Setiap pagi aku masih melihat penyelam-penyelam itu, mereka menyelinap di antara dinginnya pagi ketika para nelayan air tawar dan pengepul ikan sudah pergi dari danau. Mereka mulai mencari Hasan. Aku membaca di perpustakaan sekolah tentang benda mengapung dan tenggelam. Layaknya ikan-ikan ya mati, seharusnya kalau Hasan mati tenggelam jasadnya akan mengapung juga. mayat paman Jaka juga di temukan mengapung. Kenapa mayat hasan tidak mengapung ? Jangan-jangan mayatnya sudah ditemukan dan dikubur diam-diam atau jangan-jangan dia sebenarnya masih hidup, dia hanya tidak mengembalikan rakit ke dermaga. Lalu arlojinya yang tersangkut ?
Sudahlah. Hayalanku pagi ini di buyarkan dengan teriakan Riang.
“A—pa..itu ? IBUK…”
Ibuk keluar tersandung-sandung baju tidurnya sendiri. Aku berdiri di belakang mereka. Aku melihat darah di lantai tapi benda itu masih tertutup kaki Riang dan Ibuk. Aku mendekat. “Mor—“ aku tercekat melihat Moris penuh darah.
Aku memeluk ibuk dan menangis. Aku memejamkan mata ketakutan. Di depan pintu rumah kami tergeletak dengan penuh darah KEPALA MORIS. Oh Rusaku yang sangat baik. Aku memeluk ibuk sesenggukan aku sangat kaget. Siapa yang tega melakukan itu pada moris ?
“Tidak ada tulisan apa-apa. Cuma kepala rusa” guamam Riang mencoba menginformasikan.
Aku tidak mau melepaskan pelukanku. Aku memejamkan mataku tidak mau melihat Moris dalam keadaan seperti itu “Rusa-rusa di hutan tidak boleh diburu” gumam ibuk “Riang tutup pintunya” akhirnya dia menyuruh Riang menutup pintunya. Aku sudah sangat gemetar. Ibuk memberiku segalas ari putuh.
“Itu Cuma rusa” Riang keliatan tidak suka dengan reaksi berlebihanku. Bukankah mereka harusnya mengerti nyawaku terancam. Aku melihat ibuk dengan mata meminta tolong agar dia melakukan sesuatu.
“Lyan” dia mengecup keningku dengan sayang “Jangan terlalu khawatir, benar kata Riang itu Cuma rusa”
ITU RUSAKU ITU SAHABATKU MORIS !!! tidak adakah yang bisa lebih pengertian padaku hari ini ? Aku benci sekali mereka menyepelekan semua teror yang jelas-jelas datang untukku. Untukku si anak yang melihat Hasan sore itu dan si anak yang melihat pembunuhan bapaknya.
Aku mendorong ibuk dengan kecewa. Sangat kecewa. Aku masih kecil bagaimana caraku mencari tahu siapa yang menerorku ini. Bukankah seharusnya kami mengadu pada tetua desa ? Aku berlari kembali kekamarku. Menutup pintuku rapat-rapat.
“Lyan..Lyan jangan seperti ini”
“Hi kenapa kamu marah pada kami” aku mendegar sura Riang. Riang menendang pintu kamar kami dengan kasar.
Aku minta waktu sendiri tolong. Jangan ganggu aku. Sahabatku baru saja di bunuh dan kepalanya di taruh di depan pintu rumahku. Mata moris yang terbuka tanduk-tanduknya yang melilit rumit di kepalanya seperti mahkota. Oh Moris. Hari itu mungkin benar aku mendengar suaranya. Dia menyuruhku lari.
“Biarkan Riang, biarkan dia tenang dulu ! bersihkan saja kepala rusa itu buang ke suatu tempat”
Apa ? Ibuk akan membuangnya ? membuang disuatu tempat katanya ? Dia ingin memperlakukan sahabatku seperti benda yang tidak berarti. Aku membuka pintu kamarku. Aku menarik nafas dengan getir melihat dua personil keluargaku yang masih tersisa.
Aku menelan ludah ketika mendapatkan kalimat ini di kepalaku mungkin memang aku akan dibunuh. Mungkin cepat lambat aku akan mati seperti bapak. Aku bersumpah, orang jahat yang berdiri di belakang semua ini harus membayar apa yang dia lakukan padaku. Tadinya aku hanya seorang anak kecil yang sedang menikmati masa kecilku tapi mereka telah merenggutnya dariku. Menyisakan dendam yang memukul-mukulku setiap hari.
Aku menarik seprai kasurku yang degelar di atas kasurku begitu saja oleh ibuk. Aku menggeret sepraiku. Ibu menahan nafas melihatku. Aku mengumpulkan semua kekuatanku untuk membuka pintu. Dan Moris masih disana. Matanya yang besar hitam bulu-bulunya yang putih ternodai oleh darahanya sendiri. Dengan tangan gemetar aku menutup kepalanya dengak sepraiku. Aku menguatkan diri untuk mengangkat kepalanya. Memeluk kepalanya. Aku terisak. Moris. Dulu aku membelainya sambil merasakan hembusan nafasnya yang hangat. Sekarang dia tidak bernafas lagi, dia bau darah.
Aku memeluknya. Aku bertekad agar menguburkannya dengan layak. Itu masih sangat pagi, di luar masih gelap. Sambil memeluk moris aku berjalan tanpa penerangan apapun menuju jalan setapak. Tekatku sudah bulat aku tidak peduli. Aku tidak peduli si penembak itu masih berdiri di belakang pohon atau tidak. Aku tidak peduli kalau sekarang dia sedang memusatkan ujung pistolnya pada kepalaku. Aku tidak peduli, toh aku akan mati.
“Lyan..Lyan…Lyan..” Ibuk memegang bahuku nafasnya memburu karena berusaha mengejarku “Lyan ini sangat pagi sekali, belum ada matahari kalau berjalan lebih ke atas hanya ada kabut saja” Dia menggenggam tanganku “Biar ibuk, biar ibuk yang menguburnya. Tidurlah kamu di dalam. Tidak masuk ke sekolah hari ini tidak apa-apa. Ayo Lyan masuk dulu” dia keliatan ketakutan dia melihat kekiri dan kekanan “Lyan orang itu mungkin masih di luar sini. Ayo Lyan”
Aku menarik tanganku. Kalau dia takut aku mati, kenapa dari kemarin-kemarin dia mengatakan kalau ini cuma perbuatan orang iseng. Kalau saja ibuk tahu apa yang dia katakan tidak menenangkan sama sekali. Aku akan mati buk, percuma menutup mata dan pura-pura tidak tahu.
Aku menepis tangan ibuk kuat-kuat dan kembali melanjutkan langkahku. Kabut benar-benar pekat.
Ibuk kembali mengejarku “Lyan astaga Lyan…” Sekali lagi dia menarik tanganku, kali ini cengkramannya di lenganku sangat kuat “DENGARKAN IBUK LYAN. KAMU TIDAK MAU MENDENGARKANKU BARANG SEKALI SAJA. NYAWAMU DALAM BAHAYA ANAK BODOH” Dia keliatan sangat marah “Aku tidak mau kehilangan anggota keluargaku satu lagi” Matanya berkaca-kaca “Lyan tolonglah..” katanya putus asa
“Kemuning” suara perempuan datang dari balik pohon. Kami menyipitkan mata untuk melihatnya sesungguhnya dia agak mengerikan dengan tudung hitamnya dan pakaiyannya yang serba hitam. Dia mendekati kami. Rambutnya di kepang kuda, ada beberapa helai rambut yang menjutai di bahunya, gagal untuk di kepang. Rambutnya berwarna perak. Sepagi ini dia sudah menggunakan pewarna bibir yang merah di bibirnya yang keriput. Kukunya diberi warna senada dengan bibirnya.
Ibuk tertunduk, dia keliatan sangat hormat “Dia ingin mengubur rusanya di pemakaman”
Aku melihat garis bibir Juru Kunci itu tersenyum padaku. Aku tidak dapat jelas melihat ke dalam matanya “Berikan padaku biar aku yang mengubur temanmu” ujarnya mengulurkan kedua tangannya yang keriput berkuku merah
Aku ragu memberikannya, tapi dia punya suara yang menakutkan dan aura yang berbeda. Dia memiliki kemampuan membuat semua orang tunduk padanya. Tapi aku tidak mau menyerahkan kepala Moris padanya, dia bisa saja membuang Moris di jurang.
Aku menggeleng “Lyan…” Ibu jengkel padaku Dia menunduk agar bisa berbisik di telingaku “Dia Juru Kunci Lyan, Dia memperlakukan semua hewan dan tumbuhan di lembah rawa dengan baik. Jangan sembarangan !”
Aku masih menggeleng. Dia menyibak tudung kepalanya, dengan gerakan yang anggun “Sayang” dia berujar sangat lembut. Aku bisa melihat matanya yang cantik. Ternyata lisptik merah sangat cocok buatnya. Di bawah penerangan seadanya senter ibuku dan lentera yang dia bawa. Aku sadar dia seorang nenek yang cantik. Baunya seperti mawar. Dia tidak berbau seperti perempuan tua “Semua binatang bahkan tumbuhan berhak mati dengan cara yang baik. Tapi dia memiliki takdirnya sendiri-sendiri yang harus di lakukan oleh kita yang hidup adalah menghormatinya, menghormati hidup yang pernah dia jalaninya, untuk itu kita memang harus menguburkan semua binatang. Tapi tempatnya bukan di sana” dia menunjuk bukit di mana pemakan berada “Aku tahu tempat yang lebih baik. Yang bisa membuatnya lebih berguna” Dia tersenyum
“Maaf ibu, anakku tidak berbicara lagi” Ibuku menjelaskan. Aku melihatnya dan dia sedang menunduk tidak bisa melihat Sang Juru Kunci. Kenapa ? Aku melihatnya lurus ke dalam mata teduhnya. Apa yang salah ? Tunggu. Dia memanggil orang ini apa ? Ibu ?
“Aku tahu Kemuning, aku tidak mengharapkan dia balas berbicara padaku aku Cuma mau pengertian gadis kecil cantik ini”
Kedua tangan ibuk mengepal, dia keliatan sangat marah. Ada apa dengannya ?
Aku melihat matanya, kami saling pandang. Ada keteduhan di matanya keteduhan yang membuat semuanya tenang semuanya nampak lembut nan indah di wajahnya “Ayo sayang berikan padaku”
“Kumohon Lyan jangan mempersulit”
Aku benci kata-kata itu. Dengan kasar aku memberikan kepala moris beserta sepraiku yang membungkus kepalanya kepada wanita itu. Dan berlari pulang sambil menangis.
***
Ibuk kelihatan bingung setelah hari itu, dia larut dalam pikirannya sendiri. Terduduk merana memandangi sayur-sayurnnya dengan tatapan kosong. Kopi yang di buatnya tidak di minumnya sama sekali.
Aku melihatnya sesekali, lalu menundukan pandanganku terfokus pada wortel-wortel yang harus ku bersihkan. Riang bertugas membuat ikatan-ikatan pada sayur. Biasanya ibuk memetik sayur sendiri di sebrang danau tapi semenjak bapak meninggal. Dia meminta petani ladang yang memetikannya dan membawakan pada ibuk. Bisa dibilang pekerjaan sah ibukku saat ini adalah pengepul sayuran.
Riang bertanya pada Ibuk “Ibuk kentangnya mau di bersihkan atau di biarkan saja ?” soalnya kentang itu sudah keliatan bersih. Biasanya ibuk tetap membersihkan kentang. “Kentangnya sepertinya sudah dibersihkan petaninya buk” aku melihat ibuk, tatapannya mengarah jauh kebelakang Riang “Ibuk…” Riang menyadari hal yang sama denganku. Ibuk jadi kebanyakan bengong akhir-akhir ini “buk..” panggilnya sekali lagi dengan halus
“Ah” dia tergagap kaget, seperti dibangunkan dari tidur yang sangat nyenyak “Iya..iya.., gimana ?”
“Ini kentangnya mau di cuci lagi ?” Riang menunjukkan kentang-kentang yang dinilainya sudah sangat bersih untuk di jual. Dia membuka sedikit karung kentang untuk di tunjukkannya pada Ibuk.
“Cuci lagi Riang” Dia melihat karung kentang yang tinggi dan nampak berat untuk seorang gadis berusia hampir 17 tahun “Sedikit-sedikit aja, di bersihkan pakai bakul” Ibuk menujuk ke arah dapur, ada tumpukan bakul yang biasa di gunakan untuk membersihkan kacang-kacangan.
Mataku tidak bisa kulepaskan dari ibuk. Melihatku ibuk tertunduk. Wajahnya sangat lesu “Lyan kalau capek kamu istirahat aja”
Aku menggeleng. Aku harus menyelesaikan tugasku mengurus wortel-wortel ini. Aku teringat moris. Aku ingin bercerita pada siapapun tentang dia. Semoga Juru Kunci itu dapat di percaya. Kenapa ibuk tidak mau melihat wajahnya ? apa semua orang tidak boleh melihat wajahnya ? Lalu kenapa dia membuka penutup wajahnya padaku ?
“Lyan kamu tahu Juru Kunci itu apa ?”
Aku menggeleng. Aku sama sekali tidak punya informasi apapun tentang juru kunci yang kutahu dia punya sihir untuk membuat kubur seseorang keliatan indah.
“Dia penyeimbang di lembah ini”
Aku mengangguk. Tidak benar-benar mengerti apa maksud ibuk dengan “penyeimbang”. Seperti timbangan begitu ? aku melihat ke arah timbangan di sebelahnya. Dia tersenyum. Lalu dia menaikkan beberapa kentang ke timbangan berwarna emas, menaikkan satu pemberatnya, dia mengurangi isinya sehingga timbangan itu dapat rata dan tidak berat sebelah “Pemberat ini juru kunci itu dan kentang ini adalah semua isi Lembah Rawa termasuk kamu dan ibuk, termasuk danau termasuk pohon termasuk teman-teman rusamu” Dai mengulang kalimatnya “Seimbang”
“Kehidupan di Rawa ini seimbang karena dia. Sang Juru Kunci sangat di hormati Lyan. Semua orang di lembah ini mendengarkan ucapannya termasuk Tuan Tanah”
Ibu kehilanga kata-katanya, solah kalimatnya kini bertebaran di langit-langit rumah kami. Dia menengadah ke atas untuk kembali menemukan kata-katanya “Dia mengharapkan sesuatu darimu”
Apa ? aku bertanya tanpa suara, hanya tatapanku saja yang mengartikannya
“Ibuk” Riang datang dari arah pintu, dia mengangkut kentang yang baru di cucinya untuk di keringkan “Buk di luar ramai sekali. Orang-orang petani teh di atas turun. Banyak sekali”
Ibuk tidak melanjutkan kata-katanya. Apa yang diinginkan Sang Juru Kunci dari ku. Apa yang ku punya memangnya ? Ibuk berbicara dengan salah satu petani teh. Dia keliatan seirus. Ibuk memeluk dirirnya sendiri. Berhati-hatilah di lembah ini kalau keluar dengan kulit terbuka, ibuk memeluk dirinya sendiri degan lengannya. Di luar dingin. Hari hampir petang.
Percakapan ibuk dengan petani the itu akhirnya berakhir, ibuk kembali ke dalam rumah dengan raut wajah sedih “Terjadi lagi” katanya pada kami. Lalu tatapannya berakhir padaku. Menyiratkan kehwatiran yang dalam. Dia memikirkan sesuatu ketika melihatku. Matanya penuh rahasia “Nenek Kurnia mati. Kaki tangan nyonya Rumi. Dia yang merawat Hasan sejak kecil”
Aku dan Riang saling pandang. Riang menatapku dengan marah. Aku teringat pada Arloji Hasan yang kuberikan pada nenek itu. Ini berkaitan dengan Hasan. Pembunuhan ini akan mengarah padaku. Aku yakin. Bapak benar seharusnya aku tidak memberi tahu siapapun soal Hasan. Secarik kertas yang ku tulis untuk nenek Kurnia mungkin ditemukan orang.
“Lyan…”
Ibuk memanggilku tapi tidak ku tanggapi. Pikiranku melayang-layang tak karuan
Bibik Rukaya kembali ke rumah kami, dengan wajah duka yang sama seperti saat dia mengabarkan kematian paman Jaka “Juru Kunci punya acara berhari hari untuk menguburkan saja. Ada apa dengan lembah ini Kemuning ?” tanyanya risau pada ibuk yang jelas-jelas tidak tahu menau
Ibuk menggeleng dengan sedih. Bibik Kurnia enak saja bertanya pada ibukku dengan memunculkan wajah bak seorang korban pada ibuk. Sejatinya keluarga kamilah yang jelas-jelas korban.
Ibuk mengambil sweter tebal tebruat dari wall. Berkancing besar-besar di depan. Bagian lengan sweter itu sudah sobek, benang-benang wall keluar menjulur dari sana. Tapi ibuk suka dan nyaman menggunakan sweter itu. Dia selalu berpesan pada Riang untuk menjagaku. Riang mengangguk, tidak mau membuat ibuk marah, aslinya dia tentu saja tidak akan sudi menjagaku lagi. Dia sudah mengklem aku bukan keluarganya lagi.
Aku berencana menuliskan sesuatu untuk ibuk. Untuk itu aku harus menyelesaiakan semua wortel-wortel ini dan ke meja belajarku untuk menulis.
***
Untuk ibuk Ibuk aku dalam bahaya kan ? Tidak apa-apa sungguh tidak apa-apa. Aku siap menghadapi mereka
Aku berpikir lagi ? Aku siap. Maksudku di sana aku siap mati. Aku siap menyusul Bapak. Karena rasanya tidak mudah menghadapi mereka. Paman Jaka dan Bapak yang lebih perkasa dari aku aja mati, apa lagi aku, aku hanya anak kecil umur sepuluh tahun. Bukan cuma bapak dan paman Jaka, bahkan nenek Kurnia yang memiliki pengaruh di perkebunana kuswardi pun mereka bunuh. Aku sering memikirkan itu. Tapi aku tidak mau ibuk sedih ketika membaca surat ini. Aku hanya ingin menjelaskan sebenarnya akulah yang mereka incar.
Ibuk ini semua ada kaitannya dengan aku yang melihat Paman Hasan di danau. Mereka semua yang mati tahu Paman Hasan tidak "mati" karena kecelakaan pesawat. Aku memberi tahu Bapak. Bapak Di bunuh. Aku yakin Paman Jaka juga melihat Paman Hasan di danau Jumat itu, karena dia tIdak percaya dengan mitos malam Jumat, dia tidak pernah libur menjaring. Dia juga dibunuh buk. Nenek Kurnia. Aku memberi tahunya tentang Paman Hasan. Aku memberikannya Arloji Paman Hasan yang kutemui tersangkut di rakit. Dia juga di bunuh. Selnjutnya adalah aku buk…., mereka mengicarku.
Aku melipat papyrus yang sangat keras itu menjadi empat. Ku lipat semakin kecil. Ku sobek-sobek sisa papyrus yang tidak tertulisi. Aku pastikan Papyrus itu muat masuk di dompet ibuk. Ibuk akan membaca ini suatu hari nanti. Mungkin saja besok tapi mungkin saja setelah aku tiada.
***