Di sekolah teman-temanku mulai membicarakan kengerian-kengerian yang terjadi. Pembunuh yang berkeliaran di lembah ini. Mereka berasumsi, Sang juru kunci sudah tua sehingga dia tidak bisa lagi melindungi warga desa. Aku tidak mengerti dengan kata “melindungi” itu, setahuku dia cuma penyeimbang seperti pemberat pada timbangan ibuk. Apakah dia bisa melindungi seseorang ? Jadi benar ibuk menjual kuda bapak untuk memberinya uang agar bisa melindungi ku..,
Aku ingin tahu apa kehebatan Juru Kunci ini. Jangan-jangan semua ini berkaitan juga dengan dia. Teman-temanku rupanya punya pengetahuan lebih banyak tentang Juru Kunci ketimbang aku. Ibuk dan Bapak sama sekali tidak pernah mendongengkannya padaku dan Riang. Pertama kali kami melihat Juru Kunci pada saat pemakaman Nyonya Rumi. Dan aku, aku sudah melihat wajahnya. Sedangkan teman-temanku ini berusaha menebak-nebak wajah Juru Kunci seperti apa. Mereka mengira wajah Juru Kunci itu sangat buruk hingga semua orang menunduk ketika melihat. Tidak ! dia sangat cantik dan terlihat begitu lembut. Dia kira-kira seumuran Nyonya Rumi tapi dia lebih cantik. Dia nenek tua yang cantik berlipstik merah.
Kata teman-temanku, dulu ketika kebakaran hutan dia memadamkan api dengan se—ember air. Aku menghela nafas keras-keras mendengarnya. Tidak kutemukan logika yang masuk akal membandingkan hutan seluas itu dengan se—ember air. Kalau yang terbakar hanya satu semak, mungkin. Tapi kalau kebakaran hebat yang mereka bicarakan tentu tidak benar. Mereka semua bodoh !
Mungkin memang benar, tidak ada yang bisa menghentikan pembunuh-pembunuh bersenjata yang berkeliaran. Semua ini karena Hasan. Kenapa juga dia mesti mendayung ke tengah danau di hari Jumat. Kalau dia masih hidup, aku bertemu dengannya lagi. Ku cekek dia. Ku suruh dia kembalikan Bapakku.
Aku tahu aku sudah mulai gila. Hidup terancam dan di datangi teror terus menurus membuat ku gila.
Buk Sucita datang “Murid-murid kita belajar matematika hari ini” Siapa yang menemukan angaka ? aku ingin hajar dia. Aku benci sekali matematika. Dengan mendesah aku membuka mejaku. Meja kami mering untuk memudahkan kami menulis dengan pena angsa. Apa bila kami membuka laci kami harus menarik papan meja ke atas.
Waktu membuka laci aku melihat darah. Aku spontan berdiri. Kursi yang ku duduki terjungkal ke belakang. Mataku lurus-lurus melihat darah disana. Darah yang menyelimuti arloji Hasan. Jam tangan itu sudah kuberikan pada nenek Kurnia. Nenek Kurnia sudah mati dan jam tangan itu kembali padaku.
Aku mendengarnya mati ditikam. Darahnya…, apa ini darahnya ?
“AAAA” Anak anak lain berteriak histeris. Melihat darah
“Buk Sucita ada darah” Teriak Rangga.
Aku menoleh pada Rangga
“Lyan, di lacinya Lyan”
“Aaaa” teman-temanku semakin histeris.
Buk Sucita cepat-cepat menghampiri mejaku. Dia tertegun. Dia menutup mulutnya. Dia melihatku dengan tatapan keget “Lyan kamu”
Aku hanya bisa terdiam. Darahnya mulai merambas berjalan mengikuti grafitasi kemiringan meja kami. Menetes tepat di sepatu putihku yang sudah sobek-sobek. Aku melihat darah itu. Dan Jam Tangan Hasan berkilauan
“Lyan kenapa bisa ada darah ? Jelaskan !!” Wajah buk Sucita kaku, matanya menuntutku tapi di dalam pandangannya aku tahu ada tuduhan disana.
Buk Sucita sepertinya menyadari kalau hal ini tidak baik dilihat murid lainnya. Dia memandang murid-muridnya yang kengerian menatap dirinya. Menatap Lyan dan menatap darah yang sangat segar.
“Apa itu darah manusia buk ?” suara Karin temanku memecah suara kengerian lainnya, berada di atas pertanyaan yang lainnya.
“ASTAGA ITU DARAH MANUSAI” Suara Rangga yang berteriak menambah ketakutan murid yang lain.
“Lyan ikut aku !” Buk Sucita meninggikan suaranya. dia berbalik menuju pintu. Dia sudah tidak berniat lagi untuk mengajar kami semua.
Aku masih tertegun. Sepatuku kini ujungnya berbuah menjadi warna merah. Bau amis menyeruak ke seluruh ruangan. Jam tangan Hasan.
“Lyan” Buk Sucita meneriaki ku dari pintu. Aku masih belum beranjak dari tempatku.
Aku mengambil Jam tangan penuh darah. Tidak memedulikan tanganku yang kini penuh dengan darah juga. Aku memasukkannya ke dalam kantong jubah sekolahku yang berwarna biru. Warna merah dan biru itu sangat kontras. Aku menggosok tanganku menghapus darah sambil berlari mengikuti Bu Sucita.
Dia berjalan sangat cepat. Aku mengikutinya melintasi lapangan bola menuju ruangan kepala sekolah. Aku merasakan jam tangan itu berat di jubahku bergoyang-goyang seirama dengan langkahku. Aku dalam bahaya. Aku harus pulang. Hanya di rumahlah aku merasa aman. Tempat ini tidak lagi aman. Apa yang akan mereka lakukan padaku ?
“Lyan” Bu kepala sekolah namanya ibu Mimi. Dia tua. Bau. dan punya rambut di hidungnya yang menjutai keluar. Anak-anak kelasku setiap hari mengejk-ngejek bu Mimi ini. Bu Mimi sangat tunduk kepada bu Sucita. Dia hanya boneka yang digunakan bu Sucita untuk menguasai sekolah ini. Bu Sucita bekerja sama dengan pemuda-pemuda desa. Dia menggerakan semua pemuda desa untuk mencari anak sekolahan. Mengacam mereka kalau mreka bolos, menghukum anak yang bolos. Meminta pemuda desa untuk mendatangi rumah murid-murid yang bengal seperti aku.
“Lihat tangannya buk” bu Sucita menunjuk tanganku “Kamu memegang darah itu” Dia keliatan sangat jijik dengan noda darah yang tertinggal di tanganku “Anak ini. Saya rasa anak ini punya gangguan mental buk” Dia menuduhku dengan alisnya yang turun naik.
Bu Mimi melihatku di balik kacamata bulatnya “Kenapa ada darah Lyan ?” pandangannya berpindah ke tanganku
“Dia membawa darah ke kelas, dia menumpahkan entah darah hewan apa di laci mejanya” Tangan Buk Sucita menunjuk-nunjuk ke arah kelasku “Anak-anak di kelasku sekarang ketakutan semua bu” Dia melihatku “Anak ini tidak beres bu”
“Benar Lyan ?”
Aku tidak mengangguk tidak pula menggeleng. Aku hanya terdiam. Wajahku kaku. Pikiranku melayang tidak berada di sini. Mereka ada di danau. Pikiranku ada di danau. Dimana semuanya bermula. Kenapa para penyelam itu belum menemukan mayat Hasan ?
“Dia tidak menjawab” Bu Sucita mendorong bahuku, memintaku untuk menjawab. Aku pikir dia tahu kalau aku tidak bicara lagi “Ini berarti jawabannya ‘iya’ buk” dia memutuskan seenak jidatnya “Kita harus mengeluarkannya dari sekolah ini, aku takut kehadirannya di antara teman-temannya akan berdampak buruk bagi yang lainnya”
“jangan seperti itu” Suara Bu Mimi sangat dalam ternyata. Dia berdaham-daham. Melepaskan pana angsanya, mengembalikan pena itu ke dalam celupan tinta “Lyan..” dia mengoreksiku lewat mimik wajahku “Sepertinya kehidupan keluargamu sedang sangat sulit paska kehilangan bapak kalian” aku menunduk. Yang kuliat hanya dia mengetuk-ngetukkan jari telinjuknya di atas papyrus “Dari raut wajahmu aku tau memang itulah yang terjadi. Ibuk mu sepertinya juga butuh dukungan dari anak-anaknya. Dia pekerja keras Lyan. Pulih dari ekonimi kalian yang tiab-tiba anjlok karena kepergian bapak kalian pasti sangat sulit. Tidak kah kamu mau mengambil istirahat dulu ? Kembalilah bersekolah pada periode berikutnya”
Aku semakin tertunduk. Aku tahu ibuk tidak akan senang mendegarnya “Kamu harus menguatkan diri dulu Lyan”
Aku terisak. Entah kenapa rasanya sangat berat kalau hal yang terjadi pada kelurgaku di utarkan oleh orang lain. Selain itu ibuk tidak akan senang. Dia malahan akan merasa sangat sedih.
“Aku tidak mengeluarkanmu. Aku hanya menyuruhmu istirahat Lyan. Ini sangat sulit untuk keluargamu. Bantulah ibukmu dulu. Sekolah bukan satu-satunya tempat untuk belajar” Rambut keritingku menjuntai juntai ke depan, menutupi sebagaian wajahku. Aku terus terisak. Bahuku terguncang.
Aku mendengar tarikan nafas sebel dari buk Sucita. Mungkin dia mau, yang terjadi padaku lebih dari sekendar diberikan waktu untuk istirahat.
“Lyan yang terpenting itu adalah belajar bertahan hidup di lembah rawa ini”
Aku masih menangis. Jadi aku sudah tidak bersekolah lagi ? Hasan semuanya karena Hasan. Manusia itu.
***
Aku terusungut-sungut pulang sekolahh sebelum waktunya. Tanganku penuh dengan darah. Darah siapa ? mungkin saja darahanya nenek Kurnia. Aku berusaha tenang tapi tidak bisa, dendamku memuncak pada semua isi sekolah ini. Aku tidak tahu, aku akan kembali atau tidak di periode berikutnya. Tapi ku rasa Bu Mimi memang benar, mungkin lebih baik bagiku di rumah dulu.
Aku merasakan lagi arloji di kantong jubahku. Aku malas mengeluarkannya karena arloji itu masih penuh dengan darah. Tanganku sudah sedikit bersih tapi bau amis darah masih sangat tercium dari tubuhku. Aku mengusir pikiranku yang memikirkan bahwa darah ini adalah darahnya nenek Kurnia.
Aku membawa secarik papyrus berlebekan sekolahku. Papyrus ini baru saja selesai di tulis oleh bu Mimi. Aku berjalan terutnduk-tunduk. Kudengar deru suara mobil menaiki bukit. Karena aku orang miskin jadi melihat mobil adalah hal yang menarik buatku. Aku menoleh melihat ke arah suara mobil.
Aku tersenyum. Aku suka melihat segala sesuatu yang maju. Aku suka dengan kemajuan yang dimiliki oleh keluarga Kuswardi. Mobil itu adalah mobil van milik keluarga kuswardi. Mobil itu semakin cepat menuju ke arahku. Astaga, dia sungguhan ke arahku. Aku mundur.
“LYAN…” aku mendengar teriakan
Mobil itu sudah tidak terkontrol di jalan berbatu yang rusak. moncongnya mengarah kepadaku. Aku memejamkan mata. Tubuhku terbentur sisi mobil yang lain. Aku terhempas ke pagar sekolah yang rusak.
“ASTAGA LYAN..LYAN….” aku mendengar keributan memanggil namaku.
Aku meraih kantong jubagku. Ku pastikan benda itu masih bersamaku.
Samar-samar ku lihat wajah Bu Mimi. Lalu semuanya menjadi hitam.
***
“Dia mungkin sedikit syock mobil keluarga kuswardi itu sepertinya kehilangan kendali karena jalanan yang rusak tidak diimbangi dengan kecepatan mobil menaiki bukit. Sopir yang membawa mobil itu menemuiku dan meminta maaf, tapi karena terburu-buru mereka hanya menitipkan ini untuk anda”
Aku bertanya-tanya apa yang dititipkan keluarga Kuswardi untuk ibuk ku. Yang tadi menjelaskan pada ibuk adalah bu Mimi. Aku dapat mengenali suaranya walaupun aku sedang pura-pura tertidur.
“Dan…” suaranya tertahan, aku mendengarnya menyeruput minuman. Suara seruputannya sampai ke kamarku. Bayangkan betapa berisiknya dia. Padahal cuma minum saja “Aku sudah menyampaikan sebuah surat resmi, yang ku tujukan pada ibuk. Mengenai Lyan di sekolah. Aku merasa Lyan belum bisa maksimal mengikuit pelajaran”
“Maksudnya gimana ?” Ibukku terdengar tidak setuju, itu jelas terdengar dari nada pertanyaannya yang sinis.
“Surat yang kuberikan pada Lyan sebenarnya sudah menjelaskan semuanya tapi, baiklah. Aku memang harus mengulangnya rupanya” Aku bisa bayangkan wajah ibuk yang sedang menahan emosi “Aku memahami kalian sedang berduka, Lyan pun sedang mengalami masa-masa yang sulit. Buk, dia masih berusia sepuluh tahun. Kejadian jahat menimpa bapaknya di depan matanya sendiri. Lyan trauma. Pasti. Itulah yang mengakibatkan dia jadi kesulitan bicara. Lyan sangat penyendiri di sekolah. Dia sama sekali tidak punya teman bermain. Lingkungan teman-teman bermainnya selalu menanyakan kematian bapaknya padanya. Ini pasti sulit untuk anak yang baru berusia sepuluh tahun seperti Lyan” Aku tidak mendegar tanggapan dari ibuk. Aku membuka mataku. Riang di samping tempat tidurku. Kami saling tatap tapi tidak bicara. Dia pun sama, dia sedang mendegarkan percakapan mereka .
“Aku yakin Lyan belum bisa mengatasi traumanya. Ku pikri akan lebih baik dia menangkan diri dulu. Kami tidak mengeluarkannya. Dia bisa bergabung di periode berikutnya. Sejujurnya aku sedikit kaget mendengar dari guurnya kalau dia menaruh darah di lacinya”
Riang melotot. Tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. Aku menggeleng, sekedar untuk membela diriku.
“Lyan tidak pernah…”
“Tidak..tidak tentu bukan Lyan aku yakin bukan Lyan. Aku juga mengenal anakmu dengan baik Kemuning. Dia cuma malas sekolah tapi dia tidak berperilaku buruk. Aku yakin salah satu temannya yang melakukan hal itu untuk menakutinya. Aku belum tahu siapa. Soalnya aku melihat Lyan datang sangat terlambat hari ini. Tidak mungkin dia menaruh darah ketika teman-temannya sudah berkumpul di dalam kelas”
“Iya Lyan anak yang baik. Dia sangat lembut bahkan pada binatang dan bunga-bunga. Dia tidak mungkin membawa darah”
“Maka karena itulah, mereka cuma anak-anak Kemuning. Mereka tidak berpikir dulu sebelum menjaili temannya. Tapi tentu dari sudut pandang Lyan tidak mungkin seperti itu. Lyan pasti sangat terpukul dengan polah teman-temannya di sekolah. Karena itu aku dan wali kelasnya berfikir untuk Lyan istirahat dulu di rumah. Menemanimu”
Ibuku tidak berkata-kata lagi. Setelah sunyi yang panjang dan hanya terdengar serutan teh bu Mimi. Topik pembicaraan mereka berubah. Mereka tidak lagi membicarakan ku mereka membicarakan kejadian-kejadian aneh yang belakangan ini terjadi di Lembah Rawa.
Aku menggaris bawah-i bahwa ibuk setuju kalau aku istirahat dulu di rumah. Dan akupun tidak keberatan.