ARLOJI HASAN

1480 Kata
Seperti kemarin dan lusa aku kembali bolos sekolah. Belajar tidak menjadi hal yang menarik buatku. Duduk di tengah hutan merasakan angin yang spoi-spoi sambil melihat perubahan warna di tengah hutan yang disebabkan oleh mentari, melihat bagaimana matahari menembus celah-celah pohon. Aku pergi ke rumah Paman Jaka, rumahnya berada di bawah lembah. Dekat sekolahku. Aku punya jalan rahasia ke rumahnya supaya tidak ketahuan ibuku. Aku tidak pakai jubah sekolahku, aku menyimpannya di tas, karena kalau aku pakai para pemuda desa akan menangkapku dan menggeretku ke sekolah, aku akan di hukum membersihkan kamar mandi lalu di rumah aku akan kembali dihukum menganyam daun kelapa untuk dijadikan tikar duduk ibuk.Beberapa hari ibuk mengeluhkan tikar yang dia gunakan di pasar. Dia ingin menganyam lagi, tapi terlalu sibuk dengan sayur-sayurnya. Sudah tiga hari lalu dia memintaku untuk menganyam. Menganyam daun kelapa itu sulit dan lama. Bisa-bisa aku tidak keluar rumah selama satu minggu dan terus menganyam. Kalo dipikir-pikir anak ibuk kan bukan cuma aku. Kenapa gak suruh Riang aja ? kenapa anak kecil selalu jadi sasaran untuk di suruh-suruh ? Aku membuat jalan setapakku sendiri menuju sekolah di bantu oleh Moris dan Tumang, Moris menggunakan tanduk untuk mematahkan semak-semak sedangkan jauh di depan Tumang mencari jalan menuju jalan setapak. Jalan yang kami buat berakhir tepat di depan rumah Penadah barang. Toko barang bekas itu sangat aneh. Si Penadah menata barang-barang dagangannya di tembok-tembok rumahnya, dipertontonkan untuk orang yang mau beli. Sang penadah itu punya kursi tua yang diletakkan di depan pintu masuk rumah sekaligus tokonya, dia sering merokok dengan cerutu disana. Untungnya laki-laki tua berperut gendut itu tidak ada waktu aku merambas semak terakhir yang tepat berada didepan rumahnya. Ketika berjalan di jalan setapak yang lebarnya tujuh meter dan terlapiskan tanah yang sudah jadi sangat padat karena terlalu sering di lewati, kita harus memperhatikan jalan karena kalo tidak kita akan menginjak kotoran kuda.   Sebenarnya masih banyak nelayan ikan tawar lainnya tapi aku tidk terlalu mengenal mereka. Dan aku percaya cuma paman Jaka yang bisa di ajak kerja sama. Kerja sama agar tidak melaporkanku ke bapak dan ibuk. Apa lagi kalau orang tuaku tahu aku bolos,  ya ampun aku udah bisa mendengar omelan ibuk di telingaku.  Semoga Paman Jaka di rumah. Semoga dia tidak mencari kayu bakar di hutan. “Bibik Kumar” Bibik Kumar adalah istrinya, mereka punya anak yang masih kecil “Ya ampun kamu tidak sekolah ?” Tuh kan, ditanya masalah sekolah. Aku menghela nafas dulu. Bibik Kumar harus tahu masalahku ini penting. Aku memegang tangan Bibik Kumar, pasangan ini sangat baik padaku mereka akan ku angkat jadi orang tuaku kalau aku boleh mengangkat orang tua “Jangan bilang ibuk ya” pintaku bersungguh-sungguh. Mengerjipkan mataku beberapa kali.   Dia menghela nafas dalam “Anakku katamu kamu mau pergi ke kota ? Tidak ada yang bisa bertahan hidup di kota kalau mereka tidak sekolah” “Iya …iya…” aku malas sekali dengan permasalahan sekolah ini “Aku akan sekolah besok,aku cuma bolos hari ini aja” Moris dan Tumang menungguku di hutan di jalan yang kami buat, mereka tidak bisa ke perkampungan. Binatang sangat peka dengan batas wilayahnya “Paman Jaka ada ?” “Di belakang sana sedang potong ikan, tukang es akan segeradatang. Jangan lama-alam menganggunya” Tukang es. Mereka akan mengambil ikan-ikan dari para nelayan memasukkannya ke peti yang di penuhi es. Aku sangat penaaran bagaimana es-es itu dibuat, bagaimana air bisa membeku dan menjadi es. Kami sangat jarang melihat es. Aku pernah bertanya pada paman Jaka dan dia memberi tahuku tentang alat bernama kulkas yang bisa digunakan untuk mengubah air menjadi es dengan bantuan listrik. Jadi, pantas saja di desa ini tidak ada kulkas karena listrik hanya menyala saat malam hari dan setahuku listrik hanya digunakan untuk mesin air dan lampu. Aku melihat paman Jaka di depan sumurnya sedang tertunduk sampai kepalanya tidak bisa ku lihat, bahunyanya yang lebar naik turun sedang memotong-motong ikan. “Paman Jaka” aku tiba-tiba duduk di sebalahnya “Kupret !” umpatnya padaku, dia kaget sekali sampai kapaknya terlepas “Demi apa ! kamu bikin pamanmu ini kaget” dia melihatku menaikkan alisnya, pasti mau ngomelin aku karena bolos sekolah lagi. Aku curiga semua orang di lembah wara tahu semalas apa diriku, ini karena ibuku punya hobi menyebarkan aib anaknya. “Paman aku sedang menjalankan misi rahasia, ini sangat rahasia” kataku serius tanpa cela yang justru membuat paman Jaka terkekeh “Kamu itu…” “Beneran ! saking rahasianya paman tidak boleh beri tahu bapak dan ibuk” “Tentu saja bukannya tadi kamu bilang rahasia !” Aku mangut-mangut, Paman Jaka mengambil kapaknya, kembali menguliti ikan-ikan air tawar lalu memotong-moton badan si ikan. Darah ikan mengalir menunju pembuangan. Bau amisnya aku tidak suka ! sayur lebih baik dari ikan-ikan ini. Semoga Gumitir anak Paman Jaka dan Bibi Kumar tidak berbau seperti ikan, kalo iya dia akan jadi bulan-bulanan di sekolah dan akhirnya membenci sekolah sama sepertiku. “Paman boleh pinjam rakitnya ?” “Demi Semesta !” Paman melihatku “tidak ada orang dewasa satupun di danau sepagi ini Lyan” “Aku mau liat sesuatu, aku mau membuktikan sesuatu, tapi sesuatu itu sangat rahasia paman. Ayolah paman aku janji akan baik-baik saja” Paman Jaka tidak yakin, tapi juga tidak mau berdebat lama-lama dia melihat matahari semakin terik tanda bahwa sang tukang es sebentar lagi datang “Sana…! sebelum sore kamu harus datang kembali ke sini, supaya paman tenang” maksudnya aku harus kembali menemuinya mengatakan kalau aku selamat baik-baik saja, dan aku tidak merusak kayuh atau rakitnya. “Baik Paman ! Terima kasih” aku membungkuk sebelum pergi “LYAN JANGAN LEWAT HUTAN !” teriak paman padaku “JALANAN BANYAK TAI KUDANYA” aku balas meneriakinya Aku berbelok ke gang sempit antara rumah paman Jaka dan rumah-rumah penduduk lainnya, lalu bertemu rumah si Penadah, dia sudah ada rupanya duduk di kursinya sambil ngerokok. Sekali-kali aku harus duduk mengobrol dengannya menanyakan berapa uang yang dia dapatkan dalam sehari karena seumur hidupku aku tidak pernah melihat tokonya di masuki pembeli. “Pagi paman !” “Hmm” dia cuma mengangguk “ Hati-hati banyak ruas !” dia cukup baik untuk memperingatiku belum tahu aja dia aku bersama pemimpin rusa-rusa itu. Yang paling melegakkan dia tidak berteriak  memanggil pemuda desa untuk menangkapku. Rakit paman Jaka yang ada bendera mereahnya, yang ada atapnya, yang ada kursi duduknya. Karena paman Jaka suka tiduran di atas rakitnya. Ternyata rakit itu cukup besar aku tidak yakin bisa mengayuhnya. Danau sangat sepi karena tadi malam adalah malam jumat, tidak ada nelayan yang menjaring ikan. Aku diam sebentar berpikir dan mengerutkan alisku. Kenapa paman Jaka bisa membersihkan ikan ?  Bukannya semalam dia tidak menjaring ikan ? Aku menepis pertanyaan itu di kepalaku. Kadang-kadang penduduk desa tidak mengikuti aturan. Tapi anak-anak di larang tidak mengikuti aturan, kami harus minta izin sebelum meminjam sesuatu, kami harus menepati janjinya dan berkata jujur itu adalah didikan pertama yang selalu di ulang-ulang setiap orang tua di desa ini. . Karena itu juga aku tidak semabarang mengayuh rakit yang berserakan di danau. Aku harus memilih minta izin kepada yang punya terlebih dahulu. Aku tidak tahu kenapa orang-orang dewasa akhirnya suka melanggar hal-hal dasar seperti itu Danau di pagi hari sangat sepi. Nelayan mulai mempersiapkan jaringnya ketika bulan sudah agak tinggi, mereka selalu bermalam di atas danau dan pulang kembali di saat fajar menyingsing para pengepul sudah menunggu dengan bakul-bakul mereka di tepi danau. Kuda-kuda para pengepul akan berderet di sepanjang sungai, aku pernah ikut ibu mengambil kepiting sungai di paman Jaka saat fajar tiba. Danau akan kembali sepi begitu anak-anak mulai berangkat  sekolah dan petani teh menuju ke kebun Kuswardi. Aku loncat ke rakit, ternyata aku punya kekuatan lebih dari yang kubayangkan untuk mengayuh rakit yang luasnya seperti kamarku ke tengah danau. Aku sangat bangga ketika melihat air bergelombang terhempas laju rakit paman Jaka. Aku nekat mendayung lebih ketengah lagi, aku mencari apapun yang bisa menjadi tanda kehadiran paman Hasan di danau ini kemarin sore. Akhirnya aku melihat sebuah rakit mengapung tanpa awak. Aku menganyauh rakit mundur mendekati rakit tanpa awak itu. Ini rakit yang sama seperti yang digunakan Hasan. Jantungku berdetak kencang, suaranya seakan menggema sampai ketelingaku. Rakit itu tanpa atap, rakit sederhana seperti inilah yang di pakai Hasan kemarin. Kayuhnya terlepas, masih di sekitaran rakit karena keduanya terikat oleh tali. Kemana perginya Hasan ? Apa mitos malam jumat itu benar ? Kenapa hanya ada rakit yang mengapung disana ? Aku melihat sekeliling danau, kali aja ada mayat yang mengapung. Tapi aku sudah menyusuri danau dan tidak ada apa-apa kecuali rakit ini. Aku melihat di celah-celah rakit, tapi tidak melihat apa.apa. lalu aku sisiri sisian rakit.  Sebuah arloji tersangkut disana. Aku mengambilnya, tidak salah itu pasti punya paman Hasan. Karena ada ukiran nama Hasan K. di gelang kulit arloji itu. Aku menggigit bibir. Apa dia tenggelam ?  Aku harus pulang dan beri tahu bapak
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN