pelan dan menatap Alisa dengan raut wajah penuh rasa bersalahnya.
Kemudian setelah itu, Farel tampak menghidupkan mesin mobilnya kembali, dan meninggalkan Alisa begitu saja.
Alisa bernapas pasrah saat ia melihat mobil Farel yang sudah melaju cepat menjauh darinya, gadis itu kemudian melihat ke sekitar, tidak ada banyak kendaraan yang melintas di daerah ini. Alisa pun mulai cemas seorang diri.
Sampai kemudian, Alisa memutuskan untuk memesan taksi online. Tapi, belum sempat Alisa mengambil ponselnya, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di dekatnya.
Kaca jendela mobil itu perlahan terbuka, dan seorang pria paruh baya yang mengemudikan mobil berwarna silver itu tampak tersenyum ramah padanya.
“Alisa Adijaya Putri?” kata si pengemudi.
Alisa mengernyit heran, ia ragu untuk menjawab.
“Saya taksin online, dipesan sama akun atas nama Farel. Katanya saya harus mengantarkan seorang perempuan di lokasi ini,” terang pria paruh baya itu, kemudian ia tampak menyodorkan ponselnya ke arah Alisa. “Kalau mbaknya ragu, ini silakan lihat sendiri pesannya.”
Alisa pun lantas mengambil ponsel tersebut, lalu ia melihat semua isi percakapan Farel dengan si sopir taksi itu di laman chating aplikasi taksi online.
Dan memang benar apa yang dikatakan taksi online tadi, bahwa yang memesan layanan taksi online untuk mengantarkannya pulang adalah Farel.
Namun, saat melihat pesan tersebut, ada yang membuat Alisa merasa aneh.
Di dalam percakapan tersebut, Alisa melihat Farel mengirimkan fotonya dengan tujuan agar si sopir taksi online itu bisa mengenalinya. Hanya saja, foto yang dikirimkan itu seolah diambil tanpa sepengetahuannya, seperti foto hasil jepretan dari seorang stalker.
Farel ... tidak mungkin ‘kan dia seorang penguntit? Apalagi menguntit gadis biasa seperti dirinya.
Alisa menggelengkan kepalanya pelan, ia merasa dirinya terlalu banyak berpikir.
“Mbak?” panggil si sopir taksi, menyadarkan Alisa dari lamunannya.
“Ah, maaf, Pak. Ini hapenya,” ujar Alisa, segera menyerahkan ponsel tersebut kembali pada pemiliknya.
Setelah ponsel diserahkan, Alisa lalu masuk ke dalam taksi tersebut.
“Alamat rumahnya apa benar sesuai sama yang ditulis di pesan itu, Mbak?” tanya sopir taksi saat Alisa sudah duduk di kursi belakang.
“I-iya, Pak,” jawab Alisa sembari menghela napasnya pelan. Dia bahkan tidak menyangka kalau Farel juga mengetahui alamat lengkap rumahnya.
Tapi, jika Farel memang mengetahui alamatnya, kenapa pria itu tidak langsung mengantarkannya pulang dari tadi? Kenapa Farel malah membawanya pergi ke arah yang berbeda.
Apa yang sebenarnya terjadi? Alisa sungguh dilanda rasa bingungnya.
***
“Alisa.” Panggilan itu menyadarkanku dari lamunan.
Aku yang baru saja tiba di rumah mendapati Abel tampak melambaikan tangannya ke arahku.
“Padahal tadi aku sangat bersemangat ingin menceramahinya, tapi sekarang ... tiba-tiba aku merasa pikiranku sudah sangat rumit.” Aku bergumam—berbicara pada diriku sendiri—seraya melangkah menuju ke arah Abel yang berdiri di dekat teras rumah nenekku.
“Lo kok lama banget sampainya? Gue yang pulang naik bus aja udah dari tadi sampai sini,” komentar Abel.
Aku menatapnya sesaat, lalu kemudian melewatinya begitu saja tanpa berniat menjawab.
“Lisa, ih, gue belum selesai bicara sama lo,” cegah Abel, menahan lenganku untuk tidak pergi dari hadapannya. “Gue tebak, lo pasti mampir ke restoran mahal dulu buat makan siang bareng Farel, ‘kan?” terka Abel.
Aku bernapas berat. Oh, Abel. Andai saja dia tahu apa yang sudah aku lewati sampai akhirnya aku bisa pulang ke rumah, dia pasti akan sangat terkejut.
“Lo bilang tadi ada urusan di kampus, ‘kan? Ya udah sana pergi ke kampus, gue mau istirahat,” tukasku.
“Lo marah karena gue dorong lo masuk ke mobil Farel?"
“Bel, gue capek, gue mau istirahat,” jawabku, menampilkan raut wajah tak bersemangat, pertanda bahwa aku memang benar-benar sedang tidak ingin diganggu.
Abel menghela napasnya pelan, lalu menatapku dengan bibir tertekuk. “Lo beneran marah,” terkanya. “Oke deh, gue pulang. Tapi, btw, gue minta maaf kalau lo marah gara-gara gue paksa lo pulang bareng sama Farel,” lirihnya, terdengar sangat menyesal.
Aku tak menanggapi, mulutku seolah terkunci rapat dan enggan menjawab permintaan maaf yang Abel tuturkan.
Tak lama setelah itu, Abel melangkah menjauh dari rumah nenekku.
Setelah Abel pergi, aku menghela napas pelan dan melangkah menuju pintu rumah.
Namun ....
“Jadi kamu pulang bareng pacar kamu?” Suara itu tiba-tiba terdengar, membuat jantungku terasa merosot bebas.
Aku tahu siapa pemilik suara ini.
Dan benar saja, saat aku menoleh Pak Reyan tampak bersandar pada tiang penyangga rumah. Entah sejak kapan dia bersembunyi di sana, tapi kupastikan dia pasti menguping obrolanku dengan Abel beberapa saat lalu.