DUKA

2221 Kata
Kepala ku dipenuhi keinganan memberi informasi ini pada semua keluargaku dirumah. Aku ingin berteriak, aku ingin menghentakkan kaki dan menari memperlihatkan jam tangan Paman Hasan. Aku benar bapak, yang kulihat jumat itu adalah Paman Hasan. Tapi dia mungkin tenggelam, karena rakitnya dibiarkan terapung sendiri. Dia mungkin memang ingin bunuh diri. Aku tidak tahu. Kita semua tidak tahu. Aku juga tidak ingin tahu. Yang jelas dia memang disana malam itu. Dia tidak kecelakaan pesawat. Berita itu palsu. Waktu aku sedang mengikat rakit di dermaga, aku merasakan sesuatu yang aneh dari sebrang danau sana aku melihat burung-burung terbang dari dalam hutan ke langit. Gerombolan mereka melayang-layang di langit. Sepertinya ada orang jahat yang mengusik mereka. Moris dan Tumang memperhatikan hal yang sama. Leher mereka menengadah melihat puluhan burung melayang gelisah di atas hutan. Aku tidak punya waktu mengurusi burung-burung. Ini lebih penting. Sumpah Pualam yang kuucapkan tidak sia-sia. Aku benar ! Aku mengambil jalan lewat hutan. Aku senang menyibak semak-semak untuk membuat jalan sendiri. Rasanya menyenangkan membuat jalur tercepat menuju rumah. Tapi ternyata aku salah jalan. Tumang di depanku menggonggok. Ada Suara letusan tembakan dari arah sebrang danau. Moris dan tumang saling pandang. Mereka terlihat gelisah. Aku menoleh ke belakang. "Lari" Aku menoleh ka arah suara itu. Kutemukan mata Moris menatapku. “Lari” . Dia bicara padaku. Nafasnya terengah. “Lyan Lari” . aku masih mencoba mencerna, apakah ini hayalanku atau memang Moris sekarang sudah bisa bahasa manusia. Dia memukul-mukul kakinya ke tanah. Tergesa-gesa. Tumang mengaung keras-keras sebelum berlari pergi meninggakanku. “Lyan..” aku menyipitkan mata. Tapi itu bukan Moris. Moris berlari ke arah yang berebeda dengan Tumang. Aku menoleh ke arah suara. Itu Bapakku. “Bapak” Kakiku seperti di paku di tanah itu, aku tidak bisa bergerak. Aku melihat Darah membasahi kemeja kecoklatannya. Menyeruak dari perutnya. Bapakku terlalihat sangat lelah dan jalan tertatih-tatih menghampiriku. “Lyan lari…” Aku tidak bisa berlari, bersuarapun aku tidak bisa. Sendi-sendirku sudah hilang. Aku tidak lagi merasakan diriku sendiri. Mataku tidak mau berpindah dari wajahnya. Bagaimana bisa manusia bisa mengeluarkan darah begitu banyak ? “Lyan…” Aku kaget ketika tangannya yang penuh darah memegang lenganku “Ayo” dia menghentakkan tanganku dengan sisa-sisa energinya. “Bapak..” kutemukan suaraku tercekat-cekat seperti orang di cekek Aku tidak tahu dia membawaku bersembunyi kemana. Yang kuingat adalah pohon tempat bapak bersandar kelelahan, menjejalkan oksegen banyak-banyak ke kepalanya. Darahnya terlalu banyak sampai menetes ketanah “Lyan..” dia berusaha sekali mengeluarkan suara, seakan mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya seperti satu lagi hujaman benda tumpul di perutnya “Jangan bilang sia…siapa..siapa… Hasan..” keringat dingin mengalir dari pelipisnya. Aku gemetar, aku menangis tanpa suara. Aku takut. Aku harus bagaimana ? Apa bapakku akan mati ? Apa kita berdua akan mati ? “Lyan…” dia menelan ludah, meengadah kelangit untuk minta bantuan langit agar dia memiliki tenaga untuk bicara padaku. Akhirnya dia menyentuh dahiku dengan dahinya. Posisi kami sama-sama terduduk “Aku mencintai kalian” tidak ada jeda dalam kalimat terakhirnya. Lalu suara tembakan sekali lagi mengangkasa. Aku menggenggam tangan bapak kuat-kuat. Dia berdiri sambil menahan sakit Aku ikut berdiri. Suara langkah kaki mendekati kami. Dia tersenyum, senyumnya tampan sekali sampai aku tidak percaya kalau itu bapakku. Ku pikir dia lupa caranya tersenyum. Tapi itu adalah senyum terakhir bapakku yang ku jaga dan tidak akan pernah kulupakan. Dia melepas tanganku. Dia mendorong bahuku kuat-kuat. Aku tidak bisa seimbang. Sadarlah aku di belakangku ternyata jurang terjal. Dia membuangku ke jurang. Aku menggelinding jatuh, kakiku terkena dahan yang tajam. Aku masih terjatuh ketika ku dengar satu kali lagi tembakkan. Aku memejamkan mata. Mereka pasti menembak bapak. Sesuatu yang keras membentur kepalaku. Lalu semuanya gelap. *** Aku terbangun sendirian di kamarku. Aku mengenali bagian plafonnya. Aku melihat kakakku menangis di meja belajar. Aku mendengar suara tangis, suara keramaiyan. Tangis lagi, yang berasal dari ruang tamu. Suara teriakan kecil-kecil memanggil nama Bapakku. Aku tahu Bapak sudah tiada. Riang mengenakan baju hitam. Dia menangis. Dia tidak berdandan seperti biasanya. Aku pikir akan mudah untuk meninggalkan kedua orang tuaku ketika aku beranjak dewasa. Tapi ditingalkan ternyata sangat sakit, seperti hatimu dicabut paksa dari tubuhmu hingga rasanya hampa disana. Aku memejamkan mataku lagi. Aku tidak sanggup dengan duka ini. *** “Lyan…sayang” Aku membuka mata. Ibuku sedang mencoab membangunkannu. Dia duduk ditepi ranjangku, wajahnya super letih. Dia pasti tidak pernah tidur. Aku merasa bersalah karena, ketika dia tidak pernah tidur karena duka yang dipikulnya sementara aku senantiasa tidur untuk melupakan dukaku. “Bapak dimakamkan hari ini. Kamu mau ikut ke makam ?” suaranya sangat tegas tapi dia menyimpan tangisnya dalam-dalam. Dia cuma berusaha kuat dihadapanku. Ibuku senang bersandiwara. Aku menggeleng Dia sepertinya paham. Dia mengangguk. Dia memeluk dirinya dalam selendang hitam yang mengepit bahunya “Istirahat saja” Dia mencium keningku. “Ibuk ayo” Aku melihat Riang, dia bukan Riang. Dia tidak nampak seperti Riang yang kubenci. Riang yang ini keliatan mengenaskan. Rambutnya di ikat asal. Dia pakai baju sebesar korden berwarna hitam. Kepalanya ditutup kelambu aneh. Matanya bengkak karena menangis. Dia melihatku sekilas. Lalu menjama tangan ibu untuk di gandengnya. Orang-orang saling berpegangan tangan saat berduka. Itulah konsep duka. Aku kembali tertidur. Aku hanya ingin lari dari duka ini. Lari menjauh. ............................…………… Mataku menerawang. Aku melihat ibu tidur bersama kami. Dia menggelar tikar rajutan daun kelapa baru di bawah kasur kami. Apakah itu tidak sakit digunakan untuk tidur ? Tubuh ibu mungkin tidak merasakan sakit lagi. Aku tidur menyamping melihatnya untuk melihat wajah ibuku. Nafasnya turun naik. Dia masih hidup kan ? Aku takut kehilangan dia. Kalau dia tidak ada, terus aku akan sama siapa ? Aku tidak akan meninggalkan mereka, mereka keluargaku yang tersisa. Kehilangan itu ternyata sangat menyakitkan. Tadinya ku pikir aku bisa hidup seorang diri. Ternyata aku tidak bisa. Aku tidak ingin ditinggalkan Ibuk dan Riang. Disisa malam itu aku betanya-tanya. Apakan Sumpah Pulam itu benar ? Apakah mitos malam jumat di danau benar ? Lalu kalau sumpah pualam itu benar berarti bapak mati karena aku ? Aku secara tidak langsung telah membunuhnya. Darah-darah yang ku lihat di perutnya itu sesungguhnya adalah kutukan dari sumpah yang ku lontarkan. “Lyan…” Ibuk mendekatiku “Kenapa ?” Aku menangis sesenggukkan tidak mampu membayangkan hal yang telah ku lakukan. Hal yang menghancurkan keluarga ini. Ibuk memelukku. Aku merengkuhnya. Ibuk maafkan aku, kamu kehilangan suamimu karena aku. ‘A…” aku berbicara lalu aku sadar, hari itu aku tidak berteriak. Aku lemah sekali. Aku tidak melakukan apapun untuk menolong Bapak. Aku menelan ludah. Tidak lagi mau bicara. Rasanya mengerikan mendengar suaraku sendiri. Suara yang sama yang membiarkan bapak mati, suara yang sama yang mengucapkan sumpah terkutuk itu. Aku memilih terus menangis dalam pelukan ibuk. “Bapak tidak benar-benar pergi Lyan, dia melihat kita dari suatu tempat” suaranya parau. Aku tahu dia menahan tangisnya, dia menahan air matanya. Dia sedang pura-pura “Hanya saja kita tidak lagi bisa melihatnya” Itulah yang selalu dikatakan seorang ibu, seakan sudah menjadi hakikatnya untuk membuat anak-anaknya menjadi lebih baik. Dia hanya sedang melakukan perannya sebagai seorang ibu. Yang sesungguhnya, yang tidak bisa ku tampik dan selalu jadi kenyataan pahit selama hari-hari ini adalah tidak ada dimensi yang bisa menyatkukan aku dengan bapak lagi. Kami sudah terpisah. Dia sudah pergi. Seperti kata juru kunci waktu itu. Jasadnya akan mengurai menjadi tanah. Dia tidak pernah kembali. Suara kakinya yang besar menapak di rumah kecil ini tidak akan pernah ku dengar lagi. Ibuk hanya membesarkan hatiku, tapi sekecil itu aku sudah sangat tahu kenyataan. Bapak tidak akan kembali. Yang tersisa hanya kami. Yang menatap masa depan yang kelabu. *** Hari-hari kami tidak lagi sama. Aku jadi takut keluar rumah sejak kepergian bapak. Aku menghabikan waktu dirumah, membantu ibuk dan bermain dengan Halulu. Riang lebih sering di rumah, dia selama satu minggu penuh tidak menyentuh pewarna bibir dan bedaknya. Itu adalah suatu keanehan. Dia lebih dekat dengan ibuk. Dan mereka berdua selalu menatapku dengan tatapan khawatir. Aku tidak mengeluarkan suara apapun dari mulutku sejak bapak meninggal. Aku yakin aku bisa bicara, bahkan berteriak. Tapi karena sumpah yang pernah kuucapkan aku jadi tidak suka mendengar suaraku sendiri. Ibuk mendatangkan tabib-tabib untuk mendoakanku. Percuma. Aku tidak ingin bicara. Dia berbicara pada bibik Kumar “bagaimana ini, bagaimana dia bisa bersekolah kalau terus diam ?” Beberapa hari lalu seorang pemuda desa datang, dia meminta ibu untuk membujukku ke sekolah. Sekolah akan mengadakan ujian sebentar lagi, kalau aku tidak bersekolah maka aku tidak naik tingkat. Orang-orang di pasar membicarakan anak yang tidak naik tingkat. Mungkin ibu menghawatirkan itu. Sore-sore seekor burung merpati bertengger di atas kandang kuda. Aku sedang duduk di pintu. Aku mengetuk pintu tiga kali untuk memanggil ibuk yang sedang masak. Ibu menoleh. Aku menunjuk burung merpati itu. Di kakinya ada potongan papyrus kecil. Ibuk membersikan tangannya yang bekas bumbu, di upronnya. Dia berjalan cepat melewati ku tanpa memintaku untuk minggir. Dia menjentikkan ibu jari dan jari manis hingga berbunyi. Merpati itu terbang padanya, bertengger di lengannya. Ibu mengambil papyrus yang terikat di kakinya. Ibu membacanya. Dia menghela nafas setelah mengetahui isinya. Dia tersenyum padaku “Seseorang akan menggantikan bapak sebagai pengantar surat” Aku tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Aku mengangguk sekali dan menunduk menggosok-gosok perut Halulu. Ibuk mengelus-elus rambut keritingku yang berantakkan “Kita harus bekerja lebih keras Lyan” Tentu saja, ibuk itulah yang harus kita lakukan untuk bertahan hidup. Jawabku, tapi kalimat itu hanya mengaung di kepalaku. Ibuk membereskan surat-surat bapak. Lemari penyimpan suratnya dalam sekejap jadi kosong. Dia mengikat surat-surat itu berdasakaran sumber pengirim surat. Aku melihat tulisan di depan amplop satu surat “ Hasan. K “ Jantungku mencelos. Tulisan di muka umplop itu bersama dengan seikat amplop lainnya. Ibu sedang membenahinya. Ketika surat itu akan di taruh ke dalam kotak penyimpanan. Aku menarik tumpukan itu. “Lyan” ibu menggeleng, dia tidak menginginkan aku melihat surat-surat itu. Aku memeluk surat-surat Hasan “Ibu akan menyimpannya untukmu, suatu hari waktu kamu dewasa kamu bisa membacanya. Tapi jangan sekarang ya” Aku mempererat pelukanku pada surat-surat Hasan “Lyan, ibu mohon” ibu. Setelah hari itu ibuk tidak pernah membentakku lagi. Suaranya ketika bicara denganku sangat lembut. Diturunkan satu oktaf. Mungkin suatu hari nanti aku akan tahu semua cerita Hasan. Hari ini ibu benar, tatapan memintanya yang lembut tidak bisa aku tolak. Aku tahu dia bermaksud baik untuk tidak membiarkan aku membaca surat itu saat aku masih kecil. Aku belum benar-benar tahu yang baik dan yang buruk. Ibu mengelus rambutku ketika aku memberikan kembali surat-surat Hasan. “Kamu akan membacanya ketika kamu sudah menikah” Aku mengangguk. Ada dua tempat penyimpanan kotak terbuat dari kayu. Ibu biasanya menyimpan sayur-sayurannya di sana. sekarang itu jadi tempat surat-surat bapak. “Seorang pengganti Bapak akan datang besok pagi, membawa surat-surat ini” dia menunjuk satu kotak. Dan kotak lainnya “Yang ini ibu akan simpan” Dia menyipitkan matanya “Kita tidak akan melanggar janji kan ?” dia butuh meyakinkan dirinya agar aku tidak diam-diam membaca surat-surat Hasan. Aku mengangguk. Esok harinya, pria berumur lebih muda dari Bapak tidak jauh lebih tua dari Riang datang. Ibuk sangat kaget melihat pengganti Bapak ternyata lebih muda “Sang juru kunci menunjukku atas rekomendasi para tetua desa” begitu pengakuannya pada ibuk. Ibuk tidak peduli. Dia cuma tersenyum sikilas, menyerahkan kotak berisi surat pada pemuda itu. Ibuk mengomentari pemuda itu, setelah dia pergi “Dia kayanya kurus sekali untuk ukuran pengantar surat. Perjalanan ke perbatasan tidak dekat. Bisa-bisa diterbangkan angin dia, atau kena tendang kudanya sendiri” Buat ibuk cuma bapaklah yang pantas mengantarkan surat ke perbatasan. Buatku juga sama “Mungkin kadang-kadang juru kunci salah pilih” Waktu itu aku masih buta, peranan Juru Kunci dikehidupan lembah ini apa. Aku merasakan sebelah tangan ibuk merangkulku. Kami melihat pemuda itu meninggalkan rumah. Sama-sama tahu kehampaan yang kami rasakan ketika merelakan bagian dari bapak yaitu pekerjaannya di ambil orang lain. Seakan sekali lagi alam menegaskan “Bapak sudah tidak ada” *** Kami sedang mencuci pakaiyan di sumur dekat kandang kuda. Sekarang Riang menjadi sangat membantu. Dia memberi makan kuda dan ayam-ayam. Walaupun pekerjaanku masih lebih banyak dari pada dia. Sementara ibuk mencuci aku menimba untuknya. Lalu aku melihat tumpukan baju di dalam kandang kuda. “Lyan airnya” Aku tidak bergeming, aku masih melihat tumpukan baju yang sepertinya tidak asing. “Itu bajumu dan bapak. Baju yang kalian pakai hari itu. Ibu masih belum sanggup untuk mencuci atau membuangnya. Biarkan saja. Suatu hari ibuk akan membuangnya” Aku pikir pergi kemana bajuku. Ada Sesuatu yang kucari sejak kemarin. Aku melepaskan timba. Aku berjalan ke dalam kandang kuda. Riang sedang memberi makan kuda “Lyan lepaskan itu” suara Riang terdengar sangat dingin dan kaku Aku tidak mendengarkannya. Sejak kapan aku mendengarkannya ? aku jamin aku tidak pernah nurut padanya. Baju bapak yang bersimbah darah. Aku sempat ragu ketika melihat darah-darah bapak masih disana. Aku tidak mau menyentuh baju itu lebih jauh aku cuma menggesernya sedikit lalu baju bapak jatuh ke tanah, di kandang kuda. Aku menemukan rokku. Nafasku memberu. Jantungku berdetak suaranya sampai ketelingaku. Masihkah barang itu disana ? Aku merokoh kantong rokku dan merasakan benda itu masih disana. Syukurlah…bisikku mungkin pada Hasan. Aku mengambil benda itu cepat cepat dan menyembunyikannya di bawah bajuku. Aku tidak mau ibuk maupun Riang tahu tentang Arloji Hasan. Itu adalah buktiku ! Bukti bahawa Hasan di sungai malam itu. Dia tidak kecelakaan pesawat. Mungkin mereka masih bisa menemukan mayatnya di sungai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN