LAKI LAKI YANG HILANG

1690 Kata
Aku suka membawa sisa wortel jualan ibu yang sudah hampir rusak ke tengah hutan untuk memberikannya pada rusa-rusa disana. Dari tempatku biasa duduk berdiam diri sambil menulis puisi-puisi, dan bicara sendiri atas kebencianku pada tempat yang tidak berubah ini dan keinginanaku tumbuh dewasa dengan cepat suapaya bisa meninggalkan tempat ini. Aku duduk pada pohon yang jatuh. Pohon itu sudah lama disana, tidak ada satupun orang desa yang memiliki gagasan untuk membelah kayu pohon itu, pohon itu sudah berlumut tapi ada satu bagian yang bersih karena seringnya aku duduki pohon itu. Posisi pohon itu mengarahkan pandanganku langsung ke danau, dari samping kiri terlihat seberkas sinar mentari sore menyapu danau menghasilkan pantulan yang membuat danau nampak berkilau. Hari itu sangat cerah, akhirnya mentari muncul setelah tiga hari kami semua bingung dia dimana. Malam ini malam jumat tidak ada nelayan air tawar yang menjaring ikan di danau, mereka percaya dengan mistis yang melarang siapapun berada di danau pada malam jumat, ada mahluk danau yang akan menelan nyawa mereka lalu mengapungkan mayat mereka didanau. Aku tidak mudah percaya dengan mitos kecuali yang kulihat dengan mata kepalaku seperti kemarin di pemakaman. Aku harus kembali pulang sebelum matahari tergelincir dan kabut mulai menutupi hutan, tepat sebelum aku beranjang, aku melihat seseorang di danau. Aku berdiri di atas pohon tumbang mefokusan tatapanku, aku cukup tahu dan dapat melihat dengan jelas orang itu dari tempatku berada “Paman Hasan” mungkin dia sudah menerima surat bapak dan terlalu terlambat untuk menghadiri pemakaman ibunya, karena nyonya sudah di makamkan tiga hari lalu. Kasian sekali dia tidak bisa menghadari acara pemakaman ibunya sendiri seharusnya dia bersaksi atas kebaikan ibunya. Kesaksian itu dibacakan oleh bibiknya. “Itukan paman Hasan” aku memberi tahu Tumang, dia mengaung kencang sehingga Moris menderapkan kakinya. Ku husap-husap leher Moris sambil berjinjing sedikit karena Moris lebih tinggi dari pada aku, tanduk Moris seperti dahan pohon yang meliuk-liuk rumit. Aku selalu berandai-andai menjadi keluarga Kuswardi, seandainya kelurga Kuswardi punya keturunan sebesar aku, aku akan membuatnya jatuh cinta aku akan pergi ke dukun di bawah pasar, kata Riang dia bisa memberikan kita kecantikan abadi tapi harus di gantikan. Aku berencana memberikan kakakku pada dukun itu untuk ku jadikan tumbal. Bagaimana rasanya makan daging sapi setiap hari ? memiliki perkebunan teh yang luas, memiliki kastil kuswardi seperti apa isi rumah itu, apa benar ada temboknya yang terbuat dari emas seperti cerita teman-teman sekolahku ? Anak-anak Kuswardi pasti tidak pernah ke sekolah dengan bau bawang, anak-anak Kuswardi pasti tidak pernah punya sepatu yang alasnya sudah bolong dan kaos kaki sobek, Hidup jadi orang miskin membuat ku memiliki ribuan kata andai di kepalaku "Lihat Moris, ayahku tidak akan pernah punya waktu untuk berjalan mengitari danau seperti itu" Moris seolah memberikan aku tanggapan dengan menurunkan taduknya,aku mengelus lehernya “Apa paman Hasan tahu kalau malam jumat Danau dibiarkan sepi ?” Laki-laki itu terlihat sangat murung, siapa yang tidak murung baru kehilangan ibu mereka. Mungkin rasa sayang itu akan bertambah ketika manusia sudah semakin dewasa soalnya aku tidak merasa harus menangis kalau aku kehilangan bapak dan ibuku. Aku terus berharap lebih dewasa lalu meninggalkan mereka dan tidak pernah kembali ke lembah ini. Paman Hasan terlihat aneh dia kelihatan seperti orang banyak pikiran, dia berjalan ke dermaga,membuka pengikat satu rakit "Apa kamu pikir dia akan menaiki rakit itu ?" Oh bodohnya Hasan yang mengayuh rakit ke tengah danau “Paman Hasan tidak tahu kalau hari ini hari jumat” suaraku terdengar sangat yakin di udara, lalu Tumang mengaung sangat keras. Moris bangkit dari duduknya menusukkan tanduk ketanah memintaku untuk pergi ke danau atau meneriaki Paman Hasan tentang hari itu, tapi kabut mulai merayap, hari sudah mulai gelap. Matahari sudah semakin merah dan dengan cepat suhu di hutan berubah menjadi lebih dingin. Aku melihat Moris dengan ragu, Moris berlenggak ke arah Danau, Moris memberi tahuku untuk mengikutinya dia terus mengadu tanduknya ke tanah. Aku semakin bingung, ini sudah malam ! “LYAN TIRANI” Ibuk sudah memanggil nama lengkapku itu berarti dia sudah menggenggam bambu kering untuk menyabitku. “Maafkan aku Moris, tidak akan terjadi apa-apa pada paman Hasan, Dia sudah dewasa ! Itu hanya mitos” aku melambai pada Moris “Ayo Tumang” Aku harus berlari kencang sebelum kabut membuatku tersesat di tengah hutan, aku melihat nafasku di udara berubah menjadi asap. Aku berlari, menyadari hampir tersusul kabut dan hawa dingin hutan terasa menusuk-nusuk kulitku. “LYAN TIRANI KALAU TIDAK PULANG SEKARANG, JANGAN….” Aku sudah berhasil sampai ke rumah lewat hutan “Aku pulang buk…aku pulang !” aku megap-megap hampir kehabisan nafas karena berlari, sekujur tubuhku mengigil karena kedinginan. Aku tidak terlambat kutukan ibuk belum keluar dari mulutnya. Ibuk menahan nafas, mengontrol emosinya, hingga pipinya menjadi kembung “Masuk rumah siapkan makan malam. Pastikan makan malam siap sebelum bapakmu pulang” suaranya di tekan-tekan agar semuanya masuk ke kupingku dengan pasti "Kamu mendengarnya ? " Ibuku dengan gerakan cepat mengibaskan lap kain membersihkan meja di mana bapak biasa makan, aementara aku sedang termenung melihat buih tempe didalam minyak goreng, bapak pulang sebelum tempeku matang, aku sudah dapat satu pukulan sendok makan di kepalaku tadi. Ibuk dan Bapak sedang mengobrol di meja makan, ketika fokusku kembali aku mendengar percakapan mereka "Mereka blm menemukan mayatnya" Gimana ? Aku berjalan mendekati kursi tua tempat bapak makan dan melebarkan kupingku untung mendengar percakapan mereka . Sekarang mayat siapa yang dibicarakan, bukannnya kita sudah menghadari acara pemakaman kemarin ? mayat siapa lagi ? siapa lagi yang mati ? “Tidak pernah ada yang selamat dalam kecelakaan persawat” Pesawat, maksudnya pesawat terbang ? jadi jenis kendaraan udara itu beneran ada, bukan cuma bualan di buku sekolahku ? Ibuk meremas lap, menaruhnya didada dengan haru “Semoga mereka cepat menemukan jasadnya, ya Tuhan aku tidak menyangka nasip Hasan akan seburuk ini” “Nasip terlahir dari menjadi Kuswardipun sudah sangat buruk” Bapak menimbali ibuk dengan suara dalam yang putus asa Kalau Hasan sudah meninggal dalam kecelakaan pesawat lalu siapa yang aku lihat di danau sore tadi. Apakah dia mungkin orang lain ? akumenggelengkan kepala-kepala kuat-kuat. Itumemang Paman Hasan dia sering mengenakan pkaiaan yang dia kenakan akuingat sekali dengan baju garis-garis merahnya, kerah kecil di bajunya, aku ingat celananya berkantong banyak yang selalu dia kenakan. Sepatu bootnya. Aku tidak mungkin salah lihat “Bapak” Aku muncul dari balik tembok pemisah dapur dan ruang makan “Tadi sore aku liat Paman Hasan di danau” kataku pada kedua orang tuaku “Jangan sembarangan” Ibu melihat nanar kebelakangku “Ampuuun ! Gosong Lyan” dia menepuk tangannya, untuknya ibu lagi gak pegang benda-benda keras jadi yang sampai kemukaku cuma serbet kotornya saja. Aku duduk bersama bapak di meja makan melupakan tempe-tempe yang ku masak “Bapak aku beneran lihat paman Hasan” Posisiku berhadapan dengannya, aku yakin bapak liat betapa seriusnya aku “Dia pakai baju merah garis-garis pakai celana yang cokelat yang keren itu, yang selalu bapak inginin untuk menunggang kuda” Yang tadinya bapak tidak menanggapi ku, dia mulai melihatku lekat-lekat ke wajahku, mengenali wajahku anaknya, memastikan apa yang aku katakana tidak bohong “Jangan ngawur” tapi yang keluar dari mulutnya masih saja keraguan Aku menggeleng kuat-kuat “Aku yakit itu paman Hasan !” aku menimbang akan mengatakan sumpah yang paling parah yang akan di katakan orang di desa ini. Sumpah itu tidak digunakan sembarang, sumpah itu akan dikatakana apabila semua orang tidak mempercayaimu, sumpah itu akan menghancurkan kamu yang mengucapkannya jika kamu ternyata salah dan orang yang tidak mempercayaimu jika ternyata kamu benar “Demi Sang Palam” “LYAN” ibuku teriak mendengar sumpahku Aku menatap bapak dengan mata berkaca-kaca “Itu benar Paman Hasan, bapak ! aku tidak berbohong !” Ibu berjalan cepat kearahku menyambar tubuhku memaksaku berdiri “Lyan kamu tahukan sumpah itu…” “AKU TAHU ! HABISAN KALIAN TIDAK PERCAYA APA KATAKU” aku tidak tahu efek yang ditimbulkan sumpah itu ternyata benar aku gemetaran, aku ketakutan karena reaksi ibuk, karena wajahnya yang tiba-tiba memucat mendengar sumpah itu. Ibuk melihat bapak, lalu kembali melihatku. Dia merosot duduk di lantai dan menangis. Aku juga ikut menangis karena menyesal dengan sumpah yang sudah kulontarkan. Bapak sudah tidak ingin lagi makan. Dia malah memasang kembali saput bootnya dan menderap kudanya pergi dari rumah. Apa kesalahan yang kuperbuat cukup besar ? Keesokan harinya, aku terbangun dengan perasaan lega, aku masih hidup ! aku masih lihat langit-langit anyaman di kamarku, langit-langit itu hampir terlepas, pada sisi pojok sudah menungkik kebawah hampir roboh. Aku dapat melihat sisi itu, aku mensyukurinya, aku merasakan denyut nadiku sendiri, mereka masih berdetak. Aku seratus persen masih hidup. Layaknya malam jumat didanau, begitulah Sumpah Pualam juga, keduanya masih mitos. Aku tidak gampang percaya hal-hal yang tidak kuliat dengan mataku sendiri. Anggota keluargaku juga masih lengkap, mereka semua duduk di meja makan untuk sarapan. Pagi yang sama, seolah aku tidak mengucapkan sumpah apapun semalam “Masak air Lyan !” ibukpun bersikap sangat normal, habis menyuruhku dia beralih pada Riang, dia memukul wajah Riang dengan kain bau “Kasi makan kuda bapak !” ibu belum berubah sedikitpun, sementara bapak berkutat dengan surat-suratnya di atas meja. Bapak memisahkan surat-surat yang bertebaran di atas meja kerjanya, lalu mengikatnya menjadi sat,. Menaruh surat-surat itu pada tas kulit besar, mungkin di dalam tas itu ada ruangan rahasia karena tas kulit bapak menampung hampir segala hal. Sebelum bapak berangkat kerja dia berpesan padaku dengan sangat rahasia “Dengar Lyan !” Bapak menoleh kekiri dan kanannya memastikan tidak ada yang mendengar bisikannya “Jangan beritahu siapapun kalau kamu melihat Hasan malam jumat kemarin !” “Ken…|” aku baru saja mau bertanyakenapa ? tapi aku tahu aku cukup menyebabkan banyak masalah karena bersumpah semalam jadianya aku memilih diam. Sesuatu tentang keluarga Kuswardi bukanlah ranah anak kecil sepertiku, tidak terlalu susah tutup mulut lagian aku tidak punya teman manusia untuk bisa bergosip tentang mereka. Paling aku cerita sama Moris, Tumang kalau lagi malas mungkin Halulu, kucingku. “Pokoknya jangan sampai Lyan !” Aku mengangguk, bapak naik ke pungguk kudanya. Mengayunkan kakinya lalu kuda itu berderap mengibaskan tanah berlumpur di depanku sampai baju tidurku terciprat lumpur aku mengerjip “Kapan aku punya mobil ?” Aku benci sekali sama kuda !
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN