Kami masih terdiam merasakan angin malam dari jendela yang terbuka di kulit kami. Aku melihat sebuah bayangan dari belakang dindingku bergerak-gerak. Dia masih disana berdiri di belakang tembokku ! Aku meraih tangan Riang yang masih mematung. Cepat-cepat keluar dari kamar kami. Aku berlari melintasi ruang tamu menuju dapur. Ku ambil pisau dapur yang selalu diselipkan ibu di bawah kompor.
“Lyan” suaranya tercekat, memanggil namaku ketika aku mengambil pisau dapur.
Aku tidak menghiraukan Riang. Aku mendorong Riang ke dalam kamar mandi, aku ikut masuk dan mengunci kamar mandi. Kamar mandi kami ada di dalam rumah. Tidak seperti kebanyakan penduduk lembah ini yang memiliki kamar mandi terpisah. Kamar mandi didalam rumah ini menjadi syarat dari ibuk ketika bapak meminangnya.
Aku dan Riang saling tatap di dalam kamar mandi sempit kami. Nafas kami memburu ketakutan. Riang melihat pisau yang kupegang dengan ngeri. Ingin sekali aku bilang pada Riang kalau inilah maksud ibuk. Inilah maksudnya meminta Riang menjagaku. Ibuk sudah tahu aku diincar. Aku menelan ludahku sendiri menyadari hal itu.
“Lyan mereka…” Aku membungkam mulutnya. Bisakah dia diam ? untuk saat ini berkompromilah denganku. Aku tidak mau melihat darah lagi. Sungguh !
Matanya nyalang, dia mendorongku. Mengerti memang dia harusnya diam. Riang mau menangis. Aku tidak bisa menangis. Pikiran aneh-aneh mendatangi kepalaku. Seperti kalau dia mendobrak pintu hal apa yang pertama kali kulakukan untuk melindungi diriku dan Riang. Menusuk perutnya ? Seperti yang mereka lakukan pada bapakku. Atau lehernya ? sebagaimana orang motong ayam...
Aku merasakan tanganku digenggam Riang. Tangannya sangat dingin. Dia ketakutan. Aku memberi isyarat agar dia diam. Kamar mandi ini kini jadi bau kami. Tidak terasa kami sudah saling tatap dalam ketakuan hingga beberapa menit.
Akhirnya kami mendengar suara Ibuk “RIANG BUKA PINTUNYA”
Riang tidak berpikir. Mungkin dia pikir kami sudah melewati menit-menit mencekam. Aku loncat mengikutinya. Aku melihat ke sekeliling ketika Riang membukakan pintu untuk Ibuk. Tidak ada siapa-siapa.
“Kalian kenapa..” dia melihat Riang berkeringet, sangat pucat dan ketakutan. Dia melihatku memegang pisau “Ada apa ?” kali ini ada tekanan penuh kesungguhan di suaranya
“Seorang melempar jendela kamar kami dengan batu bertuliskan mati”
Tanpa komando, ibuk berjalan dengan langkah besar menuju kamar kami. Batu itu masih disana tergelatak di lantai. Dia melihat kaca jendela yang pecah “Astaga”
Riang memeluk ibuk “Aku takut sekali buk” Dia terisak, dia merasa lega karena ibuk sudah datang. Paling tidak ada orang dewasa yang bersama mereka sekarang.
Ibu menoleh padaku. Aku diam membeku di sana. Tanganku masih menggenggam pisau. Pertanyaanku masih sama. Apa mereka mengincarku karena ada hubungannya dengan Hasan ? atau sesuatu memang sedang terjadi di lembah ini.
***
Bibik Rukayah datang berrsama suaminya paman Sayarif. Sementara paman Syarif memperbaiki kaca jendelaku yang pecah. Ibuk dan bibik Rukaya membuat makanan untuk kami. Riang sedang menimba air untuk memenuhi bak mandi di kamar mandi.
Aku mengupas bawang-bawang yang betebaran dilantai untuk dibawa ibuk pergi ke pasar besok. Di sela-sela memasak dan aktifitas kami dirumah aku mendengar mereka membicarakan paman Jaka “Aku melihat sendiri mayatnya” ujar bibik Rukaya karena ibuku tidak menggubris asumsinya kalau paman Jaka bernasip naas sama seperti bapakku. Dia di bunuh orang “Eh, jangan bodoh !” padahal dia sedang berbincang santai dengan ibuk tapi tangannya mengayun-ayunkan spatula kayu ke wajah ibuk seakan mau memukul ibuk dengan spatula itu “Mana ada orang bunuh diri di danau. Dia di cekik sebelum di jatuhkan ke danau”
“Lalu untuk apa dia di danau malam Jumat ?” ibu balas bertanya dengan mata menantang
Bibik Rukya tersenyum mengejek “Tentu saja menjaring”
“Kalau begitu mungkin mitos malam Jumat itu benar”
Bibik Rukaya mendengengus putus asa “Lalu apa alasan mu dengan kematian suamimu Kemuning ? ada peluru tertanjap di kepalanya”
Aku melepaskan pisau yang ku pegang “Kepala” gumam ku dalam hati. Aku tidak pernah tahu bapak ditembak di kepalanya. Aku tiba-tiba mual. Aku memang belum makan dari tadi pagi tapi apa yang kudengar dari bibik Rukaya seperti mengoyak-ngoyak perutku. Apa Bapak memejamkan mata ketika dia menghembuskan nafasnya yang terakhir ? apa matanya terbebalak menatap lurus ke peluru yang tidak dalam hitungan dalam detik sudah menembus dahinya ?
“Apa kamu ingin mengatakan kalau dia bunuh diri dengan menembak dahinya sendiri ? lalu bagaimana dengan tusukan-tusukan dan memar….” Bibik Rukaya menyadari sesuatu. Dia mendadak terdiam. Percakapan itu tidak di lanjutkan
“Rukaya tolong buatkan telur gulung, Lyan suka itu”
“Tentu saja untuk Lyan tercinta” Dia agak membuat suaranya lebih tinggi, entah tujuannya untuk apa. Jelas sekali dia menyadari keberadaanku dan kenyataan bahwa aku terlalu kecil untuk pembicataan yang mengerikan ini.
Telur gulung ? aku tidak yakin itu bisa masuk ke perutku. Aku masih terbayang-bayang wajah bapak yang pucat, lalu ada lubang di kepalanya. Matanya terbuka lebar. Tubuhnya membeku bersibah darah. Aku berlari ke kamar mandi dan muntah.
“Lyan…” Ibuk mengikutiku dengan pantik.
***
“Lyan, jangan dipikirkan ya ? Itu cuma orang iseng yang melampar kamarmu” Dia mengelus rambutku, memainkan ujung-ujung rambutku yang kerting “Ada ibuk, dia tidak akan berani melukaimu kalau ada ibuk bersamamu”
Kenapa ? memang ibuku bisa apa ? kita cuma tiga perempuan lemah. Tidak ada laki-laki bersama dengan kita. Apa yang bisa ibu lakukan ? Dia bisa saja membunuhku. Bisakah dia memberi tahuku saja siapa yang mungkin melakukan hal jahat pada bapak. Aku tidak pernah mendengar bapak punya musuh. Bapak selalu menyapa semua orang dengan senyum kecut, yang seperti itulah dia. Dia memang jarang tersenyum tulus. Kecuali waktu itu. Sebelum dia mendorongku. Setelat dia bilang “Aku mencintai kalian”
Aku terbangun dari pangkuan ibuk. Dan mendadak memeluk ibuk sampai dia kaget. Aku takut sendiri dengan ingatanku. Emosi memenuhi kepalaku. Sampai rasanya sakit. Ibu mungkin sangat ingin aku bicara, dia ingin mendengar apa sebenarnya yang terjadi waktu itu. Tapi permasalahannya aku sangat takut mengeluarkan suaraku.
***
Ibu kembali ke bukit, entah apa yang dia lakukan di bukit. Kalau dia mengambil sayur dia tidak akan pergi ke bukit dia akan pergi ke bawah lembah. Lebih cepat baginya untuk naik rakit ke ujung danau. Tapi ke bukit ? buat apa ?
Pertanyaan itu hanya teretelan untukku sendiri
“Terus terang aku selalu takut kalau di tinggal berdua—an denganmu. Kalau kamu mau kehutan pergi saja aku gak akan bilang ke ibuk”
Apa maksudnya ?
Riang menaikan alis, lalu kening berkedut-kedut “Kejadian kemarin malam agak bikin trauma”
Riang jelas tidak berpikir sesimpel ibuk, bahwa ada orang iseng. Kita sama-sama tahu kalau nyawa kami dalam bahaya.
“Lyan aku mendengar kamu mengucapkan sumpah itu” suaranya dalam, dia terrtunduk lama melihat kakinya sendiri. Tentu hal itu telah mengguncangnya, telah lama bertengger di kepalanya dan baru hari ini dikatakannya padaku “Tadinya aku tidak percaya dengan sumpah itu, aku tidak percaya juga dengan mitos malam jumat” Dia memelih duduk beramaku di meja makan reot
“Mungkin semua mitos di lembah ini benar Lyan”
Mungkin sumpah yang kuucapkan benar, karena hal buruk memang terjadi pada Bapak tapi mitos malam Jumat itu aku masih belum percaya, terlebih lagi cerita bibik Kumar kemarin yang sangat yakin kalau Paman Jaka mati tercekik sebelum dibuang di danau.
Paman Jaka…
Hatiku sedih sekali menyebut namanya, aku seperti kehilangan dua bapakku sekaligus.
Siapa manusia jahat itu ? Apa ibuk tahu apa yang dilakukan bapak sebenarnya ? Apa sebenarnya ada sesautu yang terjadi di balik hilangnya Hasan. Dan kecelakaan pesawat itu, kenapa mereka menyebut Hasan disana semenatar Hasan ada di danau.
Apa Hasan juga di bunuh ? Apa bapak melarangku bercerita tentang Hasan karena ada sesatu yang terjadi padanya ? Apa bapak ada hubungannya dengan Hasan. Apa paman Jaka juga ada hubungannya. Karena itu malam itu dia ada di danau juga. Bukan untuk menjaring ikan. Dia melakukan hal lain. Aku yakin.
Mataku melihat Riang “Iya kan menurutmu juga sama. Jadi aku berpikir untuk menyalahkanmu”
Aku terdiam.
“Semua orang kasian padamu Lyan, kasian karena mereka berpikir kamu selamat jatuh ke jurang kasian karena kamu mungkin saja melihat apa yang terjadi pada Bapak. Tapi kamu bisa teriak, tapi kamu bisa lari, atau melakukan apapun agar bapak selamat atau menjaga mulut sialmu itu suapaya kita tidak jadi seperti ini” suaranya meninggi. Wajahnya merah. Dia menutup wajahnya sendiri dan menangis “Tidak seharipun aku tidur tanpa membayangkan Bapak. Dan sekarang kita mendapatkan teror ini. Menurut mu semua ini karena siapa Lyan ?”
Aku terdiam. Memang semua karena aku.
“ Ibu Cuma berpura-pura tenang. Aku sering mendengar suara tangisnya malam-malam. Dia pergi ke bukit untuk bertemu Juru Kunci dia meminta bantuan perempuan itu untuk melindungimu. Kamu tahu ?” matanya nyalang menatap padaku penuh kebencian “Aku mendengar dia bicara pada Paman Syarif katanya dia masih berusaha membujuk sang juru kunci agar imbalannya dikurangi” Dia menghentakkan kakinya “Juru kunci materalistis. Dari mana ibuk dapat uang lagi ? aku yakin kemarin dia menjual kuda bapak untuk memberikan juru kunci itu imbalan”
Dia masih melihatku, merasa jijik dengan diam dan ketenangan di wajahku. Dia membuang mukanya
“Bisakah kamu tidak membuat kami semua susah Lyan ?”
Aku menangis. Aku tidak tahu aku merasa sedih sekali. Aku seperti dicampakkan oleh Riang. Riang seakan membalikkan punggun untukku. Riang mumutusku dari tali persaudaraan kami yang memang sudah sangat rapuh. Aku memang salah, aku menyadarinya sejak pertama kali kukteriakkan sumpah itu di rumah ini. Tapi apa seharusnya dia memperlakukanku seperti itu ? Bukan aku yang membunuh bapak, kondisiku juga terncam. Aku menangis tersedu-sedu.
Riang juga menangis.
Hari itu dia melepasku, aku tidak lagi merasakan kehadirannya walaupun kami satu rumah bahkan satu kamar. Dia berhenti bicara padaku, selayaknya aku yang memilih diam. Diapun sama.
***
Ibu memerahi Riang habis-habisan. Waktu dia kembali menyampaikan bagaimana semua ini bisa jadi salahku, di meja makan saat kami sama-sama makan. Hal itu membuat ibuk murka “INI SEMUA BUKAN SALAH SALAH LYAN. JANGAN SEENAKNYA MENYALAHKAN LYAN. DIA MELIHAT BAPAK WAKTU ITU RIANG DAN JANGAN BERANI-BERANINYA KAMU MENYALAHKAN LYAN”
Aku hancur, sungguh aku merasa sendirian ketika Riang menunjuk mukaku dan menyalahkanku. Dia tidak mau bicara denganku di sisa pagi itu. Dia tidak mau membantuku mengerjakan tugas rumah. Kini ibuk punya dua anak bisu.
Aku berjalan ke sekolah sendiri. Semenjak mendengar suara-suara aneh dihutan. Aku tidak pernah berani lewat hutan lagi. Aku tidak pernah lagi melihat Moris dan Tumang. Aku beneran seorang diri di kampung ini.
Di sekolah teman-temanku masih berbisik-bisik di belakangku. Ibuk Sucita melihatku dengan tatapan menuduh. Apa sebenarnya yang ada di kepala orang-orang ini tentangku ? Bisakah aku mengakhiri yang semua orang bicarakan dengan satu teriakan ? “AKU TIDAK MEMBUNUH BAPAKKU SENDIRI”
“Pagi Lyan” seorang anak laki-laki duduk di sebelahku, menemani aku makan. Kami miskin aku tidak bisa berbelanja di warung seperti teman-temanku. Aku hanya bisa duduk di bawah pohon mangga sambil menikmati nasi ikat buatan ibuk. Yang di dalamnya penuh dengan wortel dan toge.
Aku mengangguk pada Rangga. Dia bodoh sekali mau temanan sama aku, bisikku ketika dia menyunggingkan senyum memperlihatkan giginya yang patah.
“Kamu makan apa ?”
Aku menunjukkan nasi ikat yang diikat dengan daun pohon jati oleh ibuku
“Wah, kamu mau daging ayam ?” dia menyondorkan sayap ayam goreng
daging ayam ? sepertinya enak. Rangga memang anak orang kaya. Bapaknya kaki tangan keluarga kuswardi, selain itu bapaknya juga mengelola keuangan di pabrik Kuswardi. Tapi semenjak ahli wariny di kabarkankan meninggal untuk sementara pabrik itu di tutup dan seharusnya keuangan kelaurga Rangga tidak sebaik dulu. Tapi semiskin-miskinnya dia, dia masih bisa makan daging ayam. Beruntungnya dia.
“Ini “ dia menjulurkan sayap ayam yang masih enggan untuk ku ambil. Dia tersenyum super manis.
Baru mau ku ambil dia menariknya lagi “Beri tahu aku, benar bapak mu mati di tembak di kepala ?”
Aku terdiam. Tanganku yang hanya menggenggam sekepal nasi berselimut daun jati terasa sangat berat. Nafasku memburu karena ingin menangis. Aku menahan diri
Dia menaruh lagi ayamnya di kotak nasinya yang bagus. Tersenyum mengejekku “Anak-anak memintaku menanyakannya padamu. Jangan-jangan kamu hanya pura-pura bisu biar gak di tanyai soal bapakmu ?” dia terkekeh “Jadi Lyan seperti apa pistol si penembak itu ?” tatapannya berubah penuh tanya “Apa sebelum dia di kubur. Orang-orang mengeluarkan peluru itu dari tubuh bapakmu ?”
Aku sangat marah sekaligus ingin menangis. Marahku sudah sampai di kepala. Aku ingin melemparnya dengan nasi di tanganku. Tapi aku tidak mau menambah masalah, aku tidak mau ibuk dan Riang jadi korban tindakan bodohku. Aku mengulur nafas dan hanya bisa tertunduk. Aku lepaskan nasiku di samping aku duduk. Aku pergi meninggalkan Rangga.
“Lyan kamu mau kemana ?” Aku mendengar suaranya terkekeh “TEMAN-TEMAN LYAN BILANG DIA SANGAT KETAKUTAN. DAN TERLALU BAU BAWANG SEHINGGA DIA LARI MENINGGALKAN BAPAKANYA DI BUNUH”
Teman-teman lain terkekeh “Dasar Bisu” aku mendengar anak lain mengataiku bisu.
“TIDAK TIDAK DIA TIDAK BISU, DIA CUMA TAKUT DITANYA ORANG…AW…” suara Rangga mengerang “Kapelaku sakit sekali. SIAPA YANG MELEMPAR”
Aku berbalik melihat situasi di belakangku. Ada seorang anak dengan katapel di tangannya, sedang berdiri di balik pagar sekolah yang kayu-kayunya mulai tercabut. Anak itu nyengir seperti penyihir rambutnya berantakkan dan dia sangat kotor.
“DASAR ANAK PANTI ASUHAN TAK PUNYA ORANG TUA LAHIR DARI BOKOK KUDA”
Rangga beneran anak yang tidak baik. Dia sangat jahat pada anak yatim piatu itu.
“DASAR PENGECUT BERANINYA CUMA BICARA SINI BIAR KU INJAK LEHERMU” teriak anak laki-laki itu dengan lantang dan membusungkan d**a seolah dia sudah jadi juara disana. Aku sangat kagum pada keberaniannya.
Teng…Teng… Teng….
Suara bel berbunyi. Padahal aku masih ingin melihat anak laki-laki itu tapi aku harus masuk kelas sebelum teman-teman yang lain masuk. Mereka akan mendorong-dorong aku. Dan seperti kalian tahu aku hanya bisa terdiam.
Sebelum pergi aku memberikan senyum terimakasihku pada anak itu dan dia malah mengedipkan matanya membuatku malu.