“Lyan…” Ibuk membangunkanku pagi-pagi sekali “Kamu harus sekolah hari ini. Sudah hampir satu bulan kamu tidak ke sekolah”
Dengan malas aku terbangun, menatap ke luar jendela. Jendela kamarku tepat menghadap ke jalanan. Mentari sudah mulai keluar tapi kabut masih tersisa. Memang sudah lama sekali aku gak kesekolah. Hidup ibuk sudah sangat berat sejak kepergian Bapak. Aku tidak boleh menambah beban ibuk.
Dengan malas ku geret kakiku ke kamar mandi. Sebelum beranjak aku melihat senyum tipis ibuk. Dia senang aku kembali ke sekolah. Aku senang dia tersenyum. Ibuk merapikan jubahku, dia berulang kali mencium jubah itu. Ketika memasangkannya dia berkata“Gak bau bawang. Ibu sudah minta Riang mengendus jubahmu”
Setidaknya jubah ini memperbaiki moodku, tapi ngomong-ngomong siapa yang bicara dan main denganku ? Aku kan sudah memutuskan menjadi anak yang tidak berbicara. Aku yakin teman-temanku pasti menjauhiku.
Aku membawa jam Hasan kemanapun aku pergi, jam itu melekat di kantong jubahku, arloji itu terasa berat di sana. Aku memegang ujung kemeja ibuk. Dia ke pasar lebih siang. Dia ingin mengantarkanku ke sekolah, dia ingin bicara pada guruku sebelum aku aktif kembali.
Murid-murid lain melihatku dengan tatapan menghakimi. Mata mereka penuh dengan keingintahuan. Aku ikut ibuk ke ruang guru waliku disekolah. Namanya Ibuk Sucita. Dia sangat cantik tapi juga membenciku. Dia pernah bilang kalau aku besar aku tidak akan jadi apa-apa karena kerjaku cuma bolos. Aku tidak berniat jadi apa-apa.,memang. Segala keinginanku menguap setelah kepergian bapak. Aku jadi tidak punya banyak keinginan. Rasanya kalau boleh menyebutkan satu saja keinginan. Aku ingin hidupku yang dulu, hidupku sebelum menyebut sumpah pualam.
“Buk. Lyan kesulitan bicara semenjak kejadi satu bulan lalu” ibukku terlihat mengiba pada buk Sucita “Saya minta tolong ibuk menyampaikan pada teman-temannya untuk jangan menganggunya dulu” Ibuk terdiam, dia tahu aku adalah bahan ejekan teman-temen di sekolah. Dia mengerti apa yang kuinginkan tanpa aku beri tahu. Duka ini menghubungkan perasaan ku dan ibuk. Kami punya rasa duka yang sama “Biarkan saja dia sendiri dulu”
Buk Sucita mengerutkan alis, dia menoleh dari balik bahu ibuk untuk melihatku. Aku menunggu di depan pintu ruangannya “Hmmm, dia jadi bisu ?”
Ibuk mengangguk. Bu guru Sucita melihatku dengan tatapan takut sekaligus resah. Seolah kemampuan komunikasiku akan menular ke seluruh penjuru kelas.
Aku mengikuti pelajaran sebagimana biasanya di sekolah. Teman-teman tidak ada yang berani mendekatiku. Aku hanya mendapati diriku digunjingkan oleh teman-teman lainnya mereka bercerita tentang apa yang terjadi pada bapakku. Mereka bercerita aneh-aneh tanteng Bapak. Ada yang bilang bapak di makan harimau di hutan dan aku melihatnya, ada juga yang bilang bapak mati karena bunuh diri dengan pistol. Memang banyak rumor menyebar tentang bapak. Karena aku tidak lagi bicara, tidak seorangpun yang tahu kejadian sebenarnya. Termasuk keluargaku sendiri.
Aku menghela nafas, ketika jam selesai. Akhirnya aku pulang. Berat rasanya lama-lama berada di lingkungan sosial. Langkahku begitu ringan ketika berlari meninggalkan kelas. Aku berniat pergi menemui seseorang sepulang sekolah.
Tetangga Paman Jaka, tapi rumahnya agak masuk ke dalam. Aku ingin bertemu nenek Kurnia. Perempuan tua yang merawat Hasan sejak dia kecil. Dia ada disisi Sang nyonya tanah saat Nyonya Rumi meninggal. Aku tidak menemuinya untuk mengorek informasi mengenai Hasan, aku hanya ingin dia tahu bahwa Hasan tidak meninggal dalam kecelakaan pesawat melainkan dia ada di danau saat berita itu keluar.
Bibik Kumar, istri paman Jaka. Dia duduk di tempat yang sama seperti terkhir kali aku kemari untuk meminjam rakit. wanita itu apa selalu duduk disana ? menunggu rumahnya ? Aku menutup tudung kepalaku agar dia tidak melihat wajahku. Aku tidak mau urusanku ini diketahui Ibuk. Aku mengetuk pintu kayu nenek Kurnia.
Rumahnya sederhana, lebih sederhana dari pada rumahku. Rumahnya Cuma bilik bamboo beralaskan tanah. Dia tinggal seorang diri disana. Dia tua bersama keluarga Kuswardi, jadi buatnya tidak penting rumah. Dia tinggal di kastil itu selama ini “Siapa ?”suaranya bergetar menandakan usianya yang telah lanjut.
Dia melihatku, aku menunduk menyembunyikan wajahku. Aku hanya mengeluarkan jam tangan Hasan. Dia mengambilnya.
“Astaga di mana kamu temukan ini ?” dia menoleh ke kiri dan ke kanan takut aku diutus seseorang. Lalu dengan paksa dia menurunkan tudungku “Anaknya Albani ?” matanya membelalak.
Aku menempatkan telunjukku di bibirku. Setelah memberikan jam tangan aku memberikannya sepotong papyrus. Disekolah tadi aku menulis suatu pesan buatnya.
Dia tenggelam di danau. Jumat bulan lalu. Tanggal yang sama pesawat jatuh
Dia membaca tulisanku dengan tatapan ngeri lalu berpaling padaku “Nak…” dia mau memberi tahuku sesuatu tapi tidak jadi. Dia memasukan jam tangan dan tulisanku ke dalam bra—nya, lalu Mengepit bajunya kuat-kuat. Dia melihat kesekeliling rumahnya. Tidak ada yang tahu kan ?
“Pulanglah. Dan …” dia melihat sekitar lagi “Jangan datang kemari lagi. Jangan temui aku lagi. Mengerti ?”
Aku tidak menjawab. Aku langsung berbalik dan pergi dengan tidak sopan. Itu jawabanku. Aku tidak sudi lagi mengurus masalah Hasan. Dia membuatku kehilangan Bapak. Aku tidak ingin mempertaruhkan Ibuk dan Riang untuk arloji itu. Mulai sekarang aku tidak ada urusannya lagi dengan Hasan.
***
“Ibuk pergi ke bukit. Dia memintaku untuk menjagamu. Jangan merengak” Riang memerintahkan layaknya majikan. Padahal dia tahu seharian kerjaku cuma mengelus perut Halulu, dan lagian aku tidak bicara bagaiamana bisa aku merengek ?
Aku melihat ke kandang kuda. Kuda kami tidak ada disana. Riang mengerti arah pandanganku kemana.
“Tadi malam, Ibuk menjualnya pada salah satu pekerja Kebun Teh, dia tidak menawar. Mungkin dia tertarik dengan Ibuk. Ibuk kita kan sekarang janda” dia tersenyum sinting. Aku tidak mau menanggapinya. Aku berjalan menuju pintu. Membukanya lebar-lebar membiarkan udara pagi masuk. Hari masih sangat pagi. Riang tidak biasanya bangun sepagi ini.
“Lyan aku ingin sekali bertanya apa yang terjadi pada Bapak, aku ingin sekali mendengar mu bicara panjang lebar dan bercerita. Mungkinkah itu ?” matanya berkaca-kaca “Aku rindu bapak. Dan.., aku tidak suka semua milik bapak diberikan ke orang. Suart-suratnya— kudanya..” Dia menangis.
Aku pikir dia butuh waktu, aku tidak mau merasakan dukanya. Aku tidak mau berpura-pura mendengarnya padahal aku sendiri lebih parah menahan dukaku sendiri. Aku melenggang meninggalkannya. Keliatan tidak bersimpati dengannya.
“Lyan..” aku tidak berhenti
“Lyan…” panggilnya lagi. Aku masih tidak berhenti
Lalu aku berlari menembus semak-semak setinggi lutut di belakang rumah menuju ke hutan “LYAN.. JANGAN LAMA-LAMA. KAMU HARUS SEKOLAH”
Di dalam hutan aku terduduk termenung melihat ke dalam kabut yang pean-pelan pergi. Sinar mentari sedikit-sedikit mulai terlihat. Aku sendiri memeluk diriku di dinginnya pagi. Disanalah aku menangis, ketika kabut pelan-pelan pergi dan memperlihatkan sedikit wajah danau padaku. Disanalah aku berdiri melihat Hasan mengayuh rakit. Lalu atas perbuatanku itu aku harus kehilangan Bapakku. Aku menangis. Menangis tersedu-sedu. Semauku,seinginku tanpa hawatir ada yang melihatku dan berbelas kasihan padaku yang kini seorang yatim.
Matahari semakin terik, para nelayan ikan air tawar telah selesai bernegosiasi dengan pengepul ikan. Mereka membawa bakul-bakulnya pegi dari danau. Saat itulah aku tahu jamnya aku untuk bersiap memakai jubah ke sekolah lagi. Melihat tatapan ngeri buk Sucita lagi. Aku menghela nafas panjang berat ketika memikirkan sekolah.
Aku menyipitkan mataku ke arah danau. Beberapa orang bersiap menggunakan pakaian renang. Mereka menggendong tabung di bahu mereka. Di dermaga ku lihat nenek Kurnia. Dia memerintahkan penyelam-penyelam itu untuk mulai bergerak ke tengah danau dengan rakit.
Dia mempercayaiku.
Aku melihat kekanan dan kekiriku. Moris dan Tumah tidak disana. Mungkin ini terlalu pagi. Waktu itu, aku mendengar seperti Moris bicara padaku . Itu cuma hayalanku tidak mungkin binatang bisa bicara. Aku meninggalkan hutan tanpa menunggu Moris dan Tumang.
"Pagi ini sama, mataharinya terlalu tinggi. Kita harus tumbuh lebih tinggi"
Aku menoleh ke arah suara. Tidak ada yang bicara.
"Dia datang lagi, anak cerewet itu"
"Dia menududuki batang pohonku tanpa pernah berusaha mengangkatnya dari sana dan menjadikannya lebih berguna"
Aku melihat ke sekelilingku. Ada suara-suara yang berasal entah dari mana. Di sekitar sana. Suara dengan intonasi yang berebeda. Aku mendonga tinggi-tinggi tapi yang kulihat hanya pohon-pohon pinus. Menjulang. Tidak ada siapa-siapa di hutan itu. Hanya ada aku tapi kenapa terasa sangat berisik. Seperti ada sekumpulan orang sedang berbicara masalah “batang ?”
Aku melihat batang kayu yang selalu ku jadikan tempat duduk
"Ada lumut baru tumbuh dibatangku. Aku sangat sedih makanan tidak bisa aku berikan pada batangku karena lumut itu memakannya"
Apakah sekarang aku mendengar pohon berbicara ? Aku menggeleng kuat-kuat. Pasti ada masalah dengan kepalaku karena terbentur. Aku menutup telingaku. Berlari keluar dari hutan. Apa aku sekrang akan jadi gila ?
“Lyan..” Ibuk sudah sampai rumah “Kamu kenapa ?”
Aku ketakutan. Aku takut pada perubahan yang terjadi di diriku. Aku menggeleng pada Ibuk, tapi tentu wajah takutku tidak bisa berbohong
“Apa ada orang di hutan ?”
Aku menggeleng. Aku menarik-narik benang bajuku yang terlepas dengan gelisah
“Apa ada orang yang menyakitimu ?”
Aku menggeleng
“Apa kamu sakit ?”
Aku mengangguk. Aku memang sakit. Entah ada apa di kepalaku. Aku seperti mendengar suara-suara yang dibuat oleh pohon. Tapi setidaknya alasan itu bisa membuatku tidak masuk sekolah hari ini.
Ibuk memelukku. Mencium puncuk kepalaku “Seandainya kamu bicara Lyan” bisiknya pelan. Sebelum memerahi Riang.
“Riang ibuk sudah bilang jaga Lyan !”
“Dia lari buk, aku gak bisa mengejarnya di luar masih kabut” Memang seperti itulah yang terjadi
“Lain kali kamu tidak boleh membiarkannya membuka pintu !” katanya memerintah, yang membuatRiang terlihat sangat kesal tapi dia tidak kesal padaku. Dia kesal pada ibuk. Mungkin kekesalannya masih nyambung dengan barang-barang Bapak yang mulai di jual Ibuk.
Setelah hari itu, setiap hari., Pagi-pagi sekali seorang penyelam berjalan lewat rumahku. Dari jendelaku aku bisa melihat sabana kecil yang mengarah ke jalan setapak, dari sanalah aku melihat mereka.
Nenek Kurnia bersungguh-sungguh mencari jasad Hasan
***
Suatu malam seseorang mengetuk pintu rumah kami dengan suara keras. Bertujuan memang untuk menganggu tidur kami. Ibuk masih tidur bersama kami. Dia rupanya sudah terbiasa tertidur dilantai seperti itu. Aku mungkin akan melakukan hal yang sama kalau aku jadi dia. Siapa yang sudi mengorek-ngorek duka ? melihat ranjang yang setiap harinya dia dan bapak miliki berdua.
Ibuk mengambil kimono tua, untuk menutupi baju tidurnya yang sudah penuh lubang. Aku ikut terbangun karena penasaran dengan si pengetuk pintu.
Orang itu tetanggaku bibik Rukaya. Dia dan suaminya bekerja di perkebunan Kuswardi. Bibik Rukaya menggenggam tangan ibuk kuat-kuat “Jaka ditemukan di danau. Dia tenggelam”
Paman Jaka ?
Ibu terdiam sejenak. Dia butuh waktu mencerna informasi setelah apa yang terjadi pada kami
“Kakek Tami menemukannya, dia sedang mencuci rumput sewaktu menemukan mayat Jaka. Ada apa dengan lembah ini ?” Mantanya ketakutan, bibik Rukaya lalu melihatku yang sedang berdiri di ambang kamarku “Apa kabar Lyan ?”
Ibu menoleh padaku,tatapannya masih kosong ketika menatapku “Tidur Lyan besok pagi-pagi kita harus ke pemakaman”
“Tidak..tidak…” bibik Rukaya menggeleng, dia melihatku lalu melihat ibuk lagi “Mayatnya sudah membusuk. Mereka sedang mengurus mayatnya. Suamiku ada di rumah Jaka. Kasian sekali Kumar. Anaknya masih kecil sekali, suaminya cuma seorang nelayan. Dia harus mencari penghidupan yang lain” dia melihat ibuku, dia mengelus bahunya “Kita beruntung karena kita perempuan yang bekerja”
Ibuk tidak menjawabnya, ibuk tertunduk. Merasakan dukanya sekali lagi.
Aku masih tidak percaya, tapi itu benar. Tidak mungkin ada orang aneh yang mencandai kematian seperti ini. Paman Jaka adalah orang baik, aku meminjam rakitnya waktu itu. Dia selalu jadi salah satu penduduk lembah Rawa yang kusenangi. Paman Jaka dan Bapak dekat, sedekat Bapak dan Hasan. Itulah kenapa Ibuk sering mendapat ikan geratis dari bibik Kumar. Ibuk juga sama, dia selalu memberikan sisa sayurnya pada Bibik Kumar.
Pasangan itu adalah orang tua keduaku, mereka menghawatirkan aku seperti orang tuaku. Aku tahu ibuk dan bapak sering kali mengeluhkanku ke mereka. Paman Jaka, sebulan yang lalu dia masih memotong-motong ikannya. Kenapa dia begitu bodoh pergi ke Danau hari jumat ?
“Seharusnya dia tidak ke danau hari Jumat”
Astaga ! artinya, oh tidak ! malam Jumat sebulan yang lalu dia juga pasti di danau. Karena itu dia mendapatkan ikan-ikan yang dipotongnya sewaktu aku ke rumahnya. Astaga ! itu artinya Paman Jaka tidak pernah libur menjaring ikan. Tapi kalau Jumat waktu itu dia di danau pasti dia melihat paman Hasan juga. Ada apa ini ? apa kaitannya mereka berdua ? Jangan-jangan paman Hasan bernasip sama seperti bapakku. Jangan-jangan itu bukan bunuh diri. Bagaimana kalau dia dibunuh ?
Tubuhku rasanya sangat berat untuk berdiri, aku menyangga tubuhku di pintu kamar. Memegang pegangan pintunya.
“Aku akan ke rumah duka” ibuku berujar suaranya parau. Satu lengannya bergerak menghapus air mata di pipinya.
“Tentu. Aku kesini untuk mengajakmu ke rumah Kumar” Bibik Rukaya menunjukkan senternya.
Ibuk berbalik, dia melihatku dengan wajah sedih. Sekan dia bisa merasakan kengerian yang ada di pikirannaku. Ibuk setengah memelukku sambil membimbingku kembali ke kamar “Tidur Lyan, jangan kamu pikirkan”
Aku terdiam, mataku memandang jauh ke belakangnya
“Ini tidak ada hubungannya dengan apa yang terjadi pada kita. Percayalah” Dia berbohong. Dia memikirkan hal yang sama denganku mangkanya dia mengatakan hal itu padaku. Ah ibuk andai saja dia tahu aku sudah sangat memahaminya.
Aku tidak menangis, aku hanya terbayang-bayang raut wajah Paman Jaka. Senyumnya padaku. Dia sering bicara kasar tapi dia orang yang sangat lembut dan baik. Dia bisa jadi temanku kalau aku harus memilih teman. Aku malahan merasa dia lebih memahamiku dari pada Riang.
“Lyan ibuk mohon tidurlah”
Aku mengangkat kedua kakiku naik ke atas ranjang. Dia tersenyum. Aku berpura-pura memejamkan mata agar dia tenang. Aku mendengar ibuk membangunkan Riang. Dia berpesan pada Riang. Pesan yang sama ketika dia pergi tengah malam ke bukit waktu Nyonya Rumi meninggal. Tapi kali ini Riang terbangun. Dia lebih memahami tanggung jawabnya sebagai seorang kakak semenjak Bapak pergi.
Beberapa saat berlalu. Aku membuka mata. Riang tidak ada di ranjangnya. Aku terbangun, aku keluar. Dia sedang duduk di satu-satunya meja makan di ruang tamu kami. Meja itu sering jadi meja tamu sekaligus tempat kerja bapak. Dia sering menebarkan surat-suratnya di atas meja reot itu. Setelah jadi pengantar surat bapak jarang mengurusi rumah ini. Kalau aku punya kakak laki-laki pasti dia bisa menggantikan bapak di keluarga ini. Sayangnya hanya ada aku dan Riang, membesarkan dua anakpun terasa sulit bagi kedua orang tuaku yang miskin, apalagi tiga.
Riang memanggilku memintaku bergabung bersamanya “Tidak bisa tidur ?”
Aku mengangguk
“Ku buatkan air madu ya, rasanya hangat di perut malam-malam begini”
Aku duduk di meja makan reot. Melihatnya mondar-mandir di dapur memasak air untuk membuatkanku sesatu yang hangat. Kami tinggal di bukit, hawanya tidak pernah panas di malam hari. Selalu dingin. Aku memeluk diriku sendiri.
Halulu mengeong minta perhatian. Aku menepuk pahaku, menyuruhnya duduk di pahaku. Dia berjalan bak model kakinya menyilang-nyilang cantik, lalu dengan tenaga loncat ke pahaku. Si gendut Halulu, Kucingku itu berbulu kuning, dia sangat besar dan gemuk hampir sebesar anjing. Dia satu-satunya kucing yang sebesar ini. Orang-orang yang bertamu ke rumahku pasti kaget melihat Halulu. Mereka bilang ini kucing mahal, kalau dijual ke kota pasti sangat mahal. Aku tidak akan menjual kucingku !
“Ini” Riang menaruh segelas madu
Bersamaan dengan suara kaca jendela yang pecah. Aku dan Riang saling tatap dengan ngeri. Kami berjalan ke kamar kami. Kaca jendelaku pecah. Seseorang telah melemparnya. Aku menyipitkan mata melihat keluar, melihat tanda-tnda manusia yang melakukan ini. Apa tujuannya melempar kacaku “S−SIAPA..ITU ?” Riang berteriak terbata-bata. Dia ketakutan tapi tidak mau kelihatan ketakutan.
Aku berjalan ke dekat jendela, menyipitkan mataku. Riang menyalakan lampu kamar kami. Tidak ada siapa-siapa diluar sana.
“Lyan…”
Aku melihat Riang, matanya ketakutan dan tangannya menunjuk sesuatu di bawah kasurku. Bongkahan batu besar yang digunakan untuk melempar kamarku. Aku mengambil batu itu. Ada tulisan “MATI” di cet dengan warna merah.